Jumat, 18 Juni 2010

PERKEMBANGAN USHUL FIQIH DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
Indonesia adalah sebuah bangsa yang komposisinya sangat beragam, baik ras, agama, aliran kepercayaan, bahasa, adat istiadat, orientasi kultur maupun pandangan hidupnya. Keragaman ini (baca: multikultural) memerlukan paradigma berpikir baru. Sebab, keragaman itu, khususnya dalam agama, dapat menimbulkan berbagai konflik. Konflik terbuka antar (umat) agama itu muncul lantaran adanya paham keagamaan yang eksklusif walaupun bukan satu-satunya penyebab. Namun, agama telah memberikan kontribusi besar terhadap munculnya konflik di beberapa daerah. Konflik antar agama itu perlu diselesaikan dengan merumuskan paradigma baru yang bisa mengantarkan umat beragama bisa hidup damai, toleran dan saling menghormati, terutama umat Islam sebagai kaum mayoritas. Karena itu, umat Islam perlu merumuskan paradigma ushul fiqih multikultural yang diharapkan mampu untuk menjawab kepentingan kultural kemanusiaan yang beragam tersebut.

Istilah multikultural adalah gabungan dari kata multy (banyak) dan cultur (budaya). Multikultural secara singkat, adalah sebuah paradigma tentang kesetaraan semua ekspresi budaya. Dalam tradisi keilmuan, multikulturalitas teradapat dua orientasi, yaitu Pertama, multikulturalitas statis yang berarti suatu pandangan mengenai keragaman yang berisfat fragmentatif, keragaman itu menjadi serpihan-serpihan budaya yang berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan spesifikasi masing-masing. Kedua, multikulturalitas dinamis yang berarti bahwa dalam beragam budaya atau tradisi terjadi interkulturalitas. Identitas baru yang dikonstruksi tidak lagi terkungkung pada lokalitas tertentu, tetapi menekankan kolektivitas identitas lokalitas masing-masing kelompok identitas yang telah mengalami kondisi fragmentasi.

1.2 Masalah
Secara umum, masyarakat itu merupakan eksistensi yang hidup dan dinamis yang dapat membentuk pranata dan tanggung jawabnya sendiri. Dinamika kehidupan ini menjadi tuntutan tersendiri untuk membangun budaya yang berwawasan multikultural di Indonesia. Hal ini didasari beberapa alasan.
a. Pertama, manusia diciptakan dalam keanekaragaman budaya.
b. Kedua, dalam banyak kasus konflik sosial yang bernuansa SARA (suku, agama, dan ras) pada dasawarsa terakhir ditengarai berkaitan erat dengan masalah kebudayaan.
c. Ketiga, pemahaman terhadap multikulturalisme merupakan kebutuhan bagi bangsa Indonesia untuk menghadapi tantangan global.

1.2 Tujuan Penulis
Penulisan makalah ini dilakukan semata-mata demi untuk mempelajari dan menambah wawasan dalam ilmu Fiqih dan juga merupakan salah satu tugas mata kuliah.





















BAB II
PERKEMBANGAN FIQIH DI INDONESIA
2.1 Deskripsi Tentang Syari’ah, Fiqih dan Ushul Fiqih
Pertama, secara etimologis, syara‘a berarti “menggambar jalan yang jelas menuju ke sumber air”, sedang secara terminologis, syarî‘ah memiliki arti sebagai ketentuan hukum yang ditetapkan Allah yang diperuntukkan bagi hamba-Nya untuk diikuti. Dalam arti ini juga tercakup aturan hukum yang diwahyukan dalam al-Qur’an; lalu aturan yang terkandung dalam al-Hadîts (verbal traditions), dan selanjutnya tafsir, pendapat-pendapat, ijtihad (personal opinion), fatwa (religious opinion) ulama, dan keputusan-keputusan hakim. Kedua, secara harfiah, fiqh berarti “pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu ucapan dan perbuatan”. Secara istilah, fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syara‘ yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili melalui penalaran. Ketiga, ushul fiqih adalah ilmu yang membahas tentang sumber-sumber pokok dan metode-metode pengambilan kesimpulan atau istimbat hukum Islam. Para fuqaha’ melakukan usahanya untuk menemukan pemecahan di bidang hukum dari sumber-sumber dan dalildalil al-Qur’an dan Sunnah. Menurut Syekh Kamaluddin Ibn Himam, ushul fiqih adalah ilmu tentang kaidah-kaidahyang dijadikan sarana untuk menggali hukum-hukum fiqih. Atau dengan kata lain disebutkan bahwa kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara pengambilan hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar’ î.

2.2 Pergeseran Paradigma Ushul Fiqih: Dari Ushul Fiqih Monokultural ke Ushul Fiqih
Multikultural
A. Sumber Fiqh Monokultural dan Multikultural
‘Abdul Al-Wahhâb Khallâf mengatakan bahwa teks (nashsh) al-Qur’an keseluruhannya adalah qath‘î baik dari sisi turunnya, ketetapannya maupun penukilannya dari Nabi Muhammad saw. pada umatnya. Teks al-Qur’an itu diturunkan Allah pada Nabi untuk disampaikan pada umatnya tanpa ada perubahan dan penggantian sedikit pun. Sementara al-Sunnah (al-Hadîts) sebagai sumber kedua juga memiliki nilai qath‘î tetapi berbeda dengan al-Qur’an. Dalam al-Sunnah, ada yang qath‘î al-wurûd (memiliki validitas kuat datangnya dari Nabi; al-Sunnah al-Mutawâtirah) dan zhannî al-wurûd (tidak memiliki validitas kuat datanganya dari Nabi; al-Sunnah al-Ahâd).
Fuqaha’ monokultural menyatakan bahwa teks al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian: Pertama, qath‘î al-dilâlah adalah teks yang memiliki pengertian yang jelas dan tidak menimbulkan ta’wîl serta tidak ada jalan untuk dipahami selain dari arti yang jelas itu. Kedua, zhannî al-dilâlah adalah teks yang memiliki suatu pengertian, tetapi masih dapat menimbulkan ta’wîl atau dapat diubah dari pengertian aslinya kepada pengertian lain. Dalam tradisi fuqaha’ ini, ”budaya teks” masih menjadi satu-satunya ukuran untuk menilai dan menetapkan ketentuan hukum/fiqih. Sementara itu, fuqaha’ multikultural mengatakan bahwa teks al-Qur’an adalah firman literal dan final dari Allah, sedang Nabi Muhammad saw selama menyampaikan misinya sering menjelaskan dan mengelaborasi arti atau makna teks al-Qur’an, dan menambahkan keputusan-keputusannya melalui perkataan (statemen) dan perbuatan (action) serta persetujuannya pada para pengikutnya (sahabat Nabi) berdasarkan kepentingan kultural (kemaslahatan) umat. Keputusan Nabi ini kemudian dikenal sebagai al-
Sunnah yang dijadikan sumber kedua oleh umat Islam.

B. Paradigma Ijtihad Fiqih Monokultural dan Multikultural
Dalam perspektif historis, sistem kenegaraan yang diterapkan Nabi Muhammad saw dengan Piagam Madinahnya menjadi dasar hukum fiqih bagi legalitas multikulturalisme. Piagam Madinah ini adalah konsesi atas Hijrah Nabi Muhammad saw yang menemukan kondisi sosiologis Madinah berbeda dengan di Makkah. Dalam perkembangannya setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, proses pembentukan hukum fiqih mulai mengalami perdebatan seputar peran kultur (yang berasaskan kemaslahatan umat) dan wahyu (yang berasaskan teks/nash) yang telah menimbulkan perdebatan yang hangat antara Umar ibn al-Khattab dengan sahabat Nabi lainnya dalam masalah bagian muallaf dan pembagian harta rampasan perang. Umar berpijak pada kepentingan kultural masyarakat setempat, sementara sahabat lainnya bersikukuh pada tradisi formal-legalistik. Perkembangan perdebatan fiqih di dunia Islam, khususnya di Indonesia, juga tidak lepas dari persoalan peran teks dan kultur tersebut. Tarik menarik antara peran teks dan kultur menimbulkan polarisasi paradigmatik dalam pembaruah fiqih, yakni: Pertama, paradigma ushul fiqih multikultural yang berupaya melahirkan kaidah dan rumusan fiqih yang sesuai dengan kepentingan kultural manusia yang berwawasan kemaslahatan. Kedua, paradigma ushul fiqih monokultural yang meletakkan nas-nas al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar pijaknya dalam menjawab masalah-masalah baru, dan akal dianggap tidak mampu menafsirkan nas-nas al-Qur’an dan Muhammad Sakir
kemanusiaan, sedang teks yang zhannî al-dilâlah adalah teks yang memiliki arti jelas dan rinci serta mengancam nilainilai kemanusiaan, ekslusif, dan diskriminatif. Abdullahi Ahmed An-Na‘im, “Human Rights in the Muslim World: Socio- Sunnah yang jelas dan rinci. Demikian juga kultur tidak memiliki peran strategis dalam merumuskan ketentuan fiqih.

C. Mujtahid Yang Berwawasan Monokultural dan Multikultural
Ijtihad merupakan usaha yang sungguh-sungguh dari mujtahid dalam menemukan hukum-hukum syar‘î. Mujtahid harus memenuhi tiga syarat: Pertama, pengerahan segala kemampuan dari mujtahid. Kedua, usaha yang sungguh-sungguh itu adalah untuk mencari hukum-hukum syar‘î yang bersifat zhannî. Ketiga, pencarian hal-hal yang zhannî itu adalah dari teks syar‘î (al-Qur’an dan al-Sunnah). Syarat mujtahid meliputi beberapa hal berikut: Pertama, syarat umumnya adalah baligh, berakal, memahami masalah, dan beriman. Kedua, syarat utamanya adalah mengetahui bahasa Arab, ilmu ushul fiqih, ilmu mantiq (logika), dan mengetahui hukum asal. Ketiga, syarat yang pokok adalah mengetahui al-Qur’an, al-Sunnah, maqâsid al-syar‘î, asrâr al-syar‘î, dan mengetahui qawâid al-fiqhiyyah.
Adapun mujtahid meliputi tiga tingkatan: Pertama, mujtahid al-madzhab adalah seorang mujtahid yang mengikuti (yuqallidu) teori ijtihad dari salah satu imam madzhab, sedangkan produk hukumnya boleh berbeda. Kedua, mujtahid al-mas’alah adalah seorang mujtahid yang boleh melakukan ijtihad dengan hanya berbekal pengetahuan yang berhubungan dengan satu persoalan yang akan dipecahkan dan produk hukumnya boleh berbeda. Ketiga, mujtahid al-mutlaq adalah seseorang yang memiliki kemampuan mencetuskan teori dan rumusan ketentuan hukum syar‘î. Di luar tiga hal tersebut adalah muqallid, yang tindakannya sering disebut “taqlîd”.
Salah satu contoh gagasan ijtihad yang ideal adalah ijtihadnya Umar yang menempatkan gagasan fiqihnya yang berbasis kultural, kepentingan penduduk setempat, dalam masalah harta rampasan perang (baca: al-Qur’an 59: 6-10). Gagasan Umar itu mengakomodasi adanya pluralitas kepentingan masyarakat setempat, sehingga ia dapat mengamalkan pesan living tradition dari Nabi, ia mengikuti Sunnah Nabi dalam wujud tindakan baru yang sudah mengalami the autonomisation of action –meminjam istilah Ricoeur- dari pelaku aslinya, Nabi. Dalam tradisi ijtihad Imam Madzhab, ada apresiasi luar biasa terhadap kepentingan kulturalkemanusiaan melalui urf. Misalnya, Imam Hanafi menolak qiyâs demi mempertahankan urf/tradisi yang baik. Demikian juga Imam Malik menempatkan urf sebagai salah satu sumber hukum fiqih yang valid. Sementara Imam Syafi’i yang menggagas qaul qadim dan qaul jadid pada hakikatnya juga memiliki perhatian terhadap aspek kultural/urf. Dalam kehidupan Indonesia, pola pikir Umar dan para imam madzhab memiliki arti penting untuk memberikan sumbangan penting bagi bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam agar mereka memiliki paradigma (fiqih) Islam yang berwawasan multikultural, bukan paradigma (fiqih) Islam yang bertitik tolak pada pemikiran dogmatik-spekulatif, dan bukan pula paradigma berpikir yang hanya berpijak pada akar pemikiran rasional dan empiris. Hal ini penting untuk menjawab kelemahan padarigma ushul fiqih di Indonesia yang monolitik (single entities) dan berwawasan taqlid.
Ada dua paradigma interpretasi: Pertama, penafsiran multikultural yang berlandaskan konteks baik konteks kalimat ataupun konteks kultural (konteks turun atau kekiniannya). Kedua, penafsiran monokultural yang berlandaskan nas-nas al-Qur'an yang jelas dan rinci. Jalaluddin Rakhmat, “Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqih” dalam Budhy Munawar-Rachman
Rasulullah SAW mengajarkan prinsip integrasi sosial untuk membangun masyarakat yang beradab. Ia mengatakan bahwa ajaran fiqih Islam harus menjadi rujukan nilai, pengetahuan dan tindakan bagi kaum Muslim untuk berta’aruf dengan keompok-kelompok lain di dalam masyarakat yang berbeda baik dalam hal agama, sosial maupun budaya. Untuk itu rumusan paradigma ushul fiqih yang relevan adalah “ushul fiqih multikultural” yang diyakini dapat memproduk hukum-hukum fiqih yang aspiratif dan akomodatif terhadap pluralitas kultural/kepentingan kemanusiaan, sehingga umat manusia mendapatkan posisi yang setara tanpa membedakan ras, agama, jenis kelamin dan keturunan.

2.3 Fiqih di Indonesia menurut Hasby As-Siddiqy
a. Keindonesiaan
Munculnya gerakan reformasi terhadap rigisitas hukum Islam melahirkan sebuah konsep fiqih yang lebih berbasis lokal atau dapat dikatakan sebagai fiqih keindonesiaan. Keindonesiaan merupakan kelanjutan dari tema ”Gerakan Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah” tetapi sekaligus merupakan sikap kembali kepada sikap dan pola pikir tradisional yang mempertahankan adat tetapi ditolak oleh kaum reformis.
Kaum reformis keindonesiaan bercita-cita ingin membangun hukum Islam yang indegenous keindonesiaan. Mereka berusaha membebaskan adat Indonesia dari adat Arab karena menurut mereka, Islam tidak berarti Arab. Di samping itu, perbedaan adat ini sangat dipengaruhi oleh realita bahwa posisi Indonesia terletak di pinggiran bukan di tengah-tengah dunia Islam. Ruang gerak ijtihad yang dijadikan sarana untuk mewujudkan hukum Islam ala Indonesia ini tidak memasuki wilayah ibadah. Pada awal tahun 1950-an, Hazairin menawarkan konsep ”Mazhab Nasional”, walaupun bertulang punggung mazhab Syafi’i, tetapi mazhab nasional membatasi ruang lingkupnya pada hukum-hukum non-ibadah yang belum dijadikan undang-undang oleh negara.
Pada tahun 1987, Munawir menawarkan kaji ulang terhadap interpretasi hukum Islam, dengan menekankan pada perubahan ’urf, maslahat, dan mafsadat yang populer sebagai ”Reaktualisasi hukum Islam” walau Munawir menyebutnya ”Dinamika Hukum Islam”. Di tahun yang sama, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengemukakan gagasan ”Pribumisasi Islam” dan Masdar F. Mas’udi menawarkan konsep ”Zakat sebagai Pajak”. Jauh sebelum teori-teori keindonesiaan hukum Islam ini muncul, pada tahun 1940, Hasbi telah mengemukakan gagasan tentang perlunya pembentukan ”Fiqih Indonesia”, yang pada tahun 1961 ia definisikan sebagai ”fiqih yang ditentukan berdasarkan kepribadian dan karakter bangsa indonesia”. Keindonesiaan hukum Islam di Indonesia juga mengarah kepada konstitusional hukum Islam. Pada umumnya, orientasi ini dimotori oleh sarjana atau tokoh non-ulama yang memahami sistem hukum Indonesia, tetapi hampir tidak mengerti prinsip-prinsip ”kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Cita-cita agar hukum Islam dijadikan Undang-undang Dasar Negara dicuatkan kembali oleh wakil-wakil umat Islam dalam BPUPKI. Aspirasi yang dikemukakan dalam rapat Panitia kecil BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 ini berhasil memasukkan persyaratan, ”Dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” ke dalam Piagam Jakarta. Persyaratan ini disahkan sebagai keputusan Panitia Kecil pada tanggal 22 juni 1945, tetapi akhirnya diganti dengan, ”Ketuhanan Yang Maha Esa” demi non-mislim, khusunya orang Kristen. Memang tidak ada indikasi bahwa Hasbi ambil bagian dalam proses ini, tetapi pada prinsipnya ia mendukung pihak-pihak yang mensyaratkan syari’ah.
Negara Islam Indonesia yang diproklamirkan pada bulan Agustus 1949, juga membawa aspek konstitusionalisasi hukum Islam. Qanun Asasi (Undang-undang Dasar)nya menegaskan bahwa hukum yang berlaku di negara ini adalah hukum Islam yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis Shahih (Pasal 1). Pemberontakan terhadap pemerintahan Republik Indonesia ini didukung oleh Kahar Muzakkar, yang memproklamirkan bahwa ”sejak 7 Agustus 1953, Sulawesi Selatan menjadi bagian Negara Islam Indonesia”. Pada tanggal 21 September 1953, Daud Berureuh pun mengeluarkan pernyataan memproklamirkan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia.
Namun demikian, Negara Islam Indonesia runtuh bersamaan dengan dieksekusinya sang Imam, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo oleh Pemerintah Republik Indonesia pada bulan Agustus 1962 (setelah tertangkap pada tanggal 4 Juli 1962). Hasbi menyalurkan ide-ide konstitusionalnya melalui Kongres Muslimin Indonesia (20-25 Desember 1949)21, yang secara politik memang tidak mendukung Negara Islam Indonesia.

b. Metodologi Fiqih Indonesia
Fiqih Indonesia, sebagai suatu upaya pembaharuan bercorak lokal, harus terlebih dahulu menentukan ruang lingkup dengan cara membedakan tiga istilah di Indonesia yang sering dianggap sama.
Fakultas Hukum Islam di lingkungan perguruan tinggi yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menggunakan istilah untuk menyebut mata kuliah yang membahas tentang perkawinan, kewarisan, dan wakaf. Batasan semacam ini menurut Hasbi jelas berakibat menciutkan pengertian syari’ah yang mencakup hukum-hukum akidah, akhlak, dan amaliah. Fiqih yang secara teknis sering dipahami sebagai ”hukum-hukum syari’ah yang dihasilkan dari dalil-dalilnya”, merupakan bagian dari syari’ah itu sendiri, tetapi lebih luas daripada hukum Islam karena fiqih mencakup hukum-hukum muamalah dan ibadah, di mana aspek yang terakhir ini mencakup dalam istilah hukum Islam. Menyadari konsekuensi yang harus diterima bahwa menyamakan syari’ah dan fiqih berarti menganngap keduanya bersifat universal, absolut, dan abadi, maka Hasbi mengatakan bahwa syari’at Islam sajalah yang memiliki ketiga sifat tersebut. Dengan kata lain, syari’ah, begitu menurut Nourouzzaman menjelaskan pendapat Hasbi lebih sebagai hukum in abstracto dan sebaliknya fiqih lebih bersifat sebagai hukum in concreto. Lebih lanjut, Hasbi membagi fiqih menjadi fiqih Qur’ani yaitu hukum yang secara tegas ditemukan di dalam al-Qur’an dan fiqih Nabawi yaitu hukum yang tidak disinggung oleh Al-Qur’an tetapi ditegaskan oleh Hadis. Ketiga adalah fiqh ijtihadi yaitu hukum-hukum yang dicapai melalui ijtihad para ulama.
Fiqih ijtihadi merupakan inti fiqih Indonesia yang dijiwai oleh syari’ah, bersifat dinamis dan elastis karena dapat berubah sesuai dengan ruang dan waktu. Jadi fiqih ijtihadi bersifat lokal, temporal, dan realtif. Jelaslah di sini bahwa kritik Alie Yafie dan Ibrahim Hoesen yang beranggapan bahwa fiqih itu bersifat universal, tidaklah mengenai sasaran.
Hal ini diperkuat lagi oleh kenyataan bahwa Hasbi membatasi ruang lingkup fiqih Indonesianya pada bidang non-ibadah dan non-qat’i. Untuk menjustifikasi lokalitas fiqih Indonesia, Hasbi berpegang pada sejarah perkembangan fiqih (tarikh tasyri’). Tarikh tasyri’Hasbi, menurut Hasbi membuktikan bahwa fiqih lokal telah muncul sejak awal penyebaran Islam melawati batas-batas Mekah dan Madinah. Mazhab Hanafi di Kufah, Maliki di Madinah, Syafi’i di Baghdad (mazhab qadim) dan kemudian di Mesir (mazhab jadid), di samping mazhab Hambali di Baghdad, tentunya merupakan bagian dari contoh yang populer. Lokalitas mazhab-mazhab ini menurut Hasbi, dikarenakan perbedaan pendapat, tempat, adat istiadat dan jiwa si mujtahid sendiri. Walau dilegitimasi oleh tarikh tasyri Hasbi masih saja menekankan bahwa lokalitas fiqih Indonesia harus ditopang oleh studi kasus (dirasat al-waqa’i) mengenai masyarakat Indonesia dengan sistem masyarakat lainnya yang sezaman. Studi ini harus menggunakan pendekatan sosiologi hukum dan studi hukum secara umum untuk melihat pengaruh dan kemampuannya menyelesaikan kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya, dan setelah itu barulah memasuki fase problem soulving.
Hasbi menganjurkan agar para pendukung fiqih Indonesia menggunakan metode perbandingan mazhab manakala problem yang dihadapi sudah diberikan pemecahannya oleh ijtihad dalam berbagai mazhab yang ada. Perbandingan yang tidak terbatas pada mazhab Sunni ini dibagi menjadi dua tahap. Pertama, memilih dari kalangan empat mazhab Sunni. Kedua, memilih dari semua mazhab termasuk non-Sunni. Kedua-duanya dilakukakn demi mencari pendapat yang paling sesuai dengan konteks ruang, waktu, karakter dan kemaslahatan bangsa Indonesia. Studi perbandingan mazhab ini harus diikuti dengan studi perbandingan ushul fiqh dari masing-masing mazhab, dengan harapan agar pandangan tersebut dapat terpadu atau bahkan bersatu.
Studi perbandingan ushul fiqh ini dilakukan dengan tahapantahapan sebagai berikut :
1. Mengkaji prinsip-prinsip yang dipegang oleh setiap imam mazhab maupun masalah-masalah yang mereka perselisihkan dengan meneliti alasan-alasan mereka.
2. Mengkaji dalil-dalil yang dijadikan rujukan maupun yang diperselisihkan.
3. Mengkaji argumen yang ditawarkan oleh masing-masing imam mazhab mengenai dalil-dalil yang diperselisihkan dan memilih argumen-argumen yang kuat.

Tahapan-tahapan tersebut harus didukung dan didahului dengan pendirian Fakultas Ushul Fiqh atau paling tidak Jurusan Ushul Fiqih. Hasbi lebih menguatkan bahwa fiqih Indonesia akan sangat fleksibel jika didukung oleh perbandingan yang bersifat sistematis antara fiqih dan hukum adat Indonesia, antara fiqh dan sistem hukum Indonesia, antara fiqh dan syari’at (agama-agama) lain, dan antara fiqh dengan sistem hukum internasional. Sebaliknya, jika problem yang dihadapi belum pernah diberikan pemecahannya oleh mujtahid-mujtahid terdahulu, maka dianjurkan
agar pendukung fiqh Indonesia melakukan ijtihad bi al-ra’yi, yaitu menentukan hukum berdasarkan pada maslahat, kaidah-kaidah kulliat dan illat (kausa) hukum, sedangkan metode yang ditempuh ada kalanya :
1. Qiyas yang dilakukan dalam kondisi terpaksa, tidak menyangkut masalah ibadah. Selain qiyas illat dan qiyas dalalah, tidak berlaku.
2. Istihsan dengan berbagai macamnya : istihsan bin naas, istihsan bil ijma’, istihsan bil qiyas, istihsan bid daruraah, istihsan bil maskahah, dan istihsan bil ’urf.
3. Istislah, dengan ketentuan bahwa sesuatu dapat dinyatakan sebagai maslahat jika merupakan maslahat hakiki; berlaku umum tidak hanya terbatas pada segelintir orang; harus diputuskan oleh ahl al-Hall wa al-’Aqd. Jika maslahah bertentangan dengan nash, maka maslahah mentakhsis (mengkhususkan) nash dengan menjadikan hadis ”La darara wa la dirara” sebagai kata kunci di akhir analisa.
4. ’Urf dengan ketentuan tidak menghalalkan barang haram dan tidak mengharamkan barang halal; dapat mendatangkan maslahat dan mengholangkan mafsadat; tidak bertentangan dengan nash sharih (ekspilist); di samping itu harus diputuskan oleh ahl al-Hall wa al-’Aqd. Atau
5. Istishab. Metode-metode ini selalu berjalan seiring dengan kaidah-kaidah yang relavan.

2.4 Kesimpulan
Arti penting paradigma ushul fiqih multikultural adalah sebagai berikut: Pertama, ia menekankan pada pengambilan nilai-nilai dasar kultural kemanusiaan sebagai prinsipnya dalam merumuskan hukum (fiqih) Islam. Kedua, ia mendorong kaum Muslim untuk selalu menangkap realitas aktual kekinian. Konsekuensinya, perlu pergeseran paradigma dari ushul fiqih monokultural ke ushul fiqih multikultural. Ketiga, ia dapat melahirkan produk hukum yang mampu menghargai dan menghormati adanya keragaman gaya hidup bangsa.





DAFTRAR PUSTAKA

Abdul Hakim, Sudarnoto, Hasan Asari, dan Yudian W. Asmin ED.,Islam Berbagai perspektif
: Didedikasikan untuk 70 Tahun
Prof. Dr. H. Munawir Sjadzili, MA, Yogyakarta : Lembaga Penterjemah dan penulis Muslmi
Indonesia, 1995.
Abdul, A, “Tafsir al-Maraghi dan Tafsir an-Nur : Sebuah Studi Perbandingan”, disertasi
doctor, IAIN Sunan Kalijaga, 1985.
Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir, Yogyakarta: Pustaka, 2003
Abdullah, M. Amin, Studi Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996.
Abdullah, Taufik, dan M Rusli Karim (eds.), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah
Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar