Jumat, 18 Juni 2010

MA'RIFAT

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dengan mengucapkan rasa syukur segala puji bagi Allah, penguasa alam dan seisinya yang telah memberikan hidayah-Nya kepada penulis sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik, dan tidak lupa shalawat dan salam semoga tercurahkan atas utusan Allah sebagai rahmat bagi alam semesta, junjungkan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya dan pengikut sekiranya sampai akhir zaman.

Adapun tujuan pembuatan dari makalah ini adalah dijadikan bertambahnya wawasan tentang ilmu Tafsir dan untuk memenuhi tugas terstruktur pada mata kuliah Tafsir Hadist Sufi 1. Penulis juga menyadari di dalam penulisan ini terdapat kekurangan, oleh karena itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak, demi kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang.

Demikianlah sedikit yang dapat Penulis sampaikan, mudah-mudahan Makalah ini bermanfaat untuk kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.






Bandung , 24 April 2010


Penyusun







BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam mempelajari ilmu tafsir hadist sufi, ada beberapa hal yang penting untuk dipelajari dan salah satunya adalah bagaimana isi dan kandungan al-quran dan hadist-hadist ini dilaksanakan baik pada zaman rasulullah ataupun pada masa khulafaur Rasyidin dan hingga sekarang.

1.2 Masalah
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, ada peristiwa-peristiwa yang memaksa dan membuka hati para sahabat untuk tetap menjaga apa-apa yang telah di ajarkan oleh Rasul, termasuk dengan menjalankan perintah-perintahnya yang tertuang dalam hadist dan al-quran agar tetap dilaksanakan oleh seluruh ummat-Nya hingga akhir zaman. Ini dilakukan demi untuk tetap menyatukan umat Islam dalam satu kesatuan iman yang sama.

1.3 Tujuan Penulisan
Penugasan ini dilakukan semata-mata demi untuk mempelajari dan menambah wawasan dalam Ilmu Tafsir dan juga merupakan salah satu tugas mata kuliah tafsir Hadist Sufi 1.











BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ma’rifat

Dalam tasawuf belum ada sebuah kesepakatan yang jelas tentang pengertian Ma’rifat, karena dalam Tasawuf pengertian Ma’rifat sulit untuk dimaknai secara tepat. Pengertiannya sampai saat ini masih dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada data-data empirik dan sudut pandang para ahli dalam menginterpretasikan pengertian Ma’rifat tersebut.
Menurut ahli bahasa, kata Ma’rifat diambil dari kata ‘Arafa, Ya’rifu, ‘Irfan, Ma’rifatan, semua ilmu disebut Ma’rifat, dan semua Ma’rifat adalah ilmu, dan setiap orang memiliki ilmu (‘alim) tentang Allah SWT. berarti seorang yang ‘arif, dan setiap yang ‘arif berarti ‘alim. Berdasarkan pengertian ini orang yang berma’rifat adalah orang yang memiliki ilmu (‘arif), sebagaimana yang dilontarkan oleh al-Ghazali bahwa ada empat hal yang harus dikenal atau diketahui dan kemudian dipelajari oleh sesorang sehingga ia disebut berma’rifat, ke empat hal tersebut ialah
1. Mengenal siapa dirinya,
2. Mengenal siapa Tuhannya,
3. Mengenal Dunianya,
4. Mengenal Akhiratnya.

Menurut Imam Al-Ghazaly
Ma’rifat adalah pengetahuan yang tidak menerima keraguan terhadap Zat dan Sifat Allah SWT “. Ma’rifat terhadap Zat Allah adalah mengetahui bahwa sesungguhnya Allah adalah wujud Esa, Tunggal dan sesuatu Yang Maha Agung, Mandiri dengan sendiri-Nya dan tiada satupun yang menyerupai-Nya. Sedangkan ma’rifat Sifat adalah mengetahui dengan sesungguhnya Allah itu Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Mendengar dan Maha Melihat dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dari mengetahui tentang Zat dan Sifat Allah, maka selanjutnya Al-Ghazalipun memberi kesimpulan bahwa : “ Ma’rifat adalah mengetahui akan rahasia-rahasia Allah, dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada “ lebih lanjut ditegaskannya bahwa : “ Ma’rifat itu adalah memandang kepada wajah Allah SWT “.
Ma’rifat itu sendiri tidak dapat dipisahkan dengan Hakekat. Dengan kata lain datangnya ma’rifat adalah karena terbukanya Hakekat.
Taftazany menerangkan dalam kitab “Syarhul Maqasid” : “Apabila seseorang telah mencapai tujuan akhir dalam pekerjaan suluknya (ilallah dan fillah), pasti ia akan tenggelam dalam lautan tauhid dan irfan sehingga zatnya selalu dalam pengawasan zat Tuhan (tauhid zat) dan sifatnya selalu dalam pengawasan sifat Tuhan (tauhid sifat). Ketika itu orang tersebut fana (lenyap dari sifat keinsanan). Ia tidak melihat dalam wujud alam ini kecuali Allah (laa maujud ilallah).”
Dalam hal ini, seperti apa yang dialami oleh Imam Al-Ghazali dimana ketika orang mengira bahwa Imam Al-Ghazali telah wusul – mencapai tujuannya yang terakhir ke derajat yang begitu dekat kepada Tuhan, maka Imam Al-Ghazali berkata : “Barangsiapa mengalaminya, hanya akan dapat mengatakan bahwa itu suatu hal yang tak dapat diterangkan, indah, utama dan jangan lagi bertanya”. Selanjutnya Imam Al-Ghazali menerangkan : “Bahwa hatilah yang dapat mencapai hakekat sebagaimana yang tertulis pada Lauhin Mahfud, yaitu hati yang sudah bersih dan murni. Tegasnya tempat untuk melihat dan Ma’rifat kepada Allah ialah hati.”
Menurut Syekh Siti Jenar
Menurut pandangan yang diyakininya bahwa dunia ini alam kematian, setelah jasad ditinggal nyawa itulah awal kehidupan yang sebenarnya. Amat mengherankan jika manusia berfikir siang dan malam dalam alam kematian itu mengharap permulaan hidup, sesungguhnya manusia hidup di dunia ini banyak mengalami neraka kesengsaraan, kepanasan, kedinginan , serta kesedihan tidak demikian apabila manusia hidup sesudah mati manusia akan hidup mulia mandiri tidak memerlukan media ayah ibu ia berbuat menurut keinginannya sendiri tiada berasal dari angina , air ,tanah , api atau semua yang serba jasad. Ia tidak menginginkan atau dikenai kerusakan apapun , karena itu apa yang disebut dengan Allah ( nama ) ialah barang baru yang direka reka menurut pikiran manusia.

Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Orang ma’rifat adalah orang yang mengetahui Allah melalui media nama-nama-Nya, sifat-sifat dan perbuatan-Nya. Kemudian berhubungan dengan Allah secara tulus, bersikap ikhlas dan sabar terhadap-Nya dalam menjauhi segala bentuk perbuatan maksiat serta meneguhkan niatnya.
Menurut Syaikh Ibnu 'Athoillah
Ma'rifat adalah tingkat penyerahan diri kepada Allah secara berjenjang, secara tingkat demi setingkat sehingga sampai kepada tingkat keyakinan yang kuat. Orang yang memiliki ilmu ma'rifat dianggap sebagai orang yang 'arif', karena ia bisa memikirkan dalam-dalam tentang segala macam liku-liku kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu jika kita bersungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu ma'rifat, maka akan meraih suatu karomah. Karomah adalah keistimewaan yang tidak dimiliki orang awam. Bentuk karomah tersebut adalah mata hati kita menjadi awas dan indra keenam kita menjadi tajam. Jika indra keenam menjadi tajam, kita akan dapat mengetahui sesuatu yang tersembunyi di balik peristiwa.
Orang yang mata hatinya dan indra keenamnya tajam, maka ia dapat masuk ke dalam hal-hal yang dianggap gaib (tersembunyi). Orang yang arif (memiliki ilmu ma'rifat), suka memperhatikan tanda-tanda kebesaran Allah dengan mata kepalanya, kemudian ia merenungkan dengan mata hatinya. Orang ma'rifat jika melakukan sesuatu atau memutuskan sesuatu menggunakan muraninya daripada hawa nafsunya. Ia tahu betul, apakah hawa nafsu yang mempengaruhi dirinya atau nuraninya yang berkata. Oleh karena itu, orang yang sudah menduduki tingkat ini, selalu tajam indera keenamnya. Ia tahu sesuatu yang merugikan bagi dirinya meskipun tampak seakan-akan menguntungkan. Ia pun tau apa yang menguntungkan, meskipun seakan-akan tampak seperti merugikan.
Maka, jangan heran, kadang-kadang orang awam memandang sesuatu itu baik dan menguntungkan, namun bagi orang ma'rifat (orang yang tajam indera keenamnya), dipandang sebagai sesuatu yang membahayakan. Melihat kebaikan dan keburukan dengan mata kepala saja tidak akan dapat mengetahui keadaan yang sebenarnya. Sesuatu yang elok dipandang mata kadang-kadang hanyalah tipuan belaka. Sesuatu yang buruk dipandang mata, kadang-kadang tersimpan sesuatu yang menguntungkan. Maka betapa pentingnya jika kita berlatih untuk mempertajam mata hati dan indera keenam.
Buta mata belum tentu membahayakan bagi kehidupan kita. Karena banyak orang yang buta matanya, tetapi masih mampu melakukan sesuatu yang terbaik bagi dirinya. Bahkan ia mempunyai keistimewaan, yakni lebih awas daripada kita yang memiliki mata normal. Namun jika mata hati telah buta, maka pertanda hancurlah kehidupan kita, baik kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat.
Orang yang buta hatinya, seringkali merasa kecewa dalam menghadapi liku-liku kehidupannya, karena ia sering gagal dalam mengambil keputusan. Keputusannya lebih banyak meleset. Sebab, yang digunakan untuk mengambil keputusan lebih didasarkan pada penglihatan mata dan akal yang dipenuhi hawa nafsu. Jadinya, ia kurang cermat dan kurang hati-hati. Ia mudah terkecoh dengan fatamorgana serta khayalan-khayalannya sendiri.
"Dan barang siapa yang buta mata hatinya di dunia ini, maka buta pula di akhirat, jauh tersesat jalannya.""Sesungguhnya, bukan matanya yang buta, tetapi mata hatinyalah yang buta, yang berada di rongga dadanya." Oleh karena itu, betapa pentingnya kita mempelajari ilmu ma'rifat. Dengan ilmu ma'rifat, hati dan alam bawah sadar kita terhindar dari 'kebutaan'. Hati kita menjadi jernih sehingga setiap apa yang kita pikirkan dan kita lakukan akan mendatangkan hasil yang menguntungkan.
Orang yang ma'rifat, selalu berprasangka baik kepada siapapun. Ia juga selalu berprasangka baik kepada Allah swt. TIdak pernah berkeluh kesah dalam hidupnya. Ia selalu merasa dekat kepada Allah. Selalu merasa cinta, penuh harapan dan hatinya terasa senantiasa tenteram.
Ilmu ma'rifat mengantarkan kita kepada suasana hati ikhlas dalam berbuat apa saja, lebih-lebih beribadah kepada Allah. Ibadahnya dilakukan tanpa pamrih dan tanpa keinginan dipuji orang lain. Orang-orang ma'rifat menganggap jika perbuatan dilakukan tidak dengan ikhlas, tetapi dengan pamrih, maka akan mengotori jiwanya. Jika jiwa kotor, hati akan berdebu. Bila hati berdebu berarti mata batin dan indera keenam telah buta.
Golongan orang-orang ini selalu menjaga hatinya dan alam bawah sadarnya agar tidak tercemar oleh debu-debu yang dapat membutakan. Karena itu, suasana hati orang-orang ma'rifat selalu tenteram karena selalu berprasangka baik kepada siapa pun, tidak membenci, tidak dendam, tidak iri hati, tidak sombong dan tidak riya'. Sebab, sederetan penyakit semisal sombong, benci, dendam, iri hati dan sebagainya merupakan letupan emosi, bukan nurani yang berbicara, melainkan nafsu keserakahan.
Jika kita telah mendalami ilmu ma'rifat dengan bersungguh-sungguh, maka akan dapat melihat betapa diri kita menjadi orang yang luar biasa. Mungkin kita akan terheran-heran. Karena jika ilmu ma'rifat telah dikuasai, maka seseorang akan dapat mengenal Allah, sehingga antara dirinya dan Allah seakan-akan tidak ada batas/perantara, sehingga seakan-akan mampu berhubungan langsung. Disamping itu, kita akan dapat dengan mudah menyerahkan hawa nafsu menurut kehendak Allah. Kita merasa tidak punya hak untuk memiliki, sekalipun pada diri sendiri. Karena menyadari segala sesuatu yang ada di dunia ini hanyalah milik Allah, termasuk nyawa kita.
B. Ciri – Ciri Orang Ma’rifat
Hati ini diciptakan Allah untuk menjadi tempat kebahagiaan hakiki. Karena itu hati harus selalu dekat dengan Allah. Bila hati sudah terisi dunia, Allah tidak mau mengisinya. Begitu pun cinta kepada manusia, harus yang dapat mendekatkan kepada Allah.
Cinta kepada anak istri dibolehkan sepanjang menjadi pengingat kepada Allah. Sebaliknya, bila cinta kepada anak istri membuat lalai, berjarak, dan jauh dari Allah, maka segera kurangi cinta itu. Cukuplah cinta sekadarnya saja. Bagaimana pun, makhluk tidak boleh menjadi penghalang cinta kepada Allah.
Jika kita merasa sudah bergaul dengan banyak orang, namun hati merasa tidak nyaman dan terasa keras, ini sebenarnya gejala bahwa Allah masih ingin dekat dengan kita. Tapi bila masih nyaman saja bergaul dan berbincang dengan banyak orang, maka bisa jadi itu gejala hijab dengan Allah.
Sebelum kita minta sesuatu, Allah sudah sangat tahu kebutuhan kita. Karena memang Allah yang membuat kebutuhannya. Tapi, Allah sangat menyukai hamba-Nya yang memohon, berdoa dengan segala kerendahan. Berdoa dengan hati yang bersih, adalah ciri dikabulkannya doa. Jika Allah ingin memberikan mustajab (terkabulnya) doa, maka Allah juga akan memberikan kemampuan kepada seseorang untuk berdoa dengan khusyu.

Ciri seorang ahli ma’rifat adalah :
1. Selalu merasa membutuhkan Allah. Tidak pernah merasa tenang dan nyaman, bila bersandar kepada selain Allah.
2. Bila mau bicara, ia minta dituntun Allah. Selama bicara pun ia selalu berdoa, minta diampuni jika khilaf.
3. Bila sedekah, ia juga minta diberi keikhlasan.
4. Bila berjalan, minta dijaga pandangannya.
Orang yang ma’rifat juga sangat takut jika tidak dibimbing dan dilindungi Allah. Kebahagiaannya justru dari ketidaknyamanan karena takut kepada Allah. Karena baginya, kebahagiaan sejati adalah bila takut dan harap kepada Allah semata.













BAB III
PENUTUP

Dari uraian yang telah kami paparkan diatas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa apa yang telah dilakukan para ulama dalam berma’rifat, yaitu dengan cara bersesungguh-sungguh mengingat Allah bahwa Dialah Sang Maha ‘arif sebenarnya.

Adapun segala yang telah diterangkan tentang gambaran ma’rifat para ulama tersebut., berlaku bagi kaum muslimin. Hal ini di perkuat dengan hadist yang diriwayatkan oleh Tirmidzi sebagai berikut :

“Hendaklah kamu selalu mengingat Allah, pasti kamu mendapati-Nya di hadapanmu. Hendaklah kamu mengingat Allah di waktu lapang (senang), niscaya Allah akan mengingat kamu di waktu sempit (susah). Ketahuilah bahwa apa yang semestinya tidak menimpa kamu, tidak akan menimpamu, dan apa yang semestinya menimpamu tidak akan terhindar darimu. Ketahuilah sesungguhnya kemenangan menyertai kesabaran dan sesungguhnya kesenangan menyertai kesusahan dan kesulitan”)

Dari kutipan hadist diatas, kita dianjurkan untuk selalu mengingat Allah dimanapun kapanpun. Sebagai bentuk kecintaan kita pada-Nya.




















DAFTAR PUSTAKA


1. Nur Al - mu'min. artikel.
2. http://www.info-jic.org/life-and-style-mainmenu-31/buku-saku/35-buku-saku/841-membaca-sifat-sifat-allah-dalam-kehidupan-jalan-menuju-marifat-dan-hakikat
3. Telaga Ma'rifat, karya Syaikh Ibnu 'Athoillah.
4. Syehk Ibnu Athailah. Mutu Menikam dari kitab Al-Hikam. Isyarat Orang Ma’rifat. Mutiara ilmu-Surabaya.1995. Hal - 159
5. Syaikh Al-‘Izza bin Abdus Salam. Syajaratul Ma’arif, Cara Membuahkan Ma’rifah. Pustaka Al-Kautsar. Hal. 27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar