Jumat, 18 Juni 2010

BENIH-BENIH KEMUNCULAN PERADABAN BARAT MODERN

Pada zaman Dewa-dewa Yunani Kuna (Antiquitic Olimpian) alam tidak terpisahkan dari dewa-dewa. Dengan pernyataan ini dimaksudkan bahwa pada awalnya, kosmologi atau pengetahuan tentang kosmos (alam) yang dimiliki orang-orang Kuno, termasuk kosmologi orang-orang Yunani, dipenuhi oleh kekuatan-kekuatan spiritual yang mengatur, mempertahankan, dan menopang alam semesta.
Alam semesta dan unsur-unsur dasarnya dalam kosmologi Yunani kuno sebagaimana kosmologi bangsa Arya di zaman kuno masih dihuni oleh para dewa. Dalam kosmologi itu, materi dipandang hidup bersama roh, substansi spiritual dan korporeal (jasadiyah) masih belum terbedakan. Para filosof Milesia (Yunani) seperti Thales dan Anaximandres mendapat sebutan hylozoist, yakni orang-orang yang berpikir bahwa materi itu hidup, karena mereka menganggap bahwa tidak ada perbedaan antara yang-hidup dan yang-mati, antara ruh dan materi.
Thales, yang oleh beberapa pihak pengkaji filsafat dipandang sebagai filosof pertama Yunani pra-Sokratik yang menggunakan penjelasan naturalistik tentang asal mula alam semesta, juga masih percaya bahwa "ada dewa-dewi di dalam semua benda". Sehingga, tidak mengherankan jika pemposisian Thales sebagai filsuf pertama atas dasar pertimbangan bahwa dia adalah orang pertama yang berusaha mejelaskan dunia tanpa rujukan apapun pada dewa-dewi dan roh-roh itu menjadi dipertanyakan.
Lebih jauh lagi, seorang Aristoteles, yang dipandang sebagai filosof terbesar Yunani pasca Socrates, adalah juga seorang animis. Di antara ide-idenya yang paling menarik adalah bahwa dunia atau kosmos secara keseluruhan pada dasarya hidup dan bersifat ilahi. Pemahaman orang-orang Yunani—termasuk tokoh-tokoh seperti Thales dan Aristoteles—tentang makna "hidup"nya kosmos berkisar di seputar tiga pengertian animistik: 1) segala sesuatu hidup, bahkan batu-batuan, binatang, dan air; 2) kehidupan meresapi segala sesuatu; dan 3) kosmos secara keseluruhan adalah hidup.
Kosmologi Yunani menggambarkan alam atau struktur dunia dalam bentuk susunan hirarkis tingkatan-tingkatan eksistensi, dimana yang lebih bawah dikondisikan oleh waktu, ruang, dan angka, sementara yang lebih atas ditempatkan di seberang perguliran waktu, kemeruangan dan keberbatasan-keberbatasan lainnya.
Dalam pandangan filsafat Yunani, eksistensi Tuhan berada jauh di atas dunia dan manusia. Dan, manusia dapat berhubungan dengan-Nya hanya melalui para pengantara berupa roh-roh alam atau akal-akal dunia Roh pengantara itu, yakni logos. Dalam filsafat Yunani, logos tersebut bukan Tuhan dan bukan pula dunia; ia merupakan jembatan dari dunia roh kepada dunia benda (dan dengan logos itulah Tuhan menciptakan dunia). Logos juga terkadang dipahami sebagai tercipta, atau tak-tercipta, atau tercipta dan sekaligus tak-tercipta. Ia dikonsepsi sebagai semacam poros spiritual yang menghubungkan tatanan yang tidak-tercipta dan yang tercipta (tatanan ilahi dan tatanan kosmos). Dan, melalui doktrin logos inilah pengetahuan tentang yang-tercipta dikaitkan dengan yang tak-tercipta. Metafisika merupakan produk dari pengetahuan (sains) tentang yang-tak-tercipta, dan melalui hubungannya dengan metafisika inilah ‘pengetahuan tentang yang-tercipta’ atau kosmologi berada sejalan dengan teologi. Gagasan tentang peran sentral logos ini terdapat dalam semua kosmologi tradisional, termasuk kosmologi tradisional Islam dan Yahudi. (bdk. Mirror of Intelect, 19)
Bahasa-bahasa simbolisme religius berserta paradoks-paradoks yang seringkali mencirikan bahasa tersebut, seperti yang terungkap dalam narasi-narasi mitologi atau ritual-ritual keagamaan Yunani kuno, nampaknya merupakan refleksi dari efektifitas kekuatan logos ini—terkadang juga disebut sebagai intelek atau intuisi intelektual pada tataran subjektivitas manusia—yang melaluinya manusia-manusia arkais berupaya memaknai dan memahami realitas, baik yang berkaitan dengan realitas kosmos maupun metakosmos atau metafisika.
Dalam pengalaman kehidupan masyarakat arkais (kuno), keberjarakan Tuhan yang jauh dari dunia dan manusia itu dilukiskan sebagai pengunduran diri Dewa Tertinggi akibat pelbagai perjumpaan mereka sendiri yang begitu intens dengan pengalaman-pengalaman religius yang lebih kongkrit. Mereka berjumpa dengan pelbagai penampakan sakral (hierofani) yang terdapat dalam pelbagai pengalaman kongkrit mereka, seperti dalam kesuburan tanah, penemuan teknik-teknik baru pertanian, dan bahkan dalam kehidupan sehari-sehari. Mereka terus hanyut dengan pelbagai kesakralan hidup ini, dan menyerahkan diri pada hierofani-hierofani kehidupan sehari-hari, pada kenikmatan-kenikmatan yang dapat diperoleh dari pengalaman-pengalaman hidup yang langsung dan kongkrit, serta berpaling dari kesakralan yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan langsung dalam hidupnya sehari-hari itu. Dalam penemuan-penemuan dan pengalaman-pengalamannya yang kongkrit ini manusia arkais semakin menjauh dari dewa tertinggi yang transenden dan ilahi. (80)
Perubahan perspektif religius masyarakat arkais yang terjadi akibat pelbagai penemuan teknik-teknik baru pertanian seperti ini, menurut Mircea Eliade sebagai fenomena unik dalam sejarah agama-agama yang cenderung mengarah pada monoteisme—Ahura Mazda—atau bahkan monoteisme penuh—Yahweh, Allah. (80)
Sejalan dengan perubahan perspektif dan kehidupan religius yang mengarah pada hal-hal yang kongkrit di atas muncullah kemungkinan peran-peran religius-magis yang segera diisi oleh kekuatan-kekuatan religius lain yang akan menggantikan dewa tertinggi—seperti peran bagi seksualitas, bagi kesuburan, mitologi wanita dan bumi dsb. Dari sini muncullah tokoh-tokoh ilahi lain, seperti dewa matahari, dewa topan, dewa kesuburan, dewi ibu pertiwi, dsb, yang sedikit demi sedikit mengambil alih posisi dewa tertinggi. Dewa-dewa atau makhluk-makluk ilahi lain ini semakin menarik perhatian dan memainkan peran dalam kehidupan masyarakat arkais, karena nyata terwujud dalam kehidupan sehari-hari mereka. ((P.S Hary Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade, 1987 Kanisius: Yogyakarta, 78, 81)
Demikianlah makna religius-magis yang terdapat dalam penemuan-penemuan teknik baru pertanian telah memunculkan dewa-dewi kesuburan. Dalam pandangan manusia arkhais, tidak ada pemisahan antara alat—objek yang nyata dan kongkrit—dengan simbol yang memberikan nilai pada alat tersebut; antara teknik dan daya religius-magis yang terkandung di dalamnya; antara lambang dan yang dilambangkan. Di sini, bentuk-bentuk kesakralan yang dianggap lebih kuat dan lebih mudah didekati secara langsung menggantikan bentuk kesak ralan yang bersifat transendental. (81)
Semakin jauh dewa tertinggi itu mengundurkan diri dari dunia dan manusia, sehingga lama-kelamaan dia menjadi deus otiosus (dewa yang menganggur). Dia dipandang sudah tidak ikut campur tangan dengan urusan-urusan dunia, cenderung menghilang dari praktik keagamaan dan pemujaan: tidak ada permohonan, tidak ada persembahan tanda syukur dan terima-kasih yang dianjungkan kepadanya. (79)
Sekalipun dewa tertinggi tidak mendapat tempat dalam pemujaan dan dalam mitos-mitos, namun anehnya ia dianggap sebagai perlindungan terakhir bagi manusia. Dewa-dewa lain yang menggantikannya—yang terspesialisasi dalam menghasilkan sesuatu—dipandang tidak memiliki kekuatan-kekuatan yang jauh lebih halus, lebih mulia dan lebih spiritual dibandingkan dewa tertinggi. Bila segala macam pemohonan yang ditujukan kepada dewa-dewa dan dewi-dewi yang lain, kepada roh-roh dan leluhur-leluhur mitis itu semua menemui kegagalan, barulah manusia ingat akan dewa tertinggi dan memohon pertolongannya. Ini terjadi dalam situasi krisis yang gawat, dalam bencana dan malapetaka, misalnya musim kering, bencana kelaparan, wabah penyakit, dsb, sebagaimana dilakukan oleh beberapa suku.
Fenomena ketersingkiran para dewa ini barangkali bisa dibandingkan dengan dengan fenomena ketercerabutan Tuhan dari alam semesta seiring munculnya konsepsi teologis deisme akibat penemuan-penemuan saintifik berkenaan dengan hukum-hukum alam semesta. Dalam konsepsi ini, alam semesta diumpamakan sebagai sebuah arloji yang memiliki cara kerja-cara kerjannya sendiri, dan Tuhan sebagai pembuat arloji yang mengundurkan diri dari alam semesta setelahnya selesai menciptakan alam tersebut. Dalam tamsilan ini, Tuhan seolah-olah pensiun dari tugas-tugas-Nya di alam semesta, sebab alam dianggap mampu menjalankan fungsinya sendiri melalui hukum-hukumnya yang telah pasti. Untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa alam manusia hanya dituntut untuk mengetahui hukum-hukum alam itu, tanpa perlu menisbahkan kejadian peristiwa-peristiwa itu pada kekuatan-kekuatan yang ada di luar alam, yakni kekuatan-kekuatan ilahiyah. Dalam hal ini, eksistensi Tuhan hanya berposisi sebagai suatu hipotesa abstrak yang dapat dengan mudah terksklusikan dari alam, ketika Dia tidak lagi dibutuhkan dalam menjelaskan proses-proses natural atau gejala-gejala yang terjadi di alam semesta.
Sejak awal, teologi-teologi agama Yunani Kuno telah memperlihatkan permasalahan di sekitar konsep tentang satu Tuhan Tertinggi dan tentang banyak tuhan seperti Zeus, Apollo, dan Hera. Dan, ini telah mengisi dan menggusarkan pikiran orang-orang Yunani, sehingga seorang penyair seperti Xenophanes (kira-kira 570-470 SM) mengatakan: “Tuhan adalah satu, yang teragung di antara para tuhan dan manusia, sama sekali tidak serupa dengan wujud-wujud fana (mortali) baik dalam hal tubuh atau pikiran.” Bahkan persoalan menyangkut monoteisme dan politeisme ini juga terdapat dalam agama-agama Mesir dan Hiduisme yang lebih awal. Sebagian ahli Mesir berpendapat bahwa dewa-dewa dalam agama Mesir seperti Isis, Osiris, Horus, Anibis, dn semua kumpulan dewa-dewa yang lebih kecil sebenarnya merupakan aspek-aspek atau “wajah-wajah” dari satu Tuhan yang maha perkasa. Sementara itu ada juga pandangan yang mengatakan bahwa baik monoteisme dan politeisme dapat ditemukan dalam pemikiran orang-orang Mesir
* * * * *
Seiring waktu bergulir, agama Olimpus mengalami kemunduran. Gambaran tentang dewa-dewa, seperti yang terungkap dalam mitologi-mitologi yang telah mengalami kemunduran, cenderung dipenuhi ungkapan-ungkapan antropomorfis yang dipandang tidak layak lagi untuk dinisbatkan pada mereka. Dewa-dewa misalnya digambarkan dengan sifat-sifat tidak adil, tidak bermoral, iri hati, dendam, dsb. Padahal, dewa yang sejati tidak mungkin bersifat demikian. Sebagaimana dikatakan oleh filosof Yunani Xenophanes , banyak prilaku yang dipandang penyair Homer dan Hesiod sebagai milik dewa-dewa tidaklah layak dimiliki oleh makhluk-makhluk ilahi itu. (Encarta)
Gambaran tentang dewa-dewa seperti ini nampaknya merupakan cerminan dari kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat Yunani dan di sekelilingnya. Kebudayaan Yunani, sebagaimana disaksikan para filosofnya, adalah kaya dan kreatif. (Robert Solomon, 14) Saat itu, muncul kelas-kelas baru, para tukang, pedagang, dan teknisi di tengah-tengah masyarakat agraris feodal para tuan tanah kaya dan para petani. Begitu banyak jumlah para penemu dengan penemuan-penemuannya yang membludak; perkakas-perkakas pertanian dan pelayaran bermunculan; begitu juga dengan teknik dan hasil kerajinan baru. (56) Namun demikian, kebudayaan Yunani juga dikelilingi oleh musuh-musuh yang saling iri hati dan saling bersaing. Tak jarang, kebudayaan-kebudayaan besar tiba-tiba dihancurkan dan akhirnya terhapus dari peta dunia yang dikenal; dan apa yang tidak dihancurkan oleh perang sering dihancurkan bencana alam atau wabah penyakit. (14)
Gambaran- gambaran mitologis inilah yang kemudian melahirkan kritik dari filsafat. Menurut Eliade, kritik-kritik yang dilontarkan itu bermaksud untuk semakin mempertinggi derajat gambaran tentang Tuhan dan berusaha untuk membebaskan konsep tentang yang ilahi dari ungkapan-ungkapan antropomorfis. (Mitos, 100)
Kemunculan filsafat dan sains di abad ke-6 SM bukanlah temuan baru untuk memenuhi kekosongan yang tercipta oleh pengunduran diri para Dewa Olimpus dari bumi. Ide-ide dasar—seperti phusisi, dike, nomos, dan semisalnya—yang memiliki arti fundamental bagi sains dan filsafat Yunani, merupakan ide-ide yang memiliki signifikansi religius dan spiritual, namun secara perlahan-lahan dikosongkanan dari substansi spiritualnya. (Nasr, 68). Para filsuf pra-Sokrates abad ke-6 SM bukanlah kelompok naturalis dan saintis modern awal, seperti yang dipahami sains modern, sebab mereka masih mencari substansi universal yang bersifat spiritual dan korporeal. (68) Para filosof saat itu berupaya menemukan prinsip yang mendasari—apa yang mereka sebut sebagai arche—substani spiritual yang adalah landasan semua realitas. (Naquib, 34) Ketika Thales (625?-547? SM) mengemukakan bahwa alam semesta tercipta dari air, maka air yang dimaksudkannya, menurut Nasr, bukanlah air yang mengalir di sungai atau parit, melainkan strata bawah dan asas dunia fisik.(68)
Menurut Seyyed Hossein Nasr, lahirnya filsafat natural, seperti yang diprakarsai oleh madzhab Ionia, dimana Thales adalah salah seorang tokohnya, merupakan dampak dari ‘pengosongan kosmos dari kandungan sakralnya’ dalam agama Olympian.
Dengan semakin mundurnya agama Olimpus Yunani dan tersingkirnya dewa-dewa dari domain-domainnya di alam, maka substansi alam semakin terlepas atau terkosongkan dari signifikansi spiritualnya, sementara kosmologi dan fisika cenderung pada naturalisme dan empirisisme. Filsafat Yunani mengalami transformasi dari perhatiannya pada interpretasi simbolik atas alam kepada perhatiannya yang semakin besar pada penjelasan alam dari sudut-pandang naturalistik sederhana dan rasional murni, yang mereduksi sumber dan realitasnya sendiri pada semata-mata sebab-sebab dan daya-daya alam. (Naquib, 33) Dari kesatuan konsep agama Olimpus yang telah terkosongkan dari maknanya, muncullah fisika dan filsafat alam yang berusaha mengisi kekosongan dan memberi penjelasan yang koheren tentang dunia yang tidak lagi dihuni oleh para dewa. Gerak umumnya adalah dari penafsiran alam secara simbolik ke naturalisme, dari metafisika kontemplatif ke filsafat rasionalistik. (Nasr, 68-69)
Tidak hanya filsafat natural yang ditimbulkan oleh proses desakralisasi kosmos ini (yakni, pengosongan kosmos dari rembesan kekuatan-kekuatan sakral), tetapi juga bangkitnya rasionalisme yang independen dari Inteleksi, dan banyak transformasi-transformasi penting lainnya. (SHN, K&S 34) Terdapat keterkaitan antara ‘pengosongan kosmos dari signifikansi spiritualnya’ dan ‘bangkitnya rasionalisme yang independen dari Inteleksi’, dan untuk memahaminya kita dapat terlebih dahulu membicarakan hubungan anara rasio dengan Intelek.
Intelek—yang juga disebut Logos atau bhudi atau ‘aql—adalah pengetahuan Tuhan tentang diri-Nya dan tercipta sebagai yang pertama dalam ciptaan. Intelek adalah akar/sumber intelegensi atau kesadaran yang bertingkat-tingkat, termasuk tingkatan intelegensi yang bersinar di hati manusia. (K&S147) Dalam kaitan dengan Tuhan Yang Absollut, intelegensi adalah bagaikan sinar yang memancar dari-Nya dan kembali kepada-Nya; ia adalah instrument pengetahuan yang dianugrahi kemungkinan untuk mengetahui Yang-Absolut itu, (2) karena ia berasal dari Yang Absolut.
Intelek bukanlah pikiran atau rasio yang adalah refleksi Intelek pada tatanan manusia. [Jadi rasio masih merupakan perpanjangan dari intelegensi yang sumbernya adalah Intelek]. Intelek adalah akar dan pusat kesadaran dan apa yang secara tradisional disebut jiwa. Dalam kaitannya dengan Intelek, jiwa mesti dipertimbangkan sebagai anima atau psyche; sementara dalam kaitannya dengan jiwa, Intelek adalah spiritus atau nous; perkawinan antara spiritus dan psyche melahirkan kesempurnaan jiwa yang disimbolkan dengan emas. (147)
Pengetahuan yang terkadung dalam intelegensi atau yang diperoleh oleh intelegensi senantiasa memiliki kaitan dengan Realitas ilahi dan primordial yang adalah Yang-Sakral dan sumber dari semua yang sakral. (1) Akar atau esensi pengetahuan senantiasa tak terpisahkan dari yang sakral, sebab substansi pengetahuan itu sendiri adalah pengetahuan tentang realitas yang adalah Substansi Tertinggi, yakni Yang-Sakral sendiri, dimana semua level eksistensi dan semua bentuk yang beraneka ragam hanyalah akiseden-aksiden-Nya.
Jadi Realitas Ilahi, Yang Sakral, pada awalnya adalah objek-pengetahuan (known), subjek-pengetahuan, dan pengetahuan sekaligus; atau objek-subjek-kesatuan; juga wujud, pengetahuan, dan rahmat sekaligus. (1) Visi unitif ini berada di pusat ‘wujud’ manusia sebagaimana terletak di akar ‘intelegensi’nya, dan karenanya pengetahuan senantiasa menjadi sarana untuk sampai pada Yang-Sakral dan pengetahuan sakral tetap sebagai jalan penyatuan tertinggi dengan Realitas dimana pengetahuan, wujud, dan rahmat menyatu. (2)
Pengetahuan secara potensial merupakan jalan tertinggi untuk mencapai Yang Sakral, dan intelegensi merupakan sinar yang mampu menembus kepekatan dan kepadatan manifestasi kosmik dan yang, dalam keadaanya yang teraktualkan, tidak lain dari Cahaya Ilahi itu sendiri seiring ia terefleksikan pad diri manusia dan, pada nyatanya, dalam segala sesuatu dalam cara dan bentuk yang berbeda-beda. (2)
Melalui cahaya intelegensi, alam tidak hanya tampak sebagai fakta-fakta natural tetapi juga sebagai manefestasi-manifestasi, jejak-jejak, atau simbol-simbol yang membawa ingatan atau kesadaran kita kembali kepada sumber wujud dan kesadaran. Oleh karena itu, fungsi-kerja inteligensi yang penuh dapat memberikan fungsi sakramental pada pengetahuan dan [karenanya] memungkinkan manusia untuk mereintegrasikan kehidupan mereka pada basis prinsip penyatu, yang tidak terpisahkan dari cinta dan keimanan. (48)
Nah, ketika alam hanya tampak pada penglihatan manusia sebagai tidak lebih dari fakta-fakta natural, maka ini berarti bahwa alam tersebut telah terkosongkan dari kualitas-kualitas sakralnya, dari signifikansi spiritualnya. Dengan kata lain, alam sudah tidak lagi mampu menjadi media transfaransi bagi terlihatnya jejak-jejak atau simbol-simbol yang semestinya membawa manusia kepada Yang-disimbolkan. Keadaan ini boleh dikatakan sebagai sebuah bentuk ketersingkapan pengetahuan tertentu, yang tentunya berkaitan dengan cara penggunaan intelegensi tertentu juga. Dan, karena pengetahuan tersebut adalah pengetahuan yang terdesakralisasi, maka bisa diduga bahwa pengetahuan tersebut adalah hasil dari intelegensi yang digunakan secara reduktif, yakni cara penggunaan intelegensi yang tidak/belum dapat membuat intelegensi tersebut berfungsi secara penuh. Nasr misalnya mengatakan, pengetahuan sakral menjadi tidak terakses dan bahkan menjadi tidak bermakna bagi sebagian orang ketika inteligensi dibatasi maknanya hanya pada kecerdikan dan kepintaran, ketika Intelek direduksi pada rasio, (4) dengan fungsi analitiknya (6). Dari sini terlihat bagaimana desakralisasi kosmos berhubungan dengan desakralisasi pengetahuan dan pada gilirannya berkaitan dengan pereduksian intelegensi pada rasio semata, sebuah reduksi yang mengakibatkan lahirnya rasionalisme.
Menurut Nasr, hilangnya ruh simbolist [yang terjadi seiring proses desakralisasi kosmos] inilah yang pada masa Yunani kuno telah mendatangkan kritik dari Plato, (SHN, K&S, 34) Plato adalah seorang murid sekaligus sahabat Socrates. ia melanjutkan dan mengelaborasi wawasan-wawasan Socrates secara lebih sistematis. (Encarta)
Socrates dan Plato
Socrates percaya bahwa agar orang dapat mengetahui hakikat sesuatu (“definisi”), seperti keadilan, kebenaran, dan kebajikan, maka ia harus menemukan sendiri bentuk ideal dan paling murni dari sesuatu itu. Tetapi, menurut Sokrates, ideal-ideal ini sama sekali tidak ada “dalam diri kita”; kebenaran itu tidak ditemukan dalam pengalaman kita sehari-hari. Bentuk-bentuk ideal sesuatu itu, menurutnya, merupakan bagian dari dunia ide-ide yang hanya dapat dimengerti oleh manusia bijak, sang filsuf. (Solomon,89-99)
Pembedaan antara tatanan ideal dan empiris ini secara serupa juga dikemukakan oleh Plato (428-347 SM). Menurutnya, eksistensi terbagi ke dalam dua alam: ‘alam Idea-idea atau Bentuk-bentuk intelegible yang sempurna, abadi, tak-kasat mata’ dan ‘alam objek-objek indrawi yang kongkrit dan familiar’. Kedua eksistensi ini juga terkadang dirujuk sebagai ‘Dunia Ada’ dan ‘dunia kemenjadian’. Pepohonan, batu-batuan, dan tubuh-tubuh manusia, serta objek-objek lainnya yang dapat dilihat melalui indra, bagi Plato, adalah salinan-salinan yang tidak sempurna, tidak real, dan bayang-bayang dari Idea-idea pohon, batu, dan tubuh manusia. (Encarta) Perlu dicatat bahwa objek-objek di alam Idea Plato itu bukanlah konsep-konsep hasil pengabstrasikan kualitas-kualitas general/universal yang dimiliki oleh semua objek partikular di alam empiris, bukanlah sekeping pengetahuan yang ada dalam pikiran orang yang-mengetahui, melainkan sekepeing realitas. (MM. Syarif)
Idea kuda, mislanya, melampaui semua kuda partikular, dan hidup di dunia terpisah, dunia ide-ide. Ia hadir dalam pelbagai penampakan sementara dan berubah-rubah dalam persepsi indrawi hanya sejauh penampakan-penampakan itu berpartisipasi di dalam ide universal tersebut. Apa yangberlaku bagi ide seekor kuda adalah juga berlaku bagi semua ide-ide lainnya. Ide-ide itu semuanya eksis dalam dunia idea-ide, dan dengan memandang dunia ide-ide dengan cara ini, kita memahami seluruh realitas, keseluruhan kosmos rasional. Dalam kosmos rasional ini terdapat ide-ide segala sesuatu (bahkan ide-ide seperti meja dan kursi), kualitas-kualitas, relasi-relasi, kebajikan-kebajikan, dan nilai-nilai. (M.M. Syarif)
Plato mengkonsepsi Bentuk-bentuk sebagai tersusun secara hirarkis; Bentuk tertinggi adalah Yang Baik, yang mencahayai semua Idea-idea lainnya. (Encarta) Idea Yang-Baik adalah tertinggi adalah Ide Yang-Baik yang identik dengan Yang-Indah, dan pengetahuan tertinggi adalah memahami Ide Yang Baik ini. (MM Syarif.)
Nah, pengetahuan tentang sesuatu, menurut Plato, musti bersifat pasti dan tidak-salah; dan pengetahuan jenis ini musti memiliki objek yang benar-benar real, tidak berubah-rubah sebagaimana dibedakan dari objek yang hanya penampakan saja. Dan, objek yang benar-benar real itu, bagi Plato, tidak lain dari alam wujud ideal sebagaimana dilawankan dengan dunia kemenjadian yang bersifat fisik.
Lebih lanjut, masih berkaitan dengan teori pengetahuannya, Plato mengatakan bahwa jiwa manusia adalah bagian dari Dunia Ada, dan karenanya jiwa telah mengandung pengetahuan tentang Bentuk-bentuk. Kita dilahirkan bersama pengetahuan ini. Pengetahuan ini adalah bawaan. Sebagaimana Plato, Socrates mengajarkan bahwa setiap orang memiliki pengetahuan lengkap tentang ‘kebenaran tertinggi yang terkandung di dalam jiwa’ dan hanya perlu dibangkitkan pada refleksi sadar untuk dapat menyadarinya. (Encarta) Sokrates mengatakan, “agar dapat mengetahui segala sesuatu dengan benar, kita harus bebas dari tubuh dan memandang realitas aktual dengan hanya mata jiwa”. (Solomon, 111)
Pato mengilustrasikan hubungan antara kosmos rasional, yakni dunia idea-idea, dan dunia pengalaman indrawi, dengan alegori guanya yang terkenal. Bayangkan sebuah gua yang terbuka pada satu ujungnya yang diluarnya terdapat api terang yang menyala. Pada ujung lainnya terdapat sebuah layar [dinding], dan di antara layar dan api itu adan orang-orang yang menghadap ke layar yang begitu terbelenggu dari sejak kecil sehingga mereka tidak dapat menggerakan kaki dan leher, tetapi dapat melihat semata-mata apa yang ada dihadapan mereka pada layar itu. Karena orang-orang ini tidak dapat menoleh kesekitarnya, mereka hanya akan melihat bayangan satu sama lainnya dan bayangan benda-benda yang mereka bawa, yang dipantulkan api pada layar itu, dan akan melihat banyang-bayang itu sebagai objek-objek real. Tapi bayangkanlah seseorang dari mereka lepas dan pergi ke luar gua; pertama-tama dia akan tersilaukan oleh kilauan cahaya, namun segera matanya akan memperoleh penyesuaian dengan cahaya itu dan memungkinkanya untuk melihat, kemudian dia kan melihat objek-objek di air, kemudian objek-objek itu sendiri, kemudian akan melihat bulan, bintang dan langit yang berkelap-kelip di malam hari, dan akhirnya dia akan mampu melihat matahari di siang hari dan merenungkannya. Dan ketika dia mengingat kondisinya ketika dia terpenjara dalam gua dan kondisi teman-teman tawanannya, niscaya dia akan mengucapkan selamat pada dirinya sendiri karena kesempatan itu dan merasa kasihan pada mereka.
Gua adalah dunia penglihatan, cahaya api adalah matahari, perjalanan manusia [melihat bulang, bintang, kelap-kelip langit di malam hari, dan fenomena-fenomena lainnya] adalah seperti mi’raj jiwa ke dunia intelektual, dunia idea-idea. “Idea Yang-Baik,” seperti matahari, “tampak terakhir”, dan “ketika terlihat, ia disimpulkan sebagai pencipta segala sesuatu yang indah dan yang benar, sumber cahaya dalam dunia yang tampak dan sumber langsung rasio dan kebenaran dalam intelek; dan ini adalah kekuatan yang harus ditatap oleh orang yang hendak bertindak secara rasional apakah dalam kehidupan publik ataupun pribadi. (M.M. Syarif)
Uraian Plato tentang teori Idea atau Bentuk, tampak jelas melampaui kecenderungan naturalisme dan rasionalisme. Penekanannya pada status segala sesuatu di dunia empiris sebagai representasi atau bayangan dari Bentuk-bentuk yang terdapat di Dunia Idea-idea jelas menunjukkan ketidak-independenan segala segala sesuatu tersebut; keberadaan segala sesuatu di dunia empiris ini bukanlah untuk dirinya sendiri melainkan untuk Bentuk-bentuk yang direpresentasikannya, sebab mereka hanya bisa dipahami keberadaannya sejauh berpartisipasi dalam merepresentasikan Bentuk-bentuk tersebut. Dari sini terlihat bahwa Plato mengakui adanya hirarki realitas, dimana dunia empiris ini baginya tampak kurang real dibandingkan dengan Dunia Idea-idea.
Uraian Plato yang mengatakan bahwa Idea-idea tersebut merupakan objek-objek real atau lebih real dibandingkan segala yang ada di dunia empiris, dan bahwa jiwa manusia mampu mengetahui Idea-idea atau Bentuk-bentuk karena ia merupakan bagian dari Dunia Idea-idea itu sendiri, dan bahwa pengetahuan tentang Idea-idea sebagai objek-objek real itulah yang layak menyandang nama pengetahuan sejati, nampaknya merujuk pada apa yang diuraikan di atas sebagai visi unitif, yakni kesatuan antara objek-pengetahuan, subjek-pengetahuan, dan pengetahuan itu sendiri. Visi ini terutama berlaku pada realisasi penglihatan Idea Yang Baik, yang merangkul semua Idea-idea lainnya.
Dari sini, kita bisa memahami mengapa Dunia Idea-Idea Plato tidak dipahami sebagai semesta konsep-konsep yang ada dalam pikiran, melainkan benar-benar sebagai realitas yang tidak tergantung pada pikiran. Bahkan sebaliknya, pikiran dan realitas kitalah yang bergantung pada Idea-idea itu, dalam hal ini Idea Yang Baik, sebab tidak ada sesuatupun yang tidak bersumber dari Idea ini. Dan tentu saja, pengetahuan tentang realitas jenis ini bukanlah jenis pengetahuan yang dapat diperoleh melalui proses rasiosinasi (raticination) semata. Ia menuntut sebuah visi unitif. Dan, ini tentunya melampaui rasionalisme. Dari sini tampak terlihat bahwa Plato mengakui adanya hirarki kesadaran atau intelgensi di samping hirarki eksistensi, dimana Idea Yang Baik merupakan puncak hirarki wujud dan kesadaran: Ia adalah kesatuan ‘subjek pengetahuan, objek pengetahuan, dan pengetahuan itu sendiri’ sekaligus.
Dalam suatu pengertian Idea Yang Baik mengetengahkan pergeseran Plato ke arah ‘dasar penjelasan’ tertinggi (ultimate principle of explanation). Pada puncaknya, teori Bentuk-bentuk dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana seseorang sampai mengetahui (teori epistemologis) dan bagaimana segala sesuatu menjadi sebagaimana mereka adanya (teori ontologi). (Encarta) Konsep Plato tentang Ide sang Yang Baik yang Mutlak, yang merupakan Bentuk Tertinggi dan meliputi semua bentuk lainnya, telah menjadi sumber utama doktrin-doktrin relijius panteistik dan mistik dalam budaya Barat. (Encarta)
Plato nampaknya memberikan titik-tekan yang lebih pada signifikansi pencapaian pengetahuan yang bersifat pasti yang objek-objeknya adalah Dunia idea-idea. Ini barangkali bisa dipahamai manakala kita menghubungkannya dengan visi Plato tentang realitas yang bersifat hirarkis. Pengetahuan tentang objek-objek yang lebih real tentu lebih tinggi kualitasnya dibandingkan dengan pengetahuan tentang objek-objek yang kurang real. Namun demikian, penekanan pada pengetahuan semacam itu nampaknya bukan hanya karena alasan posisinya yang lebih tinggi dibandingkan pengetahuan empiris, tetapi boleh jadi sebagai respons terhadap perkembangan pemikiran filosofis saat itu yang tidak lagi mengakui kemampuan intelegensi untuk menemukan pengetahuan objektif, apalagi pengetahuan tentang Yang-Absolut. Inilah yang terjadi pada sekelompok individu yang dinamai kaum Sophist. Arah pemikiran mereka cenderung pada semacam skeptisisme yang berujung pada relativisme ekstrim.
Sophist
Kaum Sophis bukanlah sebuah madzhab melainkan lebih sebagai sekelompok individu yang memiliki pandangan-pandangan filosofis yang sama, dimana sebagian besar mereka berkesimpulan bahwa kebenaran dan moralitas pada dasarnya hanyalah persoalan opini. Mereka bersikap skeptik terhadap semacam kebenanarn absolut dan moralitas.
Menurut peminpin kelompok Sophist, kita tidak mengalami baik itu ‘prinsip-prinsip tertinggi’ yang dikemukakan oleh madzhab Ionia maupun Sebab Pertama yang dikemukan oleh madzhab Elea, tidak juga “atom-atom” Demokritus atau “benih-benih” Anaxagoras. Semua itu paling-paling adalah hipotesa-hipotesa yang tidak dapat terverifikasi. Karenanya, semua pembicaraan tentang itu hanyalah sia-sia. Jadi, kata Protagoras, alih-alih menghabiskan energi untuk membahas sifat-dasar dunia objektif, seseorang lebih baik berkonsentrasi pada dirinya sendiri.
Semua pengetahuan, katanya, beragantung pada indra-indrra. Namun pengalaman indrawi kita bersifat menipu. Ia hanya menyingkapkan apa yang segera berlalu, dan tidak menghasilkan kebenaran universal. Kita juga tidak bisa mengandalkan rasio, sebab rasio juga didasarkan pada pengalaman indrawi, dan semata-mata merupakan kelanjutan darinya. Karena semua pengetahuan didasarkan pada pengindraan seseorang, maka pengetahuan tersebut hanya benar untuk dia, dan bukan untuk semua. Sebuah pandangan bisa benar dan salah pada saat yang sama, benar untuk seseorang dan salah untuk orang lain. Tidak ada kebenaran absolut, masing "manusia" perindividu "adalah ukuran segalanya", demikian kata Protagoras. Demikian juga dengan persoalan etika. Apa yang bermanfaat bagi saya boleh jadi membahayakan bagi orang lain. Oleh kerenannya, apa yang baik bagi seseorang mungkin buruk bagi orang lain. Kebaikan menurut seseorang hanyalah apa yang dia pandadang baik untuk dirinya sendiri. (MM. Syarif, 90)
Protagoras mengklaim bahwa individu-individu memiliki hak untuk menilai sendiri semua persoalan. Dia menolak adanya pengetahuan objektif, dan berdalih bahwa kebenaran bersifat subjektif dalam pengertian bahwa segala hal yang berbeda adalah benar bagi orang-orang yang berbeda dan tidak ada jalan untuk membuktikan bahwa keyakinan seseorang adalah benar secara objektif dan keyakinan orang lain tidak benar. Situasi inilah yang dihadapi Socrates dan Plato, dan yang menuntut keduanya untuk mengembalikan pengetahuan dan intelegensi pada fungsi yang selayaknya.
Aristoteles
Respons terhadap kaum Sophist tidak hanya datang dari Socrates dan Plato, tetapi juga dari Aristoteles yang adalah murid dan sahabat Plato sendiri. Seperti Plato, Aristoteles berupaya mengembangkan teori yang memadai tentang hakikat manusia dan alam semesta secara umum. (Robert C. Solomon 114). Seperti Plato, Aristoteles juga berupaya mencari esensi (hakikat) benda-benda di alam semesta. Namun, berbeda dengan plato, Aristoteles tidak mencari esensi tersbut dalam Bentuk-benduk melainkan dalam akal itu sendiri. (ibid. 117)
Di sini, kita dapat mengatakan, setidaknya untuk sementara, bahwa baik Plato maupun Aristoteles menerima adanya kebenaran objektif tentang hakikat sesuatu. Ini tentunya sebuah pandangan yang dilawankan dengan pandangan kaum Sophist. Namun demikian, dalam merumuskan pandangan-pandangannya tentang hakikat alam semesta dan tentang cara memperoleh pengetahuannya tentangnya, Aristeoteles memiliki cara yang berbeda dengan gurunya, Plato.
Aristoteles mengritik teori Bentuk-bentuk Plato. Aristoteles sepakat dengan Plato bahwa bentuk-bentuk itu sangat penting. Namun ia berpendapat bahwa bentuk dari suatu benda berada di dalam benda itu sendiri, bukan di suatu tempat di atas atau di luar dirinya. (117) Bagi Aristoteles, bentuk-bentuk (forms) itu tidak bisa eksis dengan sendirinya, tetapi eksis dalam ‘benda-benda partikular yang terdiri dari bentuk (form) dan materi sekaligus’. (Encarta)
Jika bagi Plato, Bentuk-bentuk yang mendefinisikan benda-benda individual sangat berbeda dengan benda-benda itu sendiri, bagi Aristoteles bentuk-bentuk itu justru merupakan prinsip internal yang mengarahkan benda-benda itu sendiri. (120) Jika bentuk-bentuk atau idea-idea itu adalah esensi-esensi segala sesuatu, bagaimana mungkin esensi-esensi itu eksis secara terpisah dari segala sesuatu terbut. Oleh karenanya, dunia idea-idea Plato adalah ‘salinan yang tidak diperlukan’ dari dunia segala sesuatu yang indrawi. Dunia idea-idea hanyalah fiksi puitik semata. Bentuk-bentuk atau esensi-esensi segala sesuatu itu hanya eksis dalam segala sesuatu itu sendiri: idea-idea tersebut imanen dalam segala sesuatu itu. Dunia idrawi karenanya adalah satu-satu dunia yang real. (MM. Syarif, 102)
Bagi Aristoteles, apa yang ada pada akhirnya adalah masing-masing benda individual itu, kuda ini, pohon ini, orang ini; tidak ada superrealitas, tidak ada dunia Bentuk-bentuk. (120) Karenanya, kita tidak perlu melihat pada yang lain (seperti Bentuk-bentuk) selain seorang Socrates (manusia ini), seekor kuda (hewan ini), pohon kelapa (tumbuh-tumbuhan ini), dst. (120) Dalam hal ini, aristoteles tidak menyangkisikan peran pancaindra dalam melakukan pengamatan dan eksperimen, sekalipun ia lebih yakin pada nalar ketimbang eksperimen-ekesperimen aktual (117)
Menurut Aristoteles, ada empat prinsip fundamental yang merembesi dunai real secara keseluruhan: 1) Materi atau Lapisan-dasar; 2) Forma atau Esensi; 3) Sebab Efisien atau Penggerak; 4) Tujuan atau sebab Final. Prinsip-prinsip ini, menurut Aristoteles, merupakan sebab-sebab bagi setiap sesuatu di dunia real, dalam pengertian Aristoteles.
1. Materi bukanlah materi benda-benda di dunia, sebagaimana yang kita kenal, tetapi suatu potensialitas. Ia bukanlah sesuatu yang telah mewujud, tetapi bukan pula sesuatu yang tiada, sebab ia berpotensi untuk ada. Itulah sebabnya ia desebut potensi.
2. Esensi atau forma adalah sebab yang memberi bentuk pada materi, dan materi menjadi prinsip individuasi yang melahirkan aneka ragam benda-benda individual. (MM. Syarif) Melalui bentuk-bentuk (forms)nya, segala sesuatu per individu dalam sistem alam yang organis ini terkelompokkan ke dalam spesies-spesies dan genera-genera, dan tiap-tiap spesies, menurut Aristoteles, memiki suatu forma, tujuan, dan cara perkembangan tertentu yang mendefinisikan spesies tersebut. (Encarta)
3. Sebab efisien adalah sebab yang membuat setiap individu mengalami perubahan dalam pergerakannya dari potensialitas ke aktualitasnya, yang tidak lain dari formanya sendiri. Semua gerakan di alam semesta ini adalah perubahan dari potensialitas ke aktualitas, dan bagi setiap sesuatu yang ada terdapat sebab penggerak atau sebab efisiennya.
4. Sebab final adalah tujuan yang menjadi arah pergerakan dan perubahan suatu individu dari potensialitas ke aktualitasnya. Ketercapaian aktualitas suatu individu adalah ketercapaian tujuannya sendiri, yakni sebab final keberadaannya. Dalam segala sesuatu yang organis, sebab forma, sebab efisien dan sebab final adalah satu. Jiwa, misalnya, adalah sebab forma tubuh, dan juga sebab efisien dan sebab finalnya. (MM. Syarif 102)
Dari sini terliaht bahwa filsafat Aristoteles dicirikan oleh teleologi, yakni kebertujuan benda-benda. (119) Spesies-spesies itu bersifat abadi, dan tidak berevolusi. Aristoteles tentu akan tercengang terhadap ide bahwa suatu spesies menjadi ada melalui kemungkinan-kemugkinan seleksi alam yang akan dianggapnya sebagai omong kosong. (Solomon, 126)
Menurut Aristoteles pendekatan terhadap segala sesuatu melalui keempat sebabnya itu dapat membantu kita menjelaskan ‘apa’, ‘mengapa’, dan ‘dimana’ tiap-tiap sesuatu atau peristiwa yang ada di dunia ini. Misalnya seekor singa: sebab materialnya adalahi jaringan-jaringan dan otot; sebab efisiennya adalah orang tuanya yang melahirkannya; sebab formalnya adalah spesiesnya; dan sebab finalnya adalah dorongan intrinsik untuk menjadi spesies yang matang. (Encarta; Solomon, 124
Nah, menurut Aristoteles, sains musti bertugas mendefinisikan forma-forma esensial, tujuan-tujuan, dan cara perkembangan semua spesies dan untuk menyusun semua itu dalam tatanan alamiahnya sesuai dengan kompleksitas forma mereka. Aristoteles menyebut empat level utama tatanan spesies: level yang tak-berjiwa, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan yang rasional. Jiwa rasional manusia adalah forma yang lebih tinggi dari pada jiwa-jiwa dalam spesies terestrial lainnya. Tatanan yang lebih tinggi lagi menurut Aristoteles adalah benda-benda langit, yang terdiri dari substansi yang tidak dapat hancur, atau eter, yang bergerak terus menerus dalam gerakan sirkular sempurna oleh Tuhan. (Encarta)
Klasifikasi alam yang hirarkis ini digunakan oleh banyak teolog Kristen, Yahudi, dan para teolog Muslim di Abad Pertengahan sebagai pandangan tentang alam yang konsisten dengan keyakinan-keyakinan agama. (Encarta)
Prinsip dasar filsafat Aristoteles bergeser pada persoalan-persoalan di seputar alam semesta dan segala benda yang ada di dalamnya. Ini menggantikan watak filsafat sebelumnya yang menekankan kosmogoni. (119) Dengan demikian, Aristoteles mendesakkan penjelasan-penjelasan yang bersifat naturalistik [dan juga rasionalistik] tentang alam. (118)
Aristoteles menekankan kemampuan akal dalam menjelaskan realitas segala sesuatu dalam dunia. Dari sudut pandang epistemologi-metafisik, sebagaimana dijelaskan di atas, akal/rasio merupakan perpanjangan atau refleksi intelegensi pada tatanan manusia, yang sumbernya adalah Intelek. Jika kita bertanya mengapa rasio memiliki korespondensi tertentu dengan apa yang kita sebut hukum alam, dan tidak bersifat kacau-balau? Ini karena ia berasal dari sumber kesatuan tunggal wujud dan kesadaran, yakni sumber yang bertindak sebagai objek-pengetahuan, subjek-pengetahuan, dan sekaligus pengetahuan itu sendiri. Nah, pada diri Aristoteleslah pemakaian rasio mendapat penekanan lebih dibandingkan pada Plato. Ia mencurahkan banyak perhatian untuk menelaah fungsi-kerja logika dan menyusun rumusan tentang bagaimana sebuah penalaran itu benar atau salah. Silogisme adalah salah satu rumusan logika Aristoteles yang didalamua fungsi kepastian Inteleksi tersembunyi, terlepas dari kemungkinan rasio untuk tidak menggunakan fungsinya sebagaimana semestinya.
Barangkali boleh dikatakan bahwa: jika Plato lebih menekankan dimensi batin intelegensi, maka Aristoteles lebih menekankan dimensi lahirnya, yang tidak lain dari rasio itu. Fungsi kerja rasio nampaknya menjadi maksimal ketika ia diperankan untuk menemukan empat sebab Aristoteles yang dapat menjadi prinsip penjelasan yang lengkap bagi segala sesuatu dalam dunia. Ini berbeda misalnya dengan perlakuan terhadap akal di zaman modern ini, dimana akal diperankan hanya untuk menemukan ‘dua sebab’ prinsip penjelasan saja dalam memahami realitas—sebab material dan sebab efisien—dan mengabaikan ‘dua sebab’ prinsip penejeasan lainnya yang dalam pandangan modern lebih merupakan wewenang agama dan bukan wewenang akal yang telah dibatasi dunia modern pada akal saintifik.
Perlu dicatat bahwa bagi orang-orang Yunani, filsafat Yunani bukan sekadar keasyikan rasional yang sepenuhnya abstrak. Sebaliknya, filsafat merupakan suatu jalan hidup, jalan yang mengarah pada kesempurnaan dan kebahagiaan tertinggi jiwa. Karena alasan inilah Plato disebut pendiri “teolgi alam” (natural theology), filsafat Yunani digolongkan “agama filosofis Yunani” dan Platonisme menyatakan diri sebagai “agama spiritual orang-orang Yunani”. (S. Nomanul Haq, 172)
Kemunduran
Dengan lahirnya Aritoteles, dimulailah filsafat (di Romawi) seperti yang dipahami di Barat sekarang dan berakhirlah filsafat seperti yang dipahami di Timur. Perlu dicatat bahwa aspek formal dan eksternal peradaban Barat (pada zaman modern ini) adalah bersumber dari zaman Romawi ini. (Nasr,Antara 69)
Selanjutnya, bersama dengan kejayaan dan kematian Alexander, murid Aristoteles, napas filsafat Plato dan Aristoteles seolah berakhir. Pasca kematian Aristoteles (322 SM) dan Alexander (323), pemikiran Yunani memasuki zaman yang disebut Hellenisme, yakni zaman ketika kebudayaan dan peradaban Yunani Kuno menyebar ke bagian-bagian wilayah lainnya di Mediterania, Asia Barat-daya dan Afrika Utara. Sebagian besar aliran pemikiran yang berkembang pada masa ini asyik dengan persoalan-persoalan etika. (141) Secara umum, periode Hellenisme ini dicirikan oleh: semakin menurunnya minat pada ilmu-ilmu alam, perhatian pelbgai aliran filsafat pada etika dan agama, kontak antara-budaya yang intens, dan para filosof Barat terpengaruh oleh ide-ide dari Buddhisme di India, Zoroastrianisme di Persia, serta Yahudi di Palestina. (Encarta)
Setelah kematian Alexander, sebuah kota di Mesir, yakni Alexandria (Iskandariyah), menjadi pusat kebudayaan dan filsafat. Perpustakaan-perpustakaan monumental ada di sana, dan karya-karya klasik Yunanipun dipelihara dan dipelajari. Menjelang akhir abad ke-2 SM, terjadi serangkaian pengeniayaan dan pembantaian terhadap para ilmuan, penyair dan sarjana di seluruh Mediterania. Akhirnya Yunani dan juga Mesir yang ketika itu dibawah kepemimpinan Ptolomeus IX ditaklukkan Roma. (141-142)
Di Alexandria, pemikiran Yunani dan Romawi mendapatkan pengaruh dari agama-agama yang datang dari Timur, antara lain Yahudi. Dari tempat berbagai pertemuan kebudayaan ini mucullah banyak metafisika yang nantinya tampil sebagai teologi abad pertengahan,. (142) Di Aleksandria berkembang aliran filsafat agama dan mistik selama periode aktivitas sains fisika dan matematika yang intens. Di sini, dikembangkan metafisika Neo-Platonis, matematika Neo-Pitagoras, dan Hermetisisme; di sini studi sains alam dan matematika sering dilakukan dalam matriks sebuah metafisika yang sadar akan sifat segala sesuatu yang simbolik dan transfaran. (Nasr,Antara 69) Tegasnya, di Alexandria ini telah terjadi tranformasi filsafat Yunani secara sangat radikal. Dari sekedar karya kaum cerdik pandai Yunani yang masih kampungan, di Alexandria filsafat benar-benar menjafi mendunia. Kecenderungan relijius dan mistisismenya malah hampir tidak di kenal di Yunani kuno. Dalam wajah baru filsafat ini berkembang Neoplatonisme yang berhasil memadukan semua arus besar filsafau Yunani klasik, seperti Platonisme, Aristotelianisme, Pythagoreanisme, dan Stoisisme dalan suatu sintesis yang mempesonakan, (Maji Fkhry, h. 2)
Namun, kembali ke Athena Yunani dan Romawi, filsafat Hellenistik mendorong tumbuhnya berbagai aliran seperti Epikureaniseme yang tokohnya adalah Epikurus (341-270), seorang pengikut Democritus; Stoisisme yang tokohnya adalah Zeno (335-263 SM), murid Parmenides; dan Skeptisisme yang tokohnya adalah Pyrro (360-270 SM), penerus kaum Sophis.(Solomon, 142,144,147)
Stoisisme, Epikureanisme, dan aliran belakangan di kekaisaran Romawi merupakan aliran-aliran rasionalisme yang menunjukkan sedikit perhatian pada signifikansi sains yang bersifat metafisik dan teologis serta sedikit memberikan kontribusi langsung pada sains-sains alam. (Nasr, 69)
Ketika Aristoteles, memperkenalkan filsafat Yunani ke dunia Romawi, rasionalisme murni dan naturalisme ikutannya menjadi faktor yang lazim berlaku dalam kancah interpretasi pandangan dunia Romawi. Bentuk-bentuk filsafat lain yang mengenali signifikansi spiritual alam—suatu intelektualisme atau metafisika kontemplatif—memang secara tak-diragukan masih bisa ditemukan baik di dunia Yunani maupun di Romawi, namun Aristotelianisme telah menguasai sesisa lainnya. (Naquib,33)
Munculnya Sopisme, Epicurianisme, Pyrrhonisme (Skepsisisme), the New Academy, dan banyak madzhab-madzhab lain yang dasarkan pada rasionalisme atau skeptsisme, menurut Seyyed Hossein Nasr, merupakan akibat dari tradisi Yunani Tradisi Yunani yang semakin mengalami desakralisasi. Madzhab-madzhab rasionalisme dan skepsisisme ini, kata Nasr, meruntuhkan hampir total fungsi-sakramental (penyucian) pengetahuan dan mereduksi pengetahuan kepada rasiosinasi atau pertunjukan mental yang sederhana. Apa yang disebut oles post-Renaisans sebagai “keajaiban Yunani”, dari sudut pandang tradisonl merupakan kebalikan dari keajaiban sebab ia menggantikan Intelek dengan rasio dan iluminasi batin dengan pengetahuan indrawi. (SHN, K&S, 34)
Filsafat pada Abad Pertengahan
Dunia yang telah subur dengan naturalisme, empirisisme, dan rasionalisme, serta pendewaan pada pengetahuan tentang tatanan kemanusiaan, dan interaksi dengan alam yang berlebihan inilah yang dihadapi Agama Kristen ketika ia diminta untuk menyelamatkan sebuah peradaban (bukan sekadar beberapa jiwa) [dari kehampaan spiritual]. Dalam Agama Kristen, semua ini nampak sebagai penghujatan yang membutakan manusia pada visi tentang Tuhan. (Nasr, 69) Kristen muncul ke permukaan ketika rasionalisme dan naturalisme murni telah mendominasi kehidupan dan pikiran orang-orang Latin (Romawi). (Naquib,33)
Dalam interaksi Kristen dengan filsafat Helenistik, muncullah tokoh-tokoh Kristen yang berupaya membuat penyelarasan antara filsafat Yunani dan ajaran-ajaran Kristen.
Upaya penyelaran filsafat Yunani dan ajaran-ajaran agama ini melahirkan apa yang disebut sebagai filsafat Skolastik. Perhatian para Skolastik bukanlah untuk menemukan fakta-fakta baru tetapi untuk mengintegrasikan pengetahuan yang telah diperoleh secara terserak olah penalaran Yunani dengan wahyu Kristen. (Encarta)
Tujuan dasar Skolastik ini menentukan sikap-sikap umum, dan sikap terpenting adalah keyakinan mereka bahwa ada harmoni antara rasio dan wahyu. Para Skolastik berpendapat bahwa karena Tuhan yang sama adalah sumber dari kedua jenis pengetahuan [wahyu dan filsafat] dan bahwa kebenaran adalah satu sifat utamanya, maka dia tidak dapat mengkotradiksikan diri-Nya dalam dua cara berbicara. Apapun yang tampak sebagai pertentangan antara wahyu dan rasio dapat ditelusuri sebabnya apakah itu pada penggunaan rasio yang tidak tepat atau pada interpretasi kata-kata wahyu yang tidak akurat. Karena para Skolastik percaya bahwa wahyu adalah ajaran langsung Tuhan, maka bagi mereka ia memiliki tingkat kebenaran dan kepastian yang lebih tinggi ketimbang rasio natural. Ketika tampak ada pertentangan antara keimanan religious dan penalaran filosofis, maka keimanan selalu menjadi pemikil keputusan tertinggi; keputusan para teolog mengesampingkan keputusan filosof. Setelah abad ke-13 awal, pemikiran Skolastik lebih menekankan independensi filsafat dalam ranahnya sendiri. Namun demikian, di sepanjang periode Skolastik, filsafat disebut pelayang teologi, bukan hanya kebenaran filsafat diposisikan dibawah kebenaran teologi, tetapi juga karena pafa teolog menggunakan filsafat untuk memahami dan menjelaskan. (Encarta\
Sebagai akibat dari kepercayaan mereka pada harmoni antara keimanan dan rasio, para Skolastik mencoba untuk menentukan wilayah dan kompetensi yang tepat dari masing-masing fakultas ini. Banyak Skolastik awal, semisal filosof dan pendeta Italia St. Anselmus, tidak dengan jelas membedakan keduanya dan sangat percaya bahwa rasio dapat membuktikan doktrin-doktrin wahyu. Selanjutnya, pada puncak periode Skolastik yang matang, teolog dan filosof Itali St. Thomas Aquinas berusaha mencapai keseimbangan antaran rasio dan wahyu. Namun, setelah Aquinas, mulai dengan teolog dengan filosof Skotlandia John Duns Scotus, Skolastik semakin membatasi ruang-lingkup kebenaran yang dapat dibuktikan oleh rasio dan menandaskan bahwa banyak doktrin yang sebelumnya dianggap terbuktikan oleh filsafat harus diterimana berdasarkan keimanan saja. Salah satu alasan pembatasan ini adalah bahwa para Skolastik menerapkan prasyarat-prasyarat bagi demonstrasi saintifik, sebagaimana dijelaskan secara spesifik dalam Organon Aristoteles, jauh lebih ketat dibandingkan apa yang telah dilakukan oleh para filosof sebelumnya. Prasyarat-prasyarat ini begitu ketat sehingga Aristoteles sendiri jarang mampu menerapkannya secara penuh di luar wilayah matematika. Kecenderungan inilah yang pada akhirnya membawa pada hilangnya kepercayaan pada rasio natural manusia dan filsafat yang menjadi cirri khas Renaisans awal dan para pembaharu agama Protestan, semisal Martin Luther. (Encarta)
Di dunia Kristen Abad Pertengahan, yang didominasi oleh teologi Augustinian, angelologi Dinonysian, dan kosmologi Kristen yang berasal dari elemen Hemetik, Pitagoras dan Platonis, masuklah sebentuk pengetahuan baru dari dunia Islam abad ke-14. Disamping tersebarnya beberapa sains alam-ghaib (occult science) seperti alkimia, bahkan kontak-esoterik antara Islam dan Kristen melalui Order of the Temple dan organisasi rahasia lain, hasil utama dari kontak ini adalah perkenalan dengan filsafat dan sains Peripatetik sebagaimana diperkembangkan kaum Muslim selama beberapa abad. (76)
Selama beberapa abad kaum Muslim telah mengembangkan sains dan filsafat Peripatetik maupun matematika, tetapi pada saat yang sama dimensi gnostik, iluminasionis, yang terkait dengan Sufisme, telah hidup dari awal dan berlanjut sebagai kekuatan hidup batintradisi Islam. Dalam kenyatannya Islamsemaki beralih ke arah ini dalam sejarahnya yang belakangan. (76)
Namun di Timur, penerjemahan arya-karya bebahasa Arab ke bahasa Latin, yang telah menyebabkan perubahan intelektual besar sejak abad sebelas hingga tigabelas, secara perlahan-lahan mengakibatkan Aristotelianisasi teologi Kristen. Rasionalisme kemudian menggantikan teologi Augustinian yang didasarkan pada iluminasi, dan pandangan alam yang kontemplatf semakain dikesampingkan ketika dimensi agama Kristen yang bersifat gnostik dan metafisik tercekik dalam lingkungan yang semakin rasionalistik (76)
Contohnya adalah perjalanan filsafat Ibn Sina. Hingga sekarang, Ibn Sina masih mempengaruhi kehidupan intelektual Islam. Pembaru filsafat Peripatetik belakangan Ibn Rusyd bagaimanapun hanya memiliki pengaruh yang sangat sedikit pada kaum Muslim. Selama abad ke-13, di Barat Ibn Rusyd, yang agak di salahpahami, menjadi guru kalangan Averoes Latin yang diasosiasikan dengan pengetahuan Kristen. Namun Avicenna tidak cukup mendapatkan murid di Barat bahkan untuk menjadi sebuah aliran Avicenianisme Latin. (76-77)
Aristotelianisme Ibn Rusyd jauh lebih murni dan radikal dibandingkan dengan filsuf-filsuf lainnya, sementara itu Ibn Sina telah menggabungkan filsafatnya dengan ajaran Islam, bahkan kemudian menghidupkan sebuah ‘filsafat Timur’ yang didasarkan pada iluminasi.penafsiran Ibn Rusyd di Barat sebagai filsuf yang bahkah lebih rasional ketimbang yang sebenarnya, dan kurang diterimanya Ibn Sina secara sistematik, merupakan indikasi terbaik tentang gerakan ke arah rasionalisme didunia Kristen. Kecenderungan ini sangat nampak terutama jika dibandingkan dengan situasi kehidupan intelektual peradaban Islam di Timur selama periode yang sama. Melalui proses ini, teologi mulai menggantikan metafisika, atau teologi yang agak rasionalistik menggantikan teologi yang kontemplatif dari abad-abad sebelumnya. Hasil dari perubahan ini semakin nampak setelah periode keseimbangan yang relatif sementara. (77)
Perjalanan kosmologi Ibn Sina sangatlah terkait dalam perkembangan ini. Bagi Ibn Sina kosmologi erat terkait denga angelologi Alam semesta dihuni oleh kekuatan angelik, sebuah pandangan yang sangat cocok dalam konsepsi agama tentang dunia. Agen spiritual dalam bentuk malaikat adalah sebuah aspek yang real dan integral dari realitas kosmik. Namun sebagaimana yang berkembang di Barat, kosmologi Ibn Sina, meskipun diterima secara umum, telah dikritisi oleh orang-orang oleh William dari Auvergne yang ingin membuang malaikat dari alam semesta. Dengan melupalan jiwa-jiwa Avicennian, sarjana-sarjana ini harus, hingga tingkat tertentu, menskularisasi alam semesta dan menyiapkan revolusi Covernican. Dalam kenyatannya, revolusi ini baru terjadi dalam subuah kosmos yang telah dihilangkan dari makna simbolik dan spiritual, sebuah kosmos yang telah menjadi fakta semata, yang dipisahkan dari pusat metafisika dan menjadi subjek sains fisika murni. (77)
Meskipun abad ke-13 adalah abah keemasan skolatisisme dan menghasilkan sintesis St. Thomas dan beberapa orang seperti Alberto Magnus, Roger Bacon, dan Robert Grossteste, yang di dalam matriks filsafat Kristen sangat tertarik dengan sains alam, namun dominsai rasionalisme selama periode ini segera menghancurkan keseimbangan yang dibangun selama abad ini. keseimbangan telah miring ke arah lain, dan, di abad ke –14, menyebabkan sebuah serangan terhadap akal dan skeptisisme yang menandai akhir abad Pertengahan.
Dua gerakan yang berbeda namun saling melengkapi dapat dilihat. Yang pertama adalah hancurnya organisasi esoterik di dunia Kristen seperti Order of the Temple. Hasilnya adalah bahwa gnostik dan unsur metafisika, yang hingga saat itu terus menerus hadir, mulai bubar dan perkahan-lahan menghilang, setidak-tidaknya sebagai sebuah kekuatan hidup yang aktif di dalam kerangka intelektual Barat Kristen. Yang ke dua adalah terperosoknya rasionalisme karena bebannya sendiri dan diperkenalkannya pengingkaran terhadap kekuatan akal untuk mencapai kebenaran. Jika mistikus seperti Meister Eckhaart berusaha mentransendenkan akal dari atas, para teolog nominalis menolak filsafat rasional, orang dapat mengatakan dari bawah dengan menolak kemunmgkinan mengetahui hal universal. (78)
Seluruh perdebatan tentang universal yang berasal dari Abelard, pada saat ini menjadi senjata favorit untuk menyerang akal dan membuktikan inkonsistensi kesimpulannya. Ocham dan kalangan Ockhamis mencipatakan sebuah suasana keraguan filosofis yang mereka coba penuhi dengan teologi nominalis yang akan memainkan peran filsafat. Ockham menciptakam sebuah teologisme yang menghancurkan kepastian filsafat Abad Pertengahan dan menyebabkan skeptisisme filosofis. Sementara itu, dalam menekankan sebab universal yang partikular dan mengkritisi filsafat peripatetik dan sains, Ockham dan para pengikutnya seperti Oresme dan Nicolas dari Autrecourt, membuat penemuan penting dalam bidang mekanika dan dinamik, penemuan yang menjadi dasar revolusi fisika abad ke-17. Bagaimanapun, penting dicatat bahwa perhatian pada sains alam ini berjalan bergandengan dengan keragu-raguan filosofis dan keberpalingan dari metafisika. Untuk ini, munculah teologi nominalis sebagai penggantinya. Setelah elemen keimanan melemah perkembangan saintifik dibiarkan tanpa elemen kepastian filosofis. Bahkan ia dikawinkan dengan keragu-raguan dan skeptisisme. (78-79)
Jadi abad Petengahan ditutup dengan sebuah suasana dimana pandangan tentang alam yang simbolik dan kontemplatif sebagai sebagian besar telah digantikan dengan pandangan rasionalistik, dan akhirnya melalui kritisme teolog nominalis, menimbulkan skeptisisme filosofis. Sementara itu dengan hancurnya elemen gnosis dan metafisika dalam agama Kristen sains kosmologis menjadi kabur dan tak dapat dimengerti, dan kosmos sendiri secara perlahan-pahan tersekularisasikan. Lebih lanjut di kalangan Kristen secara umum, baik kalangan Dominikan maupun Fransiskan, tidak menunjukkan perhatian tertentu pada studi alam. Maka semua ini merupaan latar belakang persiapan revolusi dan keguncangan yang mengakhiri integritas peradaban Kristen periode pertengahan dan menciptakan sebuah suasana di mana sains alam mulai dikembangkan di luar pandangan dunia Kristen dan kosmos secara perlahan-lahan tidak lagi Kristiani. (79)
Dengan Renaisans, manusia Eropa kehilangan surga Zaman keimaanan dan, sebagai gantinya, mendapatkan dan memberi perhatian pada sebuah bumi dan bentuk alam baru. Namun ini adalah alam yang semakin jauh dari cerminan realitas selestial. Manusia Renaisans telah berhenti menjadi manusia ambivalen Abad Petengahan, yang setengah malaikat setengah manusia; ia sekarang betul-betul menjadi makhluk bumi. Ia mendapat kebebsannya dengan mengorbankan kebebasan di dalam mentransendensi batasan terestrialnya. Di saat ini, baginya, kebebasan adalah kebebasan yang besifat kuantitatif dan horisontal, bukannya kebebasan yang bersifat kulaitatif dan vertikal, dan dalam semangat inilah, ia berjalan menaklukkan bumi dan membuka horison geografi dan sejarah alam yang baru. Namum, masih ada signifikansi agama di alam dan hutan belantara yang telah turun melalui tradisi Kristen. (79-80)
Konsepsi baru tentang manusia terestrial ini, yang erat terkait dengan hmanisme dan antropomorfisme periode ini, bertepatan dengan kehancuran dan hilangnya secara perlahan apa yang berasal dari organisasi esoterik dan inisiati Abad Pertengahan. Renaisans adalah saksi kehancuran organisasi seperti Masyarakat Palang Merah (Society of Rosy Gross), sementara pada saat yang sama, semua tulisan yang terkait dengan organisasi danmasyarakat rahasia seperti karya-karya Hemetikal dan Kabalistik mulai muncul. Bagaimanapun banyak selali kemunculan karya-karya periode ini disebakan pertama-tama dan teruta,ma oleh hancurnya gudang penegtahuan Abad Pertengahan yang memudahkan profanisasi dan vulgarisasinya. Kedua, hal ini disebabkan oleh usaha beberapa pemikir untuk menemukan sebuah tradisi primordial yang mendahuli ahama Kristen, sehingga mereka beralih pada semua hal yang berkaitan dengan misteri-misteri kuno. (80)
Apalagi jika kita memandang sekilas pada sains-sains zaman Renaisans, kita melihat bahwa, disamping penemuan baru dalam bidang geografi, sejarah alam dan beberapa kemajuan di bidang matematika, kerangka semua ini pada dasarnya berasal dari Abad Pertengahan. Sains zaman Renasisans meneruskan sains periode Prtengahan meskipun menekankan pada naturlisme. Hal ini karena pa yang terlihat muncul pada saat itu adalah sains kosmologi dan sains occult periode pertenghan yang kemudian dperkenalkan dan dielaborasi secara terang-terangan, meskipun terkadang dengan kekacauan dan distorsi. Agripa, Paracelsus,Basil Valentine, Meier, Bodin dan banyak tokoh lain lebih termasuk pada tradisi sains kuno dan pertengahanketimbang tradisi sains modern. namun aliran magis dan hermetikal zaman Renaisans memiliki peran ang signifikan dalam menciprakan sains modern sebagaimana halnya matematika-fisiksa yang lebih sering dipelajari, yang terkait dengan nama Galileo. Terlalu sedikit perhatian diberikan pada semua elemen penting ini karena penilaian apriori menyangkut apa itu sains. (80)
Bagaimanapun sebagaimana diperlihatkan dalam periode kemunduran pengetahuan metafisik dan bahkan dalam periode keraguan filosofis, sains-sains seperti alkimia menjadi semakin kabur, tak dapat dipahami dan menjadi kacau hingga secara perlahan tidak lagi menjadi sains semacam itu dan menjadi objek keasyikan kalangan occultis. Paracelsus masih memiliki peran pusat saintifik di masanya. Pada saat Fludd dan Kepler mempertukarkan nada-nada, tradisi Hermetiko-alkimia yang dibela oleh Fludd, telah kalah dalam pertempuran dan apa yang dianggap sebgai sains kemudian berpindah ke tangan Kepler dan teman-temannya (81)
Hilanganya wawasan dan keadaranan metafisik dalam makna simbolik sains kosmologis juga terlihat dalam perubahan cepat dari sains kosmologis ke kosmografi, sebuah gerakan dari isi ke bentuk. Berbagai kosmografi Renaisans tidak lagi berkenaan dengan isi dan makna kosmos, tetapi dengan bentuk dan deskripsi luarnya, meskipun masih menggambarkan kosmos Abad Pertengahan. Semua yang tersisa adalah badan tanpa semangat dan makna batinnya. Dari kosmografi ke macetnya gambaran kosmis ini, hanya ada satu langkah tunggal yang datang dengan revolusi Kopernican. (81)
Revolusi Kopernican menimbulkan kegoncangan spiritual dan agama yang telah diramalkan oleh ara penentangnya, sebab hal ini terjadi bersamaan dengan merjalelanya keraguan filosofis di mana-mana, dan sebuah humanisme, yang muncul lebih dari seabad, telah menghancurkan posisi manusia sebaga gambaran Tuhan di bumi. Usulan bahwa matahari adalah pusat sistem tata surya, bukanlah sesuatu yangbaru; sebab hal itu telah diketahui oleh bebrpa filsuf astronom Yunani, Islam, dan India. Tetapi selama zaman Renaisans, usulan yang kembali dikemukakn tanpa sebuah visi spiritual ini hanya mengakibatkan terusirnya manusia dari kosmos. (81)
Teologi dan rumusan agama eksternal dimulai dengan manusai dan kebutuhannya sebagai makhluk abadi. Metafisika dan aspek tradisi esoteris berbicarta tentang sifat benda. Astronomi Ptolomik –Aristelian dapat disamkan dengan struktur kosmos yang lebih tampak langsung dan sombolisme mendalam yang dihadirkan oleh wilayah konsentris pada manusia sebagai aspek yang nampak dari berbagai keberadaan. Dalam sekema ini, dari satu sudut pandang, manusai berada dipusat alam semesta berdasarkan sifat teomorfiknya, dan dari sudut pandang lain, ia berada ditingkat eksistemsi paling rendah, sebgai tempat awal ia mendaki ke arah Tuhan. naik mellaui kosmos sebagaimakna dengan jelas kita lihat dalam Divine Comedy juga dapat disamakan dengan naiknya jiwa melalui tahap-tahap purifikasi dan pengetahuan. secara terpaksa ia dapat disamakan dengan eksistensinya sendiri. Maka, dari sudut pandang spritual, kosmologi Abad Pertengahan mengahdirkan kosmos yang tampak bagi manusia sebagai simbol kongkrit tentang realitas etafisik yang bagaimanapun tetap benar, terlepas dari simbol yang dipergunakan untuk membawanya. Juga denganmasih adsanya keyakinan pada tampilnya benda secara langsung pada manusia, astronomi Ptolemik-Aristotelian lebih dapat disamakan dengan kebenaran teologis dan esoterik sementara pada sat yang sama, ia tetap merupkan sebuah simbol paling kuat tentang sebuah realitas metafisik. (82)
Sistem heliosentris juga memiliki simbolisme spiritual. Dengan menekankan sumber cahaya di pusat, sebuah argumen yang dirujuk Kopernicus, astronomi ini menyimbolkan secara jelas sentralitas Intelek Unversal di mana matahari, Apollo Supernal, merupakan simbol yang paling langsung. Apalagi dengan menghilangkan batas kosmos dan menghadirkan pada manusia kelauasan ruang kosmos, yang menyimbolkan Wujud Tuhan yang maha luas dan ketidakberartian manusa dihadapan-Nya, pandangan ini lebih sesuai dengan pandangan esoterik yang didasarkan pada sifat totalbenda dibandingkan (82) dengan perpsektif eksoterik dan teologis yang terkait denga kebutuhan manusai bahwa ia harus diselamatkan. Tetapi astronomi ini tidak dikuti dengan visi spiritual baru, meskipun terkadang orang seperti Nicholas dan Kusa menunjuuk pada signifikansi mendalam dari ‘alam semesta yang tak-terbatas’, yang pusatnya berada dimana-mana namun lingkar-bundarnya tidak merentang kemana-mana. Pengaruh totakl dari astronomi yang baru adalah profanisasi bentuk pengetahuan esoterik, aga mirip dengan observasi kita mengenai kasus sais alkimia dan Kabbalis. Ia menghadirkan sebuah bvisi baru tentang lam semesta tanpam menyediakan sebuah penafsiran spiritual bagianya. Maka transformasi dar bumi ke alam semesta yang tak-terbatas juga memiliki akibat agama yang paling mendaklam di jiwa manusia dan erat terjalin dengan seluruh perkembangan agama dan filosofis zaman Renaisans dan abad ke-17. (83)
Pertama-tama, revolusi Kovernican tampak seolah-seolah ergerak menjawab humanisme yang umum saat itu dengan menggesar manusia dari pusat Alam Semsta. Ini hanya lalah pengaruh yang nampak. Pengaruhnya yang lebih dalan adalah membantu semangat humanistik umum dan promothean zaman Renaisans. Dalam kosmologi zaman Pertengahan, manusai ditempatkan pada pusat Alam Semsta bukan sebgai manusai teretrail semata; ia adalah gambaran ilahi. Sentaralitas manusai tidak dikarenakan oleh kualitas antropomorfiknya tetapi oleh kualitas teomorfiknya. Dengan dijauhkan dari pyusat benda, astronomi yang baru tidak memberi manusai sifat dimensi transenden. Bahkan astronomi baru ini menegaskan hilangnya teomorfiknya. Karenanya, meski pada tingkat permukaan astronomi bari ini mengecilkan poisi manusia di dalam skema segala sesuatuu (benda), pada tingkat yang lebih dalam, ia membantu kecenderungan ke arah antropomorfisme dan revolusi Promothean melawan suara selestial. (83)
Dengan hancurnya seperangkat asas-asas abadi, yang merupakan hakim pengetahuan dan kebajikan, dan munculnya manusia bumi sebagai ukuran segala sesautu, maka dimulailah (83) sebuah kecenderungan dari objektivisme ke subjektivisme di dalam peradaban Barat ayng terus berlanjut hingga saat ini. Tidak ada lagi metafisika dan astronomi untuk menilai kebenaran dan kefalsuan dalam apa yang dikatakan manusia; justru pikiran manusia dijadikan sebagai kriteria kebenaran dan kepalsusan di setiap zaman. Renaisans, meskipun secara formal masih mengikuti sains Abad Pertengahan, membawa sebuah konsespsi manusia baru yang selanjutnya membuat semua bentuk pengetahuan, termasuk sains, dalam suatu pengertian yang bersifat antropomorfis. Di masa ini, tampil visi tentang segala sesuatu dari ‘manusia yang telah terjatuh’, untuk mengunakan terminologi Kristen, yaitu kebenaran itu sendiri dan setiap pengetahuan intelektual diangkat setinggi mungkin. Lebih lanjut, sains adalah satu-satunya yang dapat dipahami dan dijelaskan oleh mental. Sains tidak dapat berfungsi mentransendensikan mental kekuatan simbolisme. (84)
Skularisasi kosmos
Revolusi sainstifik sendiri muncul pada zaman Renaisans tetapi selama abad ke 17 ketika kosmos telah tersekularisasi, ketika agama melemah akibat konplik batin lama, ketka metafisika dan gnosis hampir terlupakan dan makna simbolik terlupakan, seperti dapat terlihat dalam seni periode ini. Renaisans, baru muncul setelah dua abab keragu-raguan filosofis dimana para filsuf abad ke 17 telah coba melarikan diri dari dan mencari kembali akses kepada kepastian. Descartes adalah pewaris akhir humanis Kristen Abad Pertengahan dan Renaisans; ia adalah ahli waris dari orang-orang seperti Petrarch, Gehrard Groot dan Erasmus maupun seluruh kelompk filsuf Renaisans seperti Telesio, Campanella dan Andriano dari Corneto. Kelompok yang terakhir ini meragukan kekuatan filsafat untuk mencapai kepastian asas-asas puncak (utimate principles) dan sebagai konpensasinya mereka biasanya beraih pada etika dan moralitas. Descartes juga merupakan pewaris utama skeptisisme dari Essays of Montaigne hingga Discoursenya merupakan sebuah jawaban dengan lebih dari satu jalan. (84)
Agar dapat mencapai kepastian pengetahuan melalui metodenya yang terkenal, Descartes harus mereduksi keaneka ragaman realitas eksternal menjadi kuantitas semata, dan mereduksi filsafat menjadi matematika. Metode Descartes adalah sebuah matematisisme, untuk menggunakan istilah Gilson, dan karenanya matematisisme Cartesian menjadi sebuah elemen yang permanen dalam pandangan dunia saintifik. Fisika yang telah dikonstruksi Descartes melalui metodenya telah ditolak Newton. Zoologinya, dimana Descartes mereduksi binatang menjadi mesin, secara keras diserang oleh Henri More dan John Ray. Tetapi matematisismenya, sebuah usaha untuk mereduksi realitas menjadi kuantitas murni, yang merupakan penjelasan secara matemats semata telah menjadi latar belakang fisika matematis dan tidak sadara dengan sains lain yang secara mati-matian berusaha menemukan hubungan kuantitatif di antara benda dengan mengabaikan aspek kualitatifnya. Pembedaan yang dibuat Galilio antara kualitas utama dan kuaitas skunder merupakan penegasan reduksi Descartes terhadap realitas sebagai kuantitas, meskipun Galilio berhasil menemukan sebuah fisika baru—yabng gagal ditemukan Descartes. (Antara Tuhan, Manuisa dan Alam, 85])
Kejeniusan Newton terletak pada kemampuannya menciptakan sintess karya-karya Descartes, Galileo, dan Kepler dan mempresesntasikan sebuah gambaran dunia yang ia rasakan (sebagai orang beragama) sebagai konfirmasi terhadap sebuah tatanan spiritual di Alam Semsta. Sebenarnya latarbelakang pemikiran Newton,yang terkait dengan tokoh-tokoh seperti Isaac Burrows dan kalangan Platonis Cambridge, sangat tidak bisa dipisahkan dari kepentingan terhadap makna metafisik tentang ruang, waktu, dan gerak. Namun, pandangan dunia Newton juga telah menyebabkan konsepsi tentang alam semesta yang bersifat mekanistis dan betul-betul terpisah dari interpretasi tentang sgala sesuatu yang organis dan holistik. Akibatnay setelah abad ke-17 (85) sains dan agama betul-betul terpisah. Newton adalah salahseorang yang pertama kali menyadari pengaruh buruk penemuannya bagi teologi. Kiota tidak boleh melupakan betapa banyak usaha yang telah ia lakukan dan betapa banyak halaman yang telah ia tulis tentang sains alkimia dan Kabbalistik di massanya. Muntgjkin baginya fisika baru, dengan keberhasilannya yang langsung ditingkat matematika-fisika, hanylah sebuah sains tentang segala hal yang metarial. Namun bagi para pengikutnya, fisika baru ini telah menjadi sebuah sains, satu-satunya pengetahuan yang syah tentang dunia objektif. (86)
Juga di abad ke-17, terjadi sebuah langkah terakhir dalam skularisasi kosmos di tangan para filsuf dan sainstis. Di zaman Renaisans, element filsafat tradisional masih hidup. anatomi kehidupan tidak hanya terdiri dari dunia fsisik yang betul-betul dapat dimengerti, tetapi juga dunia tengan antara dunia materi dan ruh murni, dunia imajinal (mudus imajinalis). Bagaimanapun dunia tengah ini tidak boleh dianggap tidak riil, atau disamakan dengan makna modern tentang imajiner. Dunia-tengah ini adalah asas alam yang langsung, dan melaluinya dimungkinkan sanins simbolik tentang alam. Diantara para pemikir Kristen (meskipun jauh dari pusat ortodoksi teologis), bahkan setelah zaman Renaisains, orang seperti Swedenborg dapat menulis komentar hermetik atas Bibel yang juag merupakan uraian tentang sains alam simbolik dan dapat mempercayai dunia tengah inisebagai landasanm pertemuan antara bentuk spiritual dan material. Kalangan Platonis Cambridge, terutama Henry More, bagaimanapun, adalah filsuf Eropa terakhir yang berbicara tentang wilayah realitas ini melalui cara yang sama, sebagaimana Leibniz menjadi filsuf Barat utama terakhir yang berbicara tentang malaikat. (86)
Operasi bedah Cartesian yang memisahkan ruh dari materi, selanjutnya mendominasi pemikiran filosofis dan saintifik. Sains memiliki wilayah materi yang sepenuhnya dipisahkan dari aspek ontologisnya kecuali kuantitas murninya. Meskipun ada protes di sana sini terutama dikalangan Jerman dan Inggris, pandangan ini menajdi faktor yang menentukan hubungan antara nmanusia dan alam, secara saintifik dan filosofis. Maka rasionalisme abad ke-17 adalah latar belakang tidak sadar dari semua pemikiran saintifik hingga zaman sekarang. Apapun penemuan sains dan perubahan yang ditimbulkan dalam konsepsi ruang, waktu, dan gerakk, latar belakang rasionalisme abad ke-17 tetap ada. Karena alasan ini juga penafsiran lain tentang alam, terutama penafsiran simbolik, tidak pernah diterima atau dipertimbangkan secara serius. (Nasr, Antara Tuhan, Manusia, dan Alam, 86-87)
Di abad ke-17, hermetisisme masih terus dominan terutama di Inggris. Ada juga Jacob Bohme, tukang sepatu dan teosofer Jerma yang luar biasa, yang kemunculannya di Peride ini sangat penting dan mempengaruhi aliran Natur-philosopie yang secara khusus bereaksi terhadap filsafat mekanis secara umum. Perkembangan ini memiliki arti penting karena menunjukkan teruta di Eropa utara, keberlanjutkan konsep spiritual tentang alam di beberapa kalangan. Aliran-aliran seperti ini tetap berada dipinggiran teruta jika dikaitkan dengan pengaruhnya terhadap sains modern. panggung utama tetap ditempati filsafat sains mekanis.( Nasr, Antara Tuhan, Manusia, dan Alam,87)
Selama abad ke-18, meskipun secara teoritis sains masih mengikuti garois-garis abad ke-17, namun pengaruj filosofisnya lebih nyata. Filsafat Descartes ditarik ke kesimpulan logisnya oleh kalangan Empirisis, oleh Hume dan Kant yang membuktilan ketidakmampuan akal manusai untuk mencapai pengetahuan tentang esensi segala sesuatu, sehingga membuka pintu bagi filsafat irasional yang telah menyususl di belakanngya. Melalui kalangan ensiklopedis, Rousseau, Voltaire, berkembanglah sebuah filsafat manusai tanpa sebuah dimensi transienden dan kebenaran direduksi menjadi kemanpaatan. Jika abad ke-17 masih mepertimbangkan persoalan di tingkat kebenaran atau kepalsuan teoritis, di masa ini persoalannya terletak pada manfaat pengetahuan bagi manusia, yang hanya merupakan makhluk bumi tanpa tujuan selain mengeksplorasi dan menguasai kekayaan bumi. Bakat praktis dan utilitarian, yang (87) terealisasi dalam Revolusi Perancis, menekankan pengaruh sains mekanistik baru dengan memberikan perhatian pada sains empiris dan berusaha menghacurkan setiap sisa pandangan kontemplatif terhadap alam. Dengan bantuan sains yang baru, satu-satunya peran yang diberikan manusai adalah menkalukkan dan mendominasi alam, memenuhi kebutuhannya sebagai binatang yang dikaruniai akal dan pikiran analitik. (Nasr, Antara Tuhan, Manusia, dan Alam,88)
Selama abad ke-19, konsepsi alam materialistik tidak berjalan tanpa tantangan, terutama dari seni dan sastra, dimana gerakan romantik berusaha membangungu kembali sebuah ikatan dengan alam dan ruh yang menghuni alam. Para filsuf-penyair Romantik seperti Novalils, telah mendedikasikan diri nya sebagian besar pada tema alam dan signifikansinya bagi manusia. (Nasr, Antara Tuhan, Manusia, dan Alam,88).
Sikap romantik terhadap alam bagaimanapun lebih bersifat sentimental ketimbang intelektual. Wordsworth berbicara tentang ‘kepasifan yang bijaksana’ dan Ketat berbicara tentang ‘kemampuan yangnegatif’. Sikap fasif ini tidak dapat membuat dan membentuk pengetahuan. apapun upaya yang dilakukan kalangan romantik dalam menemukan kembali seni Abad Pertengahan atau keindahan alam yang perawan, ia tidak dapat mempengaruhi arus sains ataupun menambahkan sebuiah dimensi baru di dalam sains itu sendiir, yang akan membuatmanusia mampu memahami aspejk-aspek alam yang gagal dipertimbangkan sains abad ke-17 dan setelahnya. (Nasr, Antara Tuhan, Manusia, dan Alam,89)
Mengenai filsafat abad ke-19, kemungkinan engetahui segala hal terletak dalam aspeknya yang tidak berubah, sehingga kemungkinan ini, di dalam filsafat Hegel, terkait dengan proses dan perubahan. Wujud Absolut sendiri dibuat memasuki arus proses dalektis yang disamakan dengan sebuah logika proses yang kemenjadian yang baru. Visi tentang realitas yang takberubah dan abadi menjadi sepenuhnya dilupakan dalam sebuah alam semeta dimana, di saat ini, relalitas yang tak-dimengerti (suprahensible) telah kehilangan status objektif dan ontologisnya. Intusi orang-orang sperti Schelling atau Franz von Boader tidak banyak mencegah keterperosokan lebih jauh ke dalam dunia kemenjadian dan perubahan semata. (Nasr, Antara Tuhan, Manusia, dan Alam,89)
Penutup
Tradisi saintifik Islam mengantarkan pada kemunculan tradisi saintifik Eropa. Abad pertengahan yang memandang alam dari perpektif yang tidak sepenuhnya asing bagi Islam. Namun kesamaan perspektif ini tidak berlangsugng lama.
Renaisans pada abad ke-17 menyusutkan persamaan perspektif itu, dan akhirnya menghilangkannya.
Mula-mula gagasan-gagasan tentang kualitas-kualitas esensial alam yang merupakan bagian tak-terpisahkan dari materi dalam tradisi sainfik Islam dan Yunani ditinggalkan .
Penekanan saintifik bergeser kepada sifat-sifat geometris partikel (bantuk, ukuran, dan gerak) dan akhirnya pada metematisasi alam dalam sekala yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Pandangan religious atas alam yang selalu didasarkan pada simbolisme direduksi menjadi tidak relevan dan menjadi persoalan subjektif, sehingga ajaran-ajaran kosmik agama tampak tidak nyata dan tidak relevan.
Eropa berupaya menemukan kembali khazanahnya sendiri tetapi berlansung dalam suasana permusuhan dengan Islam.
Di sisi lain, perubahan sikap terhadap kaum Muslim dan kontribusinya terhadap sains juga merupakan konsekuensi dari pergeseran besar pandangan Eropa tentang kehidupan dan alam.
Perubahan dari penemuan rahasia alam ke penguasaan alam dengan cara tertentu juga disertai hilangnya kualitas inheren yang terdapat dalam sains abad pertengahan yang mengaitkan sains dengan kebesaran Tuhan. Sains baru merambah bidang-bidang baru, menyusus ribuan teori baru, melayani manusia dengan cara yang tidak dilakukan sebelumnya. Namun, sains modern mencapai semua itu dengan pandangan filosofis yang memperlakukan materis ebagai unit yang otonom, yang dengan cara tertetnu eksis dan akan abadi selamanya, serta mejalankan fungsinya tanpa membutuhkan Tuhan atau mu’jizat.




‘’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’

Menurut Nasr, inilah yang terjadi manakala rasio diberi fungsi kerja yang independen dari Intelek,

Terpotong dari hati yang notabene merupakan lokus Intelek, rasio tidak bisa tidak kecuali teraksyikan dengan kesementaraan dan keberubahan yang kemudian mulai merenggut peranan dan fungsi yang-permanen. Dalam pereduksian yang Absolut kepada yang relatif, yang-permanen kepada yang berubah-rubah, sudut pandang profan juga mengosongkan yang relatif dan yang berubah-rubah dari kualitas sakral yang mereka [yang relatif dan yang berubah] miliki pada level-levelnya sendiri. (K&S, 46)

Manusia dianugrahi inteligensi yang memungkinkannya untuk mengetahui Realitas Tertinggi sebagai Yang Transenden Yang Dibalik-wujud, dan dunia objektif sebagai realitas yang jelas pada levelnya sendiri, dan Realitas Tertinggi sebagai Yang Imanen, sebagai Diri Tertinggi yang berada di lapisan bawah semua selubung subjektivitas dan "diri-diri" atau lapisan-lapisan kesadaran di dalam dirinya. (3) Dengan demikian, manusia bukan hanya binatang rasional, sebagaimana didefinisikan oleh para filosof. Tetapi, ia juga dapat didefinisikan dengan cara yang lebih utama sebagai wujud yang teranugrahi inteligensi penuh yang terpusat pada Yang-Absolut dan tercipta untuk yang Absolut. Menjadi manusia berarti mengetahui dirinya dan sekaligus melampaui dirinya. (4)
Pengosongan pengetahuan dari karakter sakralnya dan penciptaan sebuah sains "profan" yang kemudian digunakan untuk mengkaji doktrin-doktrin dan bentuk-bentuk yang paling sakral dalam jantung agama telah membawa pada dilupakannya keutamaan dimensi sapiental dalam perbagai tradisi dan diabaikannya doktrin manusia yang telah melihatnya sebagai wujud yang memiliki kemungkinan untuk mengetahui segala sesuatu dalam prinsip dan hal-hal prinsip dalam segala seuatu yang membawa pada akhirnya pada penegtahuan tentang Realitas Tertinggi. (6)
Perspektif sapiental telah begitu terlupakan dan klaim-klaim rasionalisme, yang mereduksi fakultas inteletual manusia pada hanya fungsi analitik dan luaran pikiran manusia sehingga kemudian berbalik menentang fondasi agama itu sendiri, begitu ditekankan, sehingga banyak orang Barat yang sensitif secara religius cenderung berlindung dalam keimanan saja, menyerahkan kepercayaan atau ajaran doktrinal kepada belas-kasihan paradigma-paradigma atau teori-teori yang selalu berubah-rubah yang terprangkap dalam proses relativisasi dan transformasi yang terus menerus. . (6)

****
Barangkali dalam suasana seperti inilah, sekitar 185 M dunia Kristen mengalami iklim perubahan intelektual [dalam mengkonsepsi hubungan Tuhan, alam, dan manusis], dimana mereka antara lain mempercayai doktrin yang menurut mereka disandarkan pada al-Kitab, yakni bahwa Tuhan telah menciptakan alam dari ketiadaan, sebuah doktrin yang pasti mengejutkan para penganut Platonis. Orang-orang Kristen tidak lagi percaya jika Tuhan Plato (Yunani) dapat secara sukses dibandingkan dengan Tuhan al-Kitab.
Doktrin baru penciptaan dnia ex nilhilo ini menekankan pandangan bahwa kosmos pada dasarnya lemah dan sepenuhnya tergantung pada Tuhan untuk mewujud dan hidup. Dari cara pandang yang memisahkanTuhan dari alam ini dikonsepsikan bahwa Tuhan dan kemanusiaan tak lagi serumpun, sebagaimana dalam pemikiran Yunani. (Amstrong, 157)
Dalam cara pandang creatio ex nihilo, tak ada lagi mata rantai wujud yang secara abadi ber-emanasi dari Tuhan. Tak ada lagi perantara alam wujud-wujud spiritual yang mengalirkan mana (kekuatan sakral) ilahi kepada dunia. Manusia tidak dapat lagi mendaki mata rantai wujud menuju Tuhan dengan usaha mereka sendiri; hanya Tuhanlah—yang pada awalnya telah mengeluarkan mereka dari ketiadaan dan yang menjaga mereka agar terus ada—yang bisa menjamin keselamatan abadi mereka. (Amstrong, 157)
Dalam dialog antara Kristen dan Yunani, Kristen menekankan kualitas-kualitas Tuhan, jiwa manusia, dan penyelamatan spiritual, sementara Yunani menekankan kualitas-kualitas ilahiah yang terdapat dalam kosmos dan status supranatural intelegensi manusia yang memungkinkannya mengetahui alam semesta yang mengandung kualitas-kualitas ilahiah itu [yakni, yang memungkinkan manusia menemukan signifikasi teologis dan spiritual alam]. Dalam hal ini, masing-masing aspek mengungkapkan kebenaran, sekalipun separuhnya. (Nasr, 70)
Unsur-unsur kosmologi Yunani yang menekankan peranan unggul intelejensi sebagai sarana manusia untuk mampu menginterpretasikan signifikansi spiritual alam masih berlaku pada saat itu, dan ini jelas-jelas membawanya pada konfrontasi dengan teologi Kristen yang telah berada di bawah pengaruh rasionalisme naturalistik [dan yang dipandangnya telah berlebihan dan telah menimbulkan kehampaan spiritual itu]. (Naquib, 34)
Akibat konfrontasi religio-filosofis ini, teologi Kristen mulai memberangus peran intelejensi, dan karenanya juga memberangus pengetahuan spiritual yang diklaim dapat dihasilkan intelegensi itu, serta pada saat yang sama menekankan iman yang-tak-ragu-ragu (unquestioning faith) bukan melalui pelatihan intelegensi dan rasio manusia melainkan melalui semata-mata kehendak manusia yang menjadikan cinta sebagai basis iman tersebut. (Naquib, 34)
Dalam upaya meghilangkan bahaya rasionalisme yang terlepas dari gnosis, agama Kristen mengakui kerja iman dan melupakan esensi spiritual dari intelegensi natural yang ada dalam diri manusia. (Nasr, 70) Demikianlah ketika agama Kristen membayangkan manusia sebagai kehendak ketimbang intelegensi, maka iapun menekankan aspek iman dan cinta manusia ketimbang aspek pengetahuan dan kepastian (certitude)nya. (Nasr, 70-71)
Pengetahuan buah inteligensi yang tanpa iman mulai dianggap sebagai pengetahuan duniawi (knowledge according to flesh), sesuai dengan konsepsi Kristen tentang manusia sebagai sebuah kehendak yang pada dasarnya bengkok, yang lukanya mesti disembuhkan dengan ritus pembaptisan [bukan dengan pelatihan intelejensi]. (Nasr, 70-71) Dalam hal ini, tidak ada penekaan pada esensi intelegensi yang bersifat supranatural, tidak ada penekaan pada gnosis atau pengetahuan iluminatif yang sebenarnya merupakan sumber dan landasan pertemuan iman dan akal (intelejensi). (Nasr, 70-71)
Sebenarnya, pengetahuan iluminatif atau gnosis telah ada dalam agama Kristen, namun sebagian besar berada di pinggiran, terutama sepanjang kaitannya dengan agama Kristen di Barat. (70-71) Dengan demikian, pengetahuan dan kepastian, yang merupakan dua aspek dari kebenaran yang sama dan yang merupakan esensi intelek, digeser ke status yang agak inferior dibandingkan dengan teologi rasional murni. (Naquib, 34)
Pemberangusan terhadap peran intelegensi dalam menemukan signifikansi teologis dan sipiritual alam, secara tidak langsung juga mendorong agama Kristen secara terpaksa untuk melupakan dan mengabaikan, atau setidak-tidaknya mengecilkan, signifikansi alam yang bersifat teologis dan spiritual. (Nasr, 69-70) Dengan kata lain, Kristen yang berada di bawah pengaruh potret alam naturalistik yang hampa signifikansi simbolik ini, memberikan reaksi terhadap pengaruh ini dengan merendahkan Kerajaan Alam (hal-hal natural) dan mengabaikan kontemplasi serius atasnya demi Kerajaan Tuhan (hal-hal supranatural) yang tidak memiliki hubungan apapun dengan dunia alam. (Naquib,34) Itulah sebabnya, satu-satunya hubungan yang mungkin terjadi antara dua kerajaan itu dalam Kristen secara logis adalah hubungan supranatural, (Naquib,34) seperti yang ditunjukkan oleh doktrin cratio exnihilo itu.
Kehampaan spiritual yang disebabkan oleh dekadensi agama Yunani-Romawi, dan naturalisme yang berlebihan telah mendorong agama Kristen untuk menarik perbedaan tajam antara hal-hal supra-natural dan hal-hal natural, atau antara rahmat dan alam. (Nasr,71) Dalam reaksinya terhadap naturalisme, pembedaan antara hal-hal yang berkaitan dengan dimensi supranatural dan natural ini dilakukan agama Kristen secara kaku sehingga nyaris mencerabut dimensi spiritual yang merembesi segala sesuatu. (Nasr, 69-70)
Untuk menyelamatkan jiwa manusia, agama Kristen harus melupakan dan mengabaikan, atau setidak-tidaknya mengecilkan, signifikansi alam yang bersifat teologis dan spiritual. Akibatnya, dalam agama Kristen Barat, studi tentang alam yang didasarkan pada sudut pandang teologis tidak menduduki tempat sentral. (Nasr, 69-70) Teologi resmi memandang persoalan alam sebagai wilayah positif dalam kehidupan agama yang berada diluar perhatian pokok dirinya (teologi). (Nasr, 71)
Hanya melalui cara ini, agama Kristen dapat menyelamatkan sebuah peradaban dan menanamkan sebuah kehidupan spiritual yang baru pada dunia dekaden; tetapi dalam prosesnya, terjadi alienasi terhadap alam yang tanda-tandanya dapat dilihat dalam sejarah agama Kristen berikutnya. Ini adalah salah satu akar krisis manusia modern di zaman sekarang dalam perjumpaannya dengan alam (Nasr, 70)
* * * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar