Jumat, 18 Juni 2010

wara

Pengertian

Diantara berbagai sifat dasar yang ada dalam diri manusia adalah Wara’ yang akan kita bahas kali ini. Secara umum, khususnya ummat islam memang manusia sudah memiliki sifat-sifat ini dan tahu akan hukum tentang wara, hanya saja kita cuma sekedar tahu dan tidak mengamalkannya.
Sabda rasulullah SAW :

"Jadilah orang yang wara' niscaya engkau menjadi manusia yang paling beribadah"

Sesungguhnya orang yang mengenal Rabb-nya dan menempatkan-Nya sebagaimana mestinya, mengagungkan larangan dan syi'ar-syi'ar-Nya, akan melakukan pengagungan sampai kepada sikap hati-hati dari setiap perkara yang bisa menyebabkan kemurkaan Allah I di dunia maupun di akhirat. Maka wara' di sisi-Nya termasuk jenis takut yang membuat seseorang meninggalkan banyak hal yang dibolehkan, jika hal itu menjadi samar atasnya bersama yang halal agar tidak merugikan agamanya. Di antara tanda yang mendasar bagi orang-orang yang wara' adalah kehati-hatian mereka yang luar biasa dari sesuatu yang haram dan tidak adanya keberanian mereka untuk maju kepada sesuatu yang bisa membawa kepada yang haram. Dan dalam hal itu, Rasulullah r bersabda:

"Sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya banyak hal-hal syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya."

Dan barangsiapa yang bertindak berani di tempat-tempat yang diragukan, niscaya bertambahlah keberaniannya terhadap sesuatu yang lebih berat: "Dan sesungguhnya orang yang bercampur keraguan, hampir-hampir ia berani (kepada yang diharamkan)."

Maka wara' yang sebenarnya adalah seperti yang digambarkan oleh Yunus bin 'Ubaid rahimahullah: yaitu keluar dari semua yang syubhat dan muhasabah (introfeksi) terhadap diri sendiri di setiap kedipan mata.

Perjalanan kejatuhan berawal dengan satu kali terpeleset, dan semangat terhadap akhiratnya menjadikan di antaranya dan terpelesetlah tameng yang menutupi dan menjaganya. Syaikh alQubbari rahimahullah mengisyaratkan kepada pengertian ini dengan katanya: 'Yang makruh adalah dinding penghalang di antara hamba dan sesuatu yang haram. Maka barangsiapa yang banyak melakukan yang makruh berarti ia menuju kepada yang haram. Dan yang mubah merupakan dinding pemisah di antaranya dan yang dimakruhkan. Maka barangsiapa yang memperbanyak yang mubah niscaya ia menuju kepada yang makruh.'

Ibnu Hajar rahimahullah memandang baik perkataannya ini dan ia menambahkan: 'Sesungguhnya yang halal, sekiranya dikhawatirkan bahwa melakukannya secara mutlak bisa menyeret kepada yang makruh atau haram, semestinya meninggalkannya, seperti memperbanyak yang halal. Sesungguhnya hal itu membutuhkan banyak kerja yang dapat menjatuhkan diri seseorang dalam mengambil yang bukan haknya atau membawa kepada penolakan jiwa. Dan sekurang-kurangnya adalah tersibukkan dari ibadah (maksudnya, tidak ada waktu untuk beribadah, pent.). Hal ini sudah diketahui berdasarkan pengalaman dan disaksikan dengan pandangan mata.

Ciri mendasar pada seseorang yang bersifat wara' adalah kemampuannya meninggalkan sesuatu yang hanya semata-mata ada keraguan atau syubhat, seperti yang dikatakan oleh al-Khaththabi rahimahullah: 'Semua yang engkau merasa ragu padanya, maka sifat wara' adalah menjauhinya.

Imam al-Bukhari rahimahullah mengutip perkataan Hasan bin Abu Sinan rahimahullah: 'Tidak ada sesuatu yang lebih mudah dari pada sifat wara': "Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu."

Sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah r, beliau bersabda:
"Kebaikan adalah sesuatu yang jiwa merasa tenang dan hati merasa tenteram kepadanya, sedangkan dosa adalah sesuatu yang jiwa tidak merasa tenang dan hati tidak merasa tenteram kepadanya, sekalipun orang-orang memberikan berbagai komentar kepadamu."

Dan yang memperkuat hal itu adalah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Asakir rahimahullah secara mursal:
"Sesuatu yang diingkari hatimu, maka tinggalkanlah."

Orang-orang yang memiliki kedudukan yang tinggi selalu bersikap prefentif untuk diri mereka sendiri dengan berhati-hati dari sebagian yang halal yang bisa membawa kepada sesuatu yang makruh atau haram.

Diriwayatkan dari Rasulullah r, beliau bersabda:
" Seorang hamba tidak bisa mencapai derajat taqwa sehingga ia meninggalkan yang tidak dilarang karena khawatir dari sesuatu yang dilarang."

Hal ini diperkuat oleh hadits yang lain:
"Jadikanlah pendinding yang halal di antara kamu dan yang haram …"

Ibnu al-Qayyim rahimahullah menceritakan pengalamannya bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: Syaikhul Islam berkata kepadaku pada suatu hari tentang sesuatu yang mubah (boleh): 'Ini menghalangi kedudukan yang tinggi, sekalipun meninggalkannya bukanlah syarat dalam keselamatan."

Sebagaimana wara' meliputi gambaran-gambaran usaha dan hubungan mu'amalah, maka sesungguhnya ia juga mencakup lisan. Sesungguhnya engkau menemukan kebanyakan orang bersegera memberi fatwa, sedangkan mereka tidak mengetahui. Karena itulah, ad-Darimi rahimahullah membuat satu bab yang berbunyi: Menahan diri (bersikap wara') dari menjawab sesuatu yang tidak ada dalam alQur`an dan sunnah.' Ishaq bin Khalaf rahimahullah memandang sikap wara` dalam ucapan lebih utama daripada sikap wara` dalam hubungan yang berkaitan dengan harta, di mana dia berkata: 'Wara' dalam tuturan kata lebih utama daripada emas dan perak.

Di antara renungan Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam haditshadits Rasulullah r, dia menyatakan bahwa sesungguhnya: 'Rasulullah r mengumpulkan semua sifat wara' dalam satu kata, maka beliau bersabda:

" Termasuk tanda baik keislaman seseorang, ia meninggalkan hal-hal yang tidak penting baginya."

Dan di antara hasil yang nampak bagi sikap wara' bahwa ia memelihara pelakunya dari terjerumus (dalam hal yang dilarang), karena itulah engkau menemukan: Barangsiapa yang melakukan yang dilarang, ia menjadi gelap hati karena tidak ada cahaya wara', maka ia terjerumus dalam hal yang haram, kendati ia tidak memilih untuk terjerumus padanya. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah.

Dan dalam hadits ifki (berita bohong), 'Aisyah radhiyallahu 'anha berkata tentang Zainab radhiyallahu 'anha, di mana ia menjaga pendengaran dan penglihatannya dari terjerumus dalam perkara yang ia tidak mengetahui: 'Maka Allah I menjaganya dengan sifat wara'

Sebagaimana orang yang wara' memelihara agama dan kehormatannya dari celaan:
"Maka barangsiapa yang menahan diri dari yang syubhat, niscaya ia telah membersihkan agama dan kehormatannya, "

Ibnu Hajar rahimahullah berkata: 'Dalam hadits ini menjadi dalil bahwa barangsiapa yang tidak menjaga diri dari yang syubhat dalam usaha dan kehidupannya, berarti ia telah menawarkan dirinya untuk mendapat celaan. Dan dalam hal ini menjadi isyarat untuk memelihara perkara-perkara agama dan menjaga sikap muru`ah.'
Maka apabila wara' merupakan kedudukan ibadah yang tertinggi:

"Jadilah orang yang wara' niscaya engkau menjadi manusia paling beribadah."
Dan jika agama yang paling utama adalah sikap wara':
" Sebaik-baik agamamu adalah sikap wara'"

Apakah juru dakwah yang beriman tidak mau menaiki puncak tersebut dan menjaga dirinya dari terjatuh dan terjerumus. Dia harus menjaga diri dan berhati-hati agar amal ibadahnya tidak gugur sedangkan dia tidak mengetahui. Maka sesungguhnya banyak para sahabat yang takut dari sifat nifaq terhadap diri mereka, dan Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan alasan tersebut dengan penjelasanannya: Rasa takut mereka dari sifat nifaq tidak berarti adanya sifat itu pada diri mereka, bahkan hal itu merupakan sikap wara' dan taqwa yang luar biasa dari mereka radhiyallahu 'anhum jami'an. Seperti inilah sifat mereka, maka hendaklah kita melakukan intropeksi terhadap diri kita dan menimbang amal perbuatan kita sendiri.


















Kesimpulan:

1. Wara' adalah sikap takut yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan yang boleh, sebagai sikap kehatihatian.
2. Di antara tanda-tanda sifat wara' adalah:
a. Sangat berhati-hati dari yang haram dan syubhat.
b. Membuat pembatas di antaranya dan yang dilarang.
c. Menjauhi semua yang diragukan.
d. Tidak berlebihan dalam persoalan yang boleh.
e. Tidak memberikan fatwa tanpa berdasarkan ilmu.
f. Meninggalkan perkara yang tidak berguna.
3. Di antara buah wara' adalah:
a. Menjaga diri dari istidraj.
b. Menjaga agama dan kehormatan.
4. Di antara sikap wara' para sahabat bahwa mereka sangat khawatir terhadap diri mereka dari sifat nifaq.

ILMU TAWASUF

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Segala puji bagi Allah yang telah mewajibkan shalat kepada hamba-hambanya, yang telah memerintahkan kepada mereka untuk menegakkan dan melaksanakannya dengan sebaik-baikya, yang telah menjanjikan kesuksesan dan kebahagiaan di dalam mengajarkannya secara khusyu’, dan yang telah menjadikan shalat sebagai pemisah antara keimanan dan kekafiran, serta sebagai pencegahan terhadap perbuatan keji dan munkar. Dan keselamatan serta kesejahtraan semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad saw.
Nabi saw melaksanakan kewajiban ini dengan penuh kesungguhan. Shalat adalah salah satu masalah paling besar yang diterangkannya kepada manusia, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Sehingga pernah pada suatu ketika beliau shalat diatas mimbar, beliau berdiri dan ruku’ diatasnya, lalu bersabda kepada mereka, “ aku lakukan yang seperti ini, tidak lain hanyalah agar kamu berdiam di tempatku (berpegang kepada ajaranku) dan agar kamu mempelajari cara shalatku “.
B. Rumusan Masalah
Berpijak pada latar belakang masalah yang telah di kemukankan diatas, maka muncul permasalahan yang akan dijadikan pokok-pokok pembahasan sebagai berikut :
1. Bagaimana kita meangikuti cara Rasulullah saw melaksanakan shalat ?
2. Bagaimana konsep Rasululla saw dalam melaksanakan shalat ?
3. Apa yang menjadai faktor penunjang dan penghambat keberhasilan dalam mencapai kekhusyuan shalat ?
4. Bagaimana hasil yang di capai setelah pelaksanaan shalat ?
C. Tujuan Penelitian
Penulisan makalah ini dilakukan semata-mata demi untuk mempelajari dan menambah wawasan dalam Ilmu Tasawuf dan juga untuk menyajikan kepada saudara-saudara kaum muslimin yang menginginkan ibadah mereka mengikuti Rasulullah saw, dalam sebuah buku yang menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan gambaran shalat Nabi saw. Mulai dari takbir hingga salam. Sehingga bagi orang-orang yang mencintai Nabi saw. Yang telah mengetahui gambaran ini akan mudah untuk melaksanakan perintahnya. didalam hadist yang berbunyi, “lakukanlah shala t seperti kamu melihat aku shalat”. oleh karena itu, kami berusaha untuk selalu mengikuti hadist-hadist yang berhubungan dengan shalat. dan hasil dari semua itu adalah makalah ini. Kami telah menyaratkan kepada diri sendiri untuk tidak mengeluarkan hadist-hadist Nabi saw., kecuali yang telah tetap sanadnya, yang sesuai dengan dengan kaidah-kaidah Hadist syarif dan dasar-dasarnya.
Kemudian, kami juga menyebutkan madzhab-madzhab para ulama disekitar hadist yang kami keluarkan dan dalil dari masing-masing dengan memperbandingkannya dan menerangkan kelebihan-kelebihan dan kekurangannya.
D. Kegunaan Penelitian
Kami sebagai penulis membuat makalah ini, berharap semoga Allah menjadikan kita seorang yang ikhlas dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya dan semoga memberikan manfaat untuk saudara-saudara kaum Mu’minin. Karena sesungguhnya Allah adalah Maha mendegar dan Maha menerima doa.
E. Kerangka Berfikir

BAB II
SHALAT KHUSYUK SALAH KAPRAH
Pertanyaan yang sering sekali ditanyakan oleh pengunjung sufimuda terhadap bagaimana shalat bisa menjadi khusyuk, apakah kita bisa melaksanakan shalat khusyuk dan ada juga yang berpendapat bahwa hanya nabi Muhammad SAW berserta sahabat-sahabatnya dan ulama salafush shalih saja yang benar-benar bisa melaksanakan shalat dengan khusyuk selain dari mereka tidak ada yang bisa melaksanakan shalat khusyuk.
Terhadap pendapat terakhir saya kurang setuju karena kalau memang cuma Nabi dan para sahabat yang bisa shalat khusyuk maka hampir semua orang dimuka bumi ini akan masuk neraka wail, dengan demikian fungsi Al-Qur’an dan hadist sia-sia, juga peran ulama sebagai penyambung dakwah dan sebagai pewaris ilmu nabi juga tidak akan berguna sama sekali.
A. Khusyuk menurut Guru Ngaji Saya
Saya masih ingat ketika masih kelas 1 SMP waktu itu masih berumur 12 tahun, saya diajarkan cara shalat khusyuk oleh guru ngaji. Beliau mengatakan untuk bisa mencapai shalat khusyuk kita harus mengetahui makna dari ayat-ayat yang dibaca dalam shalat, kemudian harus kita hayati dalam hati. Antara ucapan dan gerak badan harus selaras, mengucapkan harus benar-benar masuk kedalam hati bukan hanya di bibir saja. Kemudian Beliau memberikan tanda-tanda shalat kita itu sudah khusyuk. Ketika mata kita menatap ke sajadah perhatikan dalam-dalam, nanti akan ada bayangan bulat samara-samar, saat itulah shalat kita menjadi khusyuk.
Saya meyakini apa yang diajarkan oleh guru ngaji saya, saat muncul bayangan bulat itu saya sangat senang karena saya yakin sekali kalau shalat saya sudah mencapai tahap khusyuk dan ketika bayangan itu tidak muncul maka saya jadi sedih. Saya yakin sekali apa yang diajarkan oleh guru ngaji, karena beliau adalah alumni salah satu pasantren terkenal di daerah saya.
B. Metode Shalat Menurut Abu Sungkar
Setiap sore saya menyempatkan diri untuk menonton acara di Metro TV tentang pelatihan shalat khusyuk yang dibawakan oleh ustad Abu Sangkan.
Abu Sangkan berkeyakinan bahwa shalat khusyuk itu identik dengan ketenangan dan hilangnya kesadaran. Abu Sangkan mengatakan bahwa ketika bertakbiratul ihram kita harus membuang ingatan kita terhadap apapun. “Tidak ada Guru Mursyid, tidak ada Syekh Tarikat dan tidak ada zikir yang ada hanyalah Allah semata-mata”. Persis sekali yang diajarkan oleh guru ngaji saya, cuma Abu sangkan menyampaikannya lebih lengkap disertai dengan kajian-kajian ilmiah. Apa memang demikian shalat khusyuk?
Shalat khusyuk bukanlah mengosongkan pikiran seperti dalam meditasi yoga, karena kalau kita memaksakan pikiran untuk kosong pada saat itulah timbul nafsu kita dan syetan sangat halus dan sangat lihai untuk menyusup di alam bawah sadar kita. Sama juga orang yang mencapai shalat khusyuk lewat alat-alat elektronik, mendengarkan lagu yang dibuat khusus agar kerja otak menjadi berimbang antara kiri dan kanan. Cara seperti ini memang akan mencapai ketenangan akan tetapi kita juga harus pertanyakan lagi apakah memang ketenangan seperti itu yang dinamakan khusyuk, dan apakah memang demikian yang dikehendaki oleh Allah SWT?
Khusyuk di atas dengan berbagai jenis pelatihan bagaimanapun masih pada tataran akal dan kita merasa khusyuk menurut sendiri. Ustad Abu Sangkan menulis buku dengan judul “Spiritual Salah Kaprah” untuk mengkritik ESQ, pelatihan lewat musik untuk menstimulasi otak yang bersifat instant dan kita tidak pernah bisa mencapai kesempurnaan spiritual yang dilakukan oleh kaum sufi, demikian pendapat Abu Sangkan.
Menurut saya pelatihan shalat khusyuk yang diperkenalkan oleh Abu Sangkan juga masih dalam tataran otak dan pemikiran, karena menafikan sama sekali fungsi Mursyid dan sudah pasti yang di dapat bukan Nur Allah akan tetapi ketenangan yang tidak tahu berasal dari unsur apa. Berbicara masalah rasa (tenang, damai, dll) itu masih bersifat sangat subjektif. Maka saya menyebutkan pelatihan khusyuk ala Abu Sangkan sebagai Shalat Khusyuk Salah Kaprah.
C. Khusyuk Menurut Sufi
Menurut golongan sufi, khusyuk itu bukan tidak mengingat sesuatu, akan tetapi seseorang dikatakan khusyuk apabila dia terus menerus bisa memandang wajah Allah SWT. Kalau kita ingin menghilangkan pikiran terhadap hal-hal yang bersifat kebendaan bukan berarti kita mengosongkan pikiran sama sekali karena di dunia ini tidak ada yang kosong. Setiap yang kosong itu mesti di isi oleh dua unsur; Haq atau Bathil.
Shalat khusyuk adalah kondisi dimana sang hamba bisa berdialog dengan Tuhannya di alam rabbani, maka disebutkan “Shalat itu adalah Mi’raj bagi orang mukmin”. Pada saat shalat maka rohani kita akan terangkat ke Alam Rabbani, alam yang ada hanya Allah SWT.
Mengingat wajah Mursyid dalam shalat bagi seorang pemula jauh lebih terbimbing sebelum seseorang mencapai maqam makrifat dari pada mengosongkan fikiran yang justru sangat mudah disusupi oleh syetan tanpa kita sadari. Wajah Guru Mursyid yang kamil mukamil dan khalis mukhlisin tidak akan bisa ditiru oleh syetan dan kalau ada syetan yang mencoba meniru wajah Mursyid akan langsung terbakar. Jangankan Guru Mursyid, photonya saja tidak akan bisa didekati oleh jin dan sejenisnya termasuk para dukun yang menyembah jin. Kalau seorang Guru Muryid belum mencapai tahap itu berarti kadar dan keotentikan kemursyidannya perlu dipertanyakan lagi.
Kunci pertama untuk bisa mencapai shalat khusyuk adalah Makrifatulllah, mengetahui hakikat Allah sehingga selalu bisa berdialog dalam shalat. Tanpa mencapai tahap makrifat bagaimanapun canggihnya pelatihan shalat tidak akan mencapai shalat khusyuk yang sesungguhnya karena dalam hati masih bersemayang dan berbisik-bisik syetan yang sangat berbahaya seperti yang disebutkan dalam surat An-Naas.
Bagi pengamal Tarikat, bermakrifat kepada mursyid merupakan awal dari tercapainya shalat khusyuk karena sesungguhnya makrifat kepada Mursyid adalah awal dari makrifat kepada Allah. Daripada anda mengeluarkan biaya yang banyak untuk pelatihan shalat khusyuk dan belum tentu mencapai alam Tuhan lebih baik anda berbaiat kepada salah seorang Guru Muryid yang akan membimbing anda kehadirat Allah SWT. Pelatihan shalat khusyuk mungkin diperlukan oleh orang-orang yang tidak menekuni Tarikatullah agar shalatnya lebih tenang. Pelatihan ini tidak diperlukan sama sekali bagi orang yang telah mempunyai Guru Mursyid apalagi yang telah mencapai tahap makrifat. Apabila anda telah bermakrifat (berjumpa) dengan Allah SWT masih perlukah anda berlatih shalat khusyuk?
Berlatih sopan santun tata cara menghadap Raja hanya diperlukan bagi orang yang akan berjumpa dengan Raja, pelatihan itu tidak diperlukan lagi bagi orang yang telah duduk bercengkerama bersama Raja, karena segala aturan terserah kepada Raja. Mengatur tutur kata berbicara dengan Raja diperlukan oleh orang yang akan menjumpai raja dan tidak akan diperlukan oleh orang yang berulangkali berjumpa dengan raja, karena segala dialog itu terserah kepada kehendak Raja.
Semoga Maharaja Manusia akan selalu memberikan kita kesempatan kepada kita untuk terus bisa singgah di istana-Nya, menikmati perjamuan-Nya dan bisa melayani tamu-Nya. Amien ya Rabbal ‘Alamin














BAB III
PENUTUP
Dari uraian yang telah kami paparkan dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa apa yang telah dilakukan Rasulullah dan para sahabatnya dalam melaksanakan shalat dengan khusyuk, yaitu dengan cara bersesungguh-sungguh mengingat Allah bahwa Dialah Sang Maha Mursyid sebenarnya.
Adapun segala yang telah diterangkan tentang gambaran shalat Nabi saw., berlaku bagi kaum laki-laki dan wanita. Tidak ada sunnah yang maengecualikan kaum wanita dan kaum laki-laki didalam melakukan sebagian dari itu. Bahkan, keumum-an sabda Rasullah yang berbunyi: “ shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu sekalian melihat aku shalat”.
Dari kutipan hadist diatas, kita dianjurkan melaksanakan shalat seperti apa yang dilakukan Beliau dalam melaksanakan shalat baik dari segi teori, metode, dan lain-lain.











DAFTAR PUSTAKA

Al-Quranu ‘lkarim, Al-Maktab Al-Islami,
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Sifat Shalat Nabi, Gema Risalah Press. Bandung
Tatang Yudi, Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Skripsi. Bandung 2009

PERKEMBANGAN USHUL FIQIH DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
Indonesia adalah sebuah bangsa yang komposisinya sangat beragam, baik ras, agama, aliran kepercayaan, bahasa, adat istiadat, orientasi kultur maupun pandangan hidupnya. Keragaman ini (baca: multikultural) memerlukan paradigma berpikir baru. Sebab, keragaman itu, khususnya dalam agama, dapat menimbulkan berbagai konflik. Konflik terbuka antar (umat) agama itu muncul lantaran adanya paham keagamaan yang eksklusif walaupun bukan satu-satunya penyebab. Namun, agama telah memberikan kontribusi besar terhadap munculnya konflik di beberapa daerah. Konflik antar agama itu perlu diselesaikan dengan merumuskan paradigma baru yang bisa mengantarkan umat beragama bisa hidup damai, toleran dan saling menghormati, terutama umat Islam sebagai kaum mayoritas. Karena itu, umat Islam perlu merumuskan paradigma ushul fiqih multikultural yang diharapkan mampu untuk menjawab kepentingan kultural kemanusiaan yang beragam tersebut.

Istilah multikultural adalah gabungan dari kata multy (banyak) dan cultur (budaya). Multikultural secara singkat, adalah sebuah paradigma tentang kesetaraan semua ekspresi budaya. Dalam tradisi keilmuan, multikulturalitas teradapat dua orientasi, yaitu Pertama, multikulturalitas statis yang berarti suatu pandangan mengenai keragaman yang berisfat fragmentatif, keragaman itu menjadi serpihan-serpihan budaya yang berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan spesifikasi masing-masing. Kedua, multikulturalitas dinamis yang berarti bahwa dalam beragam budaya atau tradisi terjadi interkulturalitas. Identitas baru yang dikonstruksi tidak lagi terkungkung pada lokalitas tertentu, tetapi menekankan kolektivitas identitas lokalitas masing-masing kelompok identitas yang telah mengalami kondisi fragmentasi.

1.2 Masalah
Secara umum, masyarakat itu merupakan eksistensi yang hidup dan dinamis yang dapat membentuk pranata dan tanggung jawabnya sendiri. Dinamika kehidupan ini menjadi tuntutan tersendiri untuk membangun budaya yang berwawasan multikultural di Indonesia. Hal ini didasari beberapa alasan.
a. Pertama, manusia diciptakan dalam keanekaragaman budaya.
b. Kedua, dalam banyak kasus konflik sosial yang bernuansa SARA (suku, agama, dan ras) pada dasawarsa terakhir ditengarai berkaitan erat dengan masalah kebudayaan.
c. Ketiga, pemahaman terhadap multikulturalisme merupakan kebutuhan bagi bangsa Indonesia untuk menghadapi tantangan global.

1.2 Tujuan Penulis
Penulisan makalah ini dilakukan semata-mata demi untuk mempelajari dan menambah wawasan dalam ilmu Fiqih dan juga merupakan salah satu tugas mata kuliah.





















BAB II
PERKEMBANGAN FIQIH DI INDONESIA
2.1 Deskripsi Tentang Syari’ah, Fiqih dan Ushul Fiqih
Pertama, secara etimologis, syara‘a berarti “menggambar jalan yang jelas menuju ke sumber air”, sedang secara terminologis, syarî‘ah memiliki arti sebagai ketentuan hukum yang ditetapkan Allah yang diperuntukkan bagi hamba-Nya untuk diikuti. Dalam arti ini juga tercakup aturan hukum yang diwahyukan dalam al-Qur’an; lalu aturan yang terkandung dalam al-Hadîts (verbal traditions), dan selanjutnya tafsir, pendapat-pendapat, ijtihad (personal opinion), fatwa (religious opinion) ulama, dan keputusan-keputusan hakim. Kedua, secara harfiah, fiqh berarti “pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu ucapan dan perbuatan”. Secara istilah, fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syara‘ yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili melalui penalaran. Ketiga, ushul fiqih adalah ilmu yang membahas tentang sumber-sumber pokok dan metode-metode pengambilan kesimpulan atau istimbat hukum Islam. Para fuqaha’ melakukan usahanya untuk menemukan pemecahan di bidang hukum dari sumber-sumber dan dalildalil al-Qur’an dan Sunnah. Menurut Syekh Kamaluddin Ibn Himam, ushul fiqih adalah ilmu tentang kaidah-kaidahyang dijadikan sarana untuk menggali hukum-hukum fiqih. Atau dengan kata lain disebutkan bahwa kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara pengambilan hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar’ î.

2.2 Pergeseran Paradigma Ushul Fiqih: Dari Ushul Fiqih Monokultural ke Ushul Fiqih
Multikultural
A. Sumber Fiqh Monokultural dan Multikultural
‘Abdul Al-Wahhâb Khallâf mengatakan bahwa teks (nashsh) al-Qur’an keseluruhannya adalah qath‘î baik dari sisi turunnya, ketetapannya maupun penukilannya dari Nabi Muhammad saw. pada umatnya. Teks al-Qur’an itu diturunkan Allah pada Nabi untuk disampaikan pada umatnya tanpa ada perubahan dan penggantian sedikit pun. Sementara al-Sunnah (al-Hadîts) sebagai sumber kedua juga memiliki nilai qath‘î tetapi berbeda dengan al-Qur’an. Dalam al-Sunnah, ada yang qath‘î al-wurûd (memiliki validitas kuat datangnya dari Nabi; al-Sunnah al-Mutawâtirah) dan zhannî al-wurûd (tidak memiliki validitas kuat datanganya dari Nabi; al-Sunnah al-Ahâd).
Fuqaha’ monokultural menyatakan bahwa teks al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian: Pertama, qath‘î al-dilâlah adalah teks yang memiliki pengertian yang jelas dan tidak menimbulkan ta’wîl serta tidak ada jalan untuk dipahami selain dari arti yang jelas itu. Kedua, zhannî al-dilâlah adalah teks yang memiliki suatu pengertian, tetapi masih dapat menimbulkan ta’wîl atau dapat diubah dari pengertian aslinya kepada pengertian lain. Dalam tradisi fuqaha’ ini, ”budaya teks” masih menjadi satu-satunya ukuran untuk menilai dan menetapkan ketentuan hukum/fiqih. Sementara itu, fuqaha’ multikultural mengatakan bahwa teks al-Qur’an adalah firman literal dan final dari Allah, sedang Nabi Muhammad saw selama menyampaikan misinya sering menjelaskan dan mengelaborasi arti atau makna teks al-Qur’an, dan menambahkan keputusan-keputusannya melalui perkataan (statemen) dan perbuatan (action) serta persetujuannya pada para pengikutnya (sahabat Nabi) berdasarkan kepentingan kultural (kemaslahatan) umat. Keputusan Nabi ini kemudian dikenal sebagai al-
Sunnah yang dijadikan sumber kedua oleh umat Islam.

B. Paradigma Ijtihad Fiqih Monokultural dan Multikultural
Dalam perspektif historis, sistem kenegaraan yang diterapkan Nabi Muhammad saw dengan Piagam Madinahnya menjadi dasar hukum fiqih bagi legalitas multikulturalisme. Piagam Madinah ini adalah konsesi atas Hijrah Nabi Muhammad saw yang menemukan kondisi sosiologis Madinah berbeda dengan di Makkah. Dalam perkembangannya setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, proses pembentukan hukum fiqih mulai mengalami perdebatan seputar peran kultur (yang berasaskan kemaslahatan umat) dan wahyu (yang berasaskan teks/nash) yang telah menimbulkan perdebatan yang hangat antara Umar ibn al-Khattab dengan sahabat Nabi lainnya dalam masalah bagian muallaf dan pembagian harta rampasan perang. Umar berpijak pada kepentingan kultural masyarakat setempat, sementara sahabat lainnya bersikukuh pada tradisi formal-legalistik. Perkembangan perdebatan fiqih di dunia Islam, khususnya di Indonesia, juga tidak lepas dari persoalan peran teks dan kultur tersebut. Tarik menarik antara peran teks dan kultur menimbulkan polarisasi paradigmatik dalam pembaruah fiqih, yakni: Pertama, paradigma ushul fiqih multikultural yang berupaya melahirkan kaidah dan rumusan fiqih yang sesuai dengan kepentingan kultural manusia yang berwawasan kemaslahatan. Kedua, paradigma ushul fiqih monokultural yang meletakkan nas-nas al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar pijaknya dalam menjawab masalah-masalah baru, dan akal dianggap tidak mampu menafsirkan nas-nas al-Qur’an dan Muhammad Sakir
kemanusiaan, sedang teks yang zhannî al-dilâlah adalah teks yang memiliki arti jelas dan rinci serta mengancam nilainilai kemanusiaan, ekslusif, dan diskriminatif. Abdullahi Ahmed An-Na‘im, “Human Rights in the Muslim World: Socio- Sunnah yang jelas dan rinci. Demikian juga kultur tidak memiliki peran strategis dalam merumuskan ketentuan fiqih.

C. Mujtahid Yang Berwawasan Monokultural dan Multikultural
Ijtihad merupakan usaha yang sungguh-sungguh dari mujtahid dalam menemukan hukum-hukum syar‘î. Mujtahid harus memenuhi tiga syarat: Pertama, pengerahan segala kemampuan dari mujtahid. Kedua, usaha yang sungguh-sungguh itu adalah untuk mencari hukum-hukum syar‘î yang bersifat zhannî. Ketiga, pencarian hal-hal yang zhannî itu adalah dari teks syar‘î (al-Qur’an dan al-Sunnah). Syarat mujtahid meliputi beberapa hal berikut: Pertama, syarat umumnya adalah baligh, berakal, memahami masalah, dan beriman. Kedua, syarat utamanya adalah mengetahui bahasa Arab, ilmu ushul fiqih, ilmu mantiq (logika), dan mengetahui hukum asal. Ketiga, syarat yang pokok adalah mengetahui al-Qur’an, al-Sunnah, maqâsid al-syar‘î, asrâr al-syar‘î, dan mengetahui qawâid al-fiqhiyyah.
Adapun mujtahid meliputi tiga tingkatan: Pertama, mujtahid al-madzhab adalah seorang mujtahid yang mengikuti (yuqallidu) teori ijtihad dari salah satu imam madzhab, sedangkan produk hukumnya boleh berbeda. Kedua, mujtahid al-mas’alah adalah seorang mujtahid yang boleh melakukan ijtihad dengan hanya berbekal pengetahuan yang berhubungan dengan satu persoalan yang akan dipecahkan dan produk hukumnya boleh berbeda. Ketiga, mujtahid al-mutlaq adalah seseorang yang memiliki kemampuan mencetuskan teori dan rumusan ketentuan hukum syar‘î. Di luar tiga hal tersebut adalah muqallid, yang tindakannya sering disebut “taqlîd”.
Salah satu contoh gagasan ijtihad yang ideal adalah ijtihadnya Umar yang menempatkan gagasan fiqihnya yang berbasis kultural, kepentingan penduduk setempat, dalam masalah harta rampasan perang (baca: al-Qur’an 59: 6-10). Gagasan Umar itu mengakomodasi adanya pluralitas kepentingan masyarakat setempat, sehingga ia dapat mengamalkan pesan living tradition dari Nabi, ia mengikuti Sunnah Nabi dalam wujud tindakan baru yang sudah mengalami the autonomisation of action –meminjam istilah Ricoeur- dari pelaku aslinya, Nabi. Dalam tradisi ijtihad Imam Madzhab, ada apresiasi luar biasa terhadap kepentingan kulturalkemanusiaan melalui urf. Misalnya, Imam Hanafi menolak qiyâs demi mempertahankan urf/tradisi yang baik. Demikian juga Imam Malik menempatkan urf sebagai salah satu sumber hukum fiqih yang valid. Sementara Imam Syafi’i yang menggagas qaul qadim dan qaul jadid pada hakikatnya juga memiliki perhatian terhadap aspek kultural/urf. Dalam kehidupan Indonesia, pola pikir Umar dan para imam madzhab memiliki arti penting untuk memberikan sumbangan penting bagi bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam agar mereka memiliki paradigma (fiqih) Islam yang berwawasan multikultural, bukan paradigma (fiqih) Islam yang bertitik tolak pada pemikiran dogmatik-spekulatif, dan bukan pula paradigma berpikir yang hanya berpijak pada akar pemikiran rasional dan empiris. Hal ini penting untuk menjawab kelemahan padarigma ushul fiqih di Indonesia yang monolitik (single entities) dan berwawasan taqlid.
Ada dua paradigma interpretasi: Pertama, penafsiran multikultural yang berlandaskan konteks baik konteks kalimat ataupun konteks kultural (konteks turun atau kekiniannya). Kedua, penafsiran monokultural yang berlandaskan nas-nas al-Qur'an yang jelas dan rinci. Jalaluddin Rakhmat, “Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqih” dalam Budhy Munawar-Rachman
Rasulullah SAW mengajarkan prinsip integrasi sosial untuk membangun masyarakat yang beradab. Ia mengatakan bahwa ajaran fiqih Islam harus menjadi rujukan nilai, pengetahuan dan tindakan bagi kaum Muslim untuk berta’aruf dengan keompok-kelompok lain di dalam masyarakat yang berbeda baik dalam hal agama, sosial maupun budaya. Untuk itu rumusan paradigma ushul fiqih yang relevan adalah “ushul fiqih multikultural” yang diyakini dapat memproduk hukum-hukum fiqih yang aspiratif dan akomodatif terhadap pluralitas kultural/kepentingan kemanusiaan, sehingga umat manusia mendapatkan posisi yang setara tanpa membedakan ras, agama, jenis kelamin dan keturunan.

2.3 Fiqih di Indonesia menurut Hasby As-Siddiqy
a. Keindonesiaan
Munculnya gerakan reformasi terhadap rigisitas hukum Islam melahirkan sebuah konsep fiqih yang lebih berbasis lokal atau dapat dikatakan sebagai fiqih keindonesiaan. Keindonesiaan merupakan kelanjutan dari tema ”Gerakan Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah” tetapi sekaligus merupakan sikap kembali kepada sikap dan pola pikir tradisional yang mempertahankan adat tetapi ditolak oleh kaum reformis.
Kaum reformis keindonesiaan bercita-cita ingin membangun hukum Islam yang indegenous keindonesiaan. Mereka berusaha membebaskan adat Indonesia dari adat Arab karena menurut mereka, Islam tidak berarti Arab. Di samping itu, perbedaan adat ini sangat dipengaruhi oleh realita bahwa posisi Indonesia terletak di pinggiran bukan di tengah-tengah dunia Islam. Ruang gerak ijtihad yang dijadikan sarana untuk mewujudkan hukum Islam ala Indonesia ini tidak memasuki wilayah ibadah. Pada awal tahun 1950-an, Hazairin menawarkan konsep ”Mazhab Nasional”, walaupun bertulang punggung mazhab Syafi’i, tetapi mazhab nasional membatasi ruang lingkupnya pada hukum-hukum non-ibadah yang belum dijadikan undang-undang oleh negara.
Pada tahun 1987, Munawir menawarkan kaji ulang terhadap interpretasi hukum Islam, dengan menekankan pada perubahan ’urf, maslahat, dan mafsadat yang populer sebagai ”Reaktualisasi hukum Islam” walau Munawir menyebutnya ”Dinamika Hukum Islam”. Di tahun yang sama, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengemukakan gagasan ”Pribumisasi Islam” dan Masdar F. Mas’udi menawarkan konsep ”Zakat sebagai Pajak”. Jauh sebelum teori-teori keindonesiaan hukum Islam ini muncul, pada tahun 1940, Hasbi telah mengemukakan gagasan tentang perlunya pembentukan ”Fiqih Indonesia”, yang pada tahun 1961 ia definisikan sebagai ”fiqih yang ditentukan berdasarkan kepribadian dan karakter bangsa indonesia”. Keindonesiaan hukum Islam di Indonesia juga mengarah kepada konstitusional hukum Islam. Pada umumnya, orientasi ini dimotori oleh sarjana atau tokoh non-ulama yang memahami sistem hukum Indonesia, tetapi hampir tidak mengerti prinsip-prinsip ”kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Cita-cita agar hukum Islam dijadikan Undang-undang Dasar Negara dicuatkan kembali oleh wakil-wakil umat Islam dalam BPUPKI. Aspirasi yang dikemukakan dalam rapat Panitia kecil BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 ini berhasil memasukkan persyaratan, ”Dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” ke dalam Piagam Jakarta. Persyaratan ini disahkan sebagai keputusan Panitia Kecil pada tanggal 22 juni 1945, tetapi akhirnya diganti dengan, ”Ketuhanan Yang Maha Esa” demi non-mislim, khusunya orang Kristen. Memang tidak ada indikasi bahwa Hasbi ambil bagian dalam proses ini, tetapi pada prinsipnya ia mendukung pihak-pihak yang mensyaratkan syari’ah.
Negara Islam Indonesia yang diproklamirkan pada bulan Agustus 1949, juga membawa aspek konstitusionalisasi hukum Islam. Qanun Asasi (Undang-undang Dasar)nya menegaskan bahwa hukum yang berlaku di negara ini adalah hukum Islam yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis Shahih (Pasal 1). Pemberontakan terhadap pemerintahan Republik Indonesia ini didukung oleh Kahar Muzakkar, yang memproklamirkan bahwa ”sejak 7 Agustus 1953, Sulawesi Selatan menjadi bagian Negara Islam Indonesia”. Pada tanggal 21 September 1953, Daud Berureuh pun mengeluarkan pernyataan memproklamirkan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia.
Namun demikian, Negara Islam Indonesia runtuh bersamaan dengan dieksekusinya sang Imam, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo oleh Pemerintah Republik Indonesia pada bulan Agustus 1962 (setelah tertangkap pada tanggal 4 Juli 1962). Hasbi menyalurkan ide-ide konstitusionalnya melalui Kongres Muslimin Indonesia (20-25 Desember 1949)21, yang secara politik memang tidak mendukung Negara Islam Indonesia.

b. Metodologi Fiqih Indonesia
Fiqih Indonesia, sebagai suatu upaya pembaharuan bercorak lokal, harus terlebih dahulu menentukan ruang lingkup dengan cara membedakan tiga istilah di Indonesia yang sering dianggap sama.
Fakultas Hukum Islam di lingkungan perguruan tinggi yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menggunakan istilah untuk menyebut mata kuliah yang membahas tentang perkawinan, kewarisan, dan wakaf. Batasan semacam ini menurut Hasbi jelas berakibat menciutkan pengertian syari’ah yang mencakup hukum-hukum akidah, akhlak, dan amaliah. Fiqih yang secara teknis sering dipahami sebagai ”hukum-hukum syari’ah yang dihasilkan dari dalil-dalilnya”, merupakan bagian dari syari’ah itu sendiri, tetapi lebih luas daripada hukum Islam karena fiqih mencakup hukum-hukum muamalah dan ibadah, di mana aspek yang terakhir ini mencakup dalam istilah hukum Islam. Menyadari konsekuensi yang harus diterima bahwa menyamakan syari’ah dan fiqih berarti menganngap keduanya bersifat universal, absolut, dan abadi, maka Hasbi mengatakan bahwa syari’at Islam sajalah yang memiliki ketiga sifat tersebut. Dengan kata lain, syari’ah, begitu menurut Nourouzzaman menjelaskan pendapat Hasbi lebih sebagai hukum in abstracto dan sebaliknya fiqih lebih bersifat sebagai hukum in concreto. Lebih lanjut, Hasbi membagi fiqih menjadi fiqih Qur’ani yaitu hukum yang secara tegas ditemukan di dalam al-Qur’an dan fiqih Nabawi yaitu hukum yang tidak disinggung oleh Al-Qur’an tetapi ditegaskan oleh Hadis. Ketiga adalah fiqh ijtihadi yaitu hukum-hukum yang dicapai melalui ijtihad para ulama.
Fiqih ijtihadi merupakan inti fiqih Indonesia yang dijiwai oleh syari’ah, bersifat dinamis dan elastis karena dapat berubah sesuai dengan ruang dan waktu. Jadi fiqih ijtihadi bersifat lokal, temporal, dan realtif. Jelaslah di sini bahwa kritik Alie Yafie dan Ibrahim Hoesen yang beranggapan bahwa fiqih itu bersifat universal, tidaklah mengenai sasaran.
Hal ini diperkuat lagi oleh kenyataan bahwa Hasbi membatasi ruang lingkup fiqih Indonesianya pada bidang non-ibadah dan non-qat’i. Untuk menjustifikasi lokalitas fiqih Indonesia, Hasbi berpegang pada sejarah perkembangan fiqih (tarikh tasyri’). Tarikh tasyri’Hasbi, menurut Hasbi membuktikan bahwa fiqih lokal telah muncul sejak awal penyebaran Islam melawati batas-batas Mekah dan Madinah. Mazhab Hanafi di Kufah, Maliki di Madinah, Syafi’i di Baghdad (mazhab qadim) dan kemudian di Mesir (mazhab jadid), di samping mazhab Hambali di Baghdad, tentunya merupakan bagian dari contoh yang populer. Lokalitas mazhab-mazhab ini menurut Hasbi, dikarenakan perbedaan pendapat, tempat, adat istiadat dan jiwa si mujtahid sendiri. Walau dilegitimasi oleh tarikh tasyri Hasbi masih saja menekankan bahwa lokalitas fiqih Indonesia harus ditopang oleh studi kasus (dirasat al-waqa’i) mengenai masyarakat Indonesia dengan sistem masyarakat lainnya yang sezaman. Studi ini harus menggunakan pendekatan sosiologi hukum dan studi hukum secara umum untuk melihat pengaruh dan kemampuannya menyelesaikan kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya, dan setelah itu barulah memasuki fase problem soulving.
Hasbi menganjurkan agar para pendukung fiqih Indonesia menggunakan metode perbandingan mazhab manakala problem yang dihadapi sudah diberikan pemecahannya oleh ijtihad dalam berbagai mazhab yang ada. Perbandingan yang tidak terbatas pada mazhab Sunni ini dibagi menjadi dua tahap. Pertama, memilih dari kalangan empat mazhab Sunni. Kedua, memilih dari semua mazhab termasuk non-Sunni. Kedua-duanya dilakukakn demi mencari pendapat yang paling sesuai dengan konteks ruang, waktu, karakter dan kemaslahatan bangsa Indonesia. Studi perbandingan mazhab ini harus diikuti dengan studi perbandingan ushul fiqh dari masing-masing mazhab, dengan harapan agar pandangan tersebut dapat terpadu atau bahkan bersatu.
Studi perbandingan ushul fiqh ini dilakukan dengan tahapantahapan sebagai berikut :
1. Mengkaji prinsip-prinsip yang dipegang oleh setiap imam mazhab maupun masalah-masalah yang mereka perselisihkan dengan meneliti alasan-alasan mereka.
2. Mengkaji dalil-dalil yang dijadikan rujukan maupun yang diperselisihkan.
3. Mengkaji argumen yang ditawarkan oleh masing-masing imam mazhab mengenai dalil-dalil yang diperselisihkan dan memilih argumen-argumen yang kuat.

Tahapan-tahapan tersebut harus didukung dan didahului dengan pendirian Fakultas Ushul Fiqh atau paling tidak Jurusan Ushul Fiqih. Hasbi lebih menguatkan bahwa fiqih Indonesia akan sangat fleksibel jika didukung oleh perbandingan yang bersifat sistematis antara fiqih dan hukum adat Indonesia, antara fiqh dan sistem hukum Indonesia, antara fiqh dan syari’at (agama-agama) lain, dan antara fiqh dengan sistem hukum internasional. Sebaliknya, jika problem yang dihadapi belum pernah diberikan pemecahannya oleh mujtahid-mujtahid terdahulu, maka dianjurkan
agar pendukung fiqh Indonesia melakukan ijtihad bi al-ra’yi, yaitu menentukan hukum berdasarkan pada maslahat, kaidah-kaidah kulliat dan illat (kausa) hukum, sedangkan metode yang ditempuh ada kalanya :
1. Qiyas yang dilakukan dalam kondisi terpaksa, tidak menyangkut masalah ibadah. Selain qiyas illat dan qiyas dalalah, tidak berlaku.
2. Istihsan dengan berbagai macamnya : istihsan bin naas, istihsan bil ijma’, istihsan bil qiyas, istihsan bid daruraah, istihsan bil maskahah, dan istihsan bil ’urf.
3. Istislah, dengan ketentuan bahwa sesuatu dapat dinyatakan sebagai maslahat jika merupakan maslahat hakiki; berlaku umum tidak hanya terbatas pada segelintir orang; harus diputuskan oleh ahl al-Hall wa al-’Aqd. Jika maslahah bertentangan dengan nash, maka maslahah mentakhsis (mengkhususkan) nash dengan menjadikan hadis ”La darara wa la dirara” sebagai kata kunci di akhir analisa.
4. ’Urf dengan ketentuan tidak menghalalkan barang haram dan tidak mengharamkan barang halal; dapat mendatangkan maslahat dan mengholangkan mafsadat; tidak bertentangan dengan nash sharih (ekspilist); di samping itu harus diputuskan oleh ahl al-Hall wa al-’Aqd. Atau
5. Istishab. Metode-metode ini selalu berjalan seiring dengan kaidah-kaidah yang relavan.

2.4 Kesimpulan
Arti penting paradigma ushul fiqih multikultural adalah sebagai berikut: Pertama, ia menekankan pada pengambilan nilai-nilai dasar kultural kemanusiaan sebagai prinsipnya dalam merumuskan hukum (fiqih) Islam. Kedua, ia mendorong kaum Muslim untuk selalu menangkap realitas aktual kekinian. Konsekuensinya, perlu pergeseran paradigma dari ushul fiqih monokultural ke ushul fiqih multikultural. Ketiga, ia dapat melahirkan produk hukum yang mampu menghargai dan menghormati adanya keragaman gaya hidup bangsa.





DAFTRAR PUSTAKA

Abdul Hakim, Sudarnoto, Hasan Asari, dan Yudian W. Asmin ED.,Islam Berbagai perspektif
: Didedikasikan untuk 70 Tahun
Prof. Dr. H. Munawir Sjadzili, MA, Yogyakarta : Lembaga Penterjemah dan penulis Muslmi
Indonesia, 1995.
Abdul, A, “Tafsir al-Maraghi dan Tafsir an-Nur : Sebuah Studi Perbandingan”, disertasi
doctor, IAIN Sunan Kalijaga, 1985.
Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir, Yogyakarta: Pustaka, 2003
Abdullah, M. Amin, Studi Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996.
Abdullah, Taufik, dan M Rusli Karim (eds.), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah
Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989.

PENULISAN AL-QURAN

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dengan mengucapkan rasa syukur segala puji bagi Allah, penguasa alam dan seisinya yang telah memberikan hidayah-Nya kepada penulis sehingga makalah dengan judul “Penulisan dan Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Khulafaur Rasyidin” ini dapat terselesaikan dengan baik, dan menurunkan Nabi Muhammad SAW sebagai “Benchmark” atau manusia contohnya, dan tidak lupa shalawat dan salam semoga tercurahkan atas utusan Allah sebagai rahmat bagi alam semesta, junjungkan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya dan pengikut sekiranya sampai akhir zaman.

Adapun tujuan pembuatan dari makalah ini adalah dijadikan untuk memenuhi tugas terstuktur pada mata kuliah Ulumul Qur’an. Penulis juga menyadari di dalam penulisan ini terdapat kekurangan, oleh karena itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak, demi kesempurnaan Makalah ini di masa yang akan datang.
Demikianlah sedikit yang dapat Penulis sampaikan, mudah-mudahan Makalah ini bermanfaat untuk kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.








Bandung , 07 Desember 2009


Penulis




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR - i
DAFTAR ISI - ii
BAB I : PENDAHULUAN - 1
1.1. Latar Belakang Masalah - 1
1.2. Masalah - 1
1.3. Tujuan Penulisan – 1

BAB II : PEMBUKUAN AL QUR’AN PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN - 2
2.1. Pengertian Pengumpulan Al-Qur’an (Jam’ul Qur’an) - 2
2.2. Al-Qur’an Pada Masa Khalifah Abu Bakar - 2
2.3. Al-Qur’an Pada Masa Khalifah Umar bin Khatab - 4
2.4. Al-Qur’an Pada Masa Khalifah Usman – 4

BAB III : PENUTUP
3.1. Kesimpulan - 6
3.2. Saran – 6

DAFTAR PUSTAKA













BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam mempelajari ilmu Al-Qur’an, ada beberapa hal yang penting untuk dipelajari dan salah satunya adalah bagaimana Al-Qur’an itu dibukukan baik pada zaman rasulullah ataupun pada masa khulafaur Rasyidin. Karena dengan mengetahui bagaimana proses pengumpulan Al-Qur’an kita dapat mengerti bagaimana usaha-usaha para sahabat untuk tetap memelihara Al-Quran.
Secara etimologi Al-Qur’an berarti qira’at berasal dari kata dasar qara’a yang berarti mengumpulkan dan menghimpun, yaitu menghimpun huruf dan kata yang tersusun sehingga menjadi qira’ah (bacaan) yang bermaknakan maqru’ (sesuatu yang dapat dibaca).
Menurut istilah Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantara malakat Jibril dengan bahasa Arab, diriwayatkan secara mutawatir, merupakan mukjizat dan membacanya merupakan ibadah.

1.2 Masalah
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, ada peristiwa-peristiwa yang memaksa dan membuka hati para sahabat untuk tetap menjaga keaslian dan kemurnian dari ayat-ayat Al- Qur’an seperti wafatnya huffazuhu (penghafal-penghafal ayat Al ‘ Qur’an) dalam perang Yamamah dan pertempuran di sumur Ma’unah yang terjadai pada masa Nabi serta adanya perbedaan cara membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang akan berakibat fatal bagi umat Islam. Untuk itulah pembukuan Al-Qur’an ini dilakukan untuk tetap menyatukan umat Islam dalam satu iman saja.

1.3 Tujuan Penulisan
Penugasan ini dilakukan semata-mata demi untuk mempelajari dan menambah wawasan dalam Ulumul Qur’an dan juga merupakan salah satu tugas mata kuliah.





BAB II
PENULISAN DAN PEMBUKUAN AL-QUR’AN

a. Penulisan Wahyu Periode Mekkah
Abdullah bin Sa'd bin Abi Sharh dan Khalid bin Sa'id bin 'Ash mereka adalah para penulis Al-Qur’an di masa Nabi Saw sekaligus sebagai sekretaris Nabi yang pernah mengatakan: Sayalah orang pertama yang menuliskan Bismillahirrahmanirrahim. Al-Kattani menceritakan bahwa saat Rafi' bin Malik Al-Anshari ra ikut dalam bai'at Aqabah, maka Nabi Saw menyerahkan semua ayat-ayat yang telah diturunkan, dan saat kembali ke Madinah Rafi' mengumpulkan semua anggota sukunya dan membacakan ayat-ayat tersebut di depan mereka.

b. Penulis Wahyu Periode Madinah
Dalam periode ini tercatat sekurangnya 60 sahabat pencatat Al-Qur'an. Diantaranya: Abubakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin 'Affan, Ali bin Abi Thalib, 'Abban bin Sa'id, Abu Umamah Al-Bahili, Abu Ayyub Al-Anshari, Abu Salamah, Ubayy bin Ka'ab, Al-Arqam bin Abil Arqam, Usaid bin Hudhair, Tsabbit bin Qays, Ja'far bin Abi Thalib, Jahm bin Sa'ad, Hathib bin Abi Baltha'ah, Hudzaifah Ibnil Yaman, Hanzhalah, Khalid bin Sa'id, Zubair bin Awwam, Zaid bin Tsabbit, Sa'ad Ibnu Rabi', Sa'ad bin Ubadah, Syurahbil bin Hasna, Amir bin Fuhaira', Abdullah bin Rawahah, Abdullah bin 'Amr bin 'Ash, Amr bin Ash, Muhammad bin Maslamah, Mu'adz bin Jabal, Mu'awiyyah bin Abi Sufyan, dan lain-lain.

c. Metode Pencatatan Wahyu Periode Madinah
Setiap wahyu yang turun, Nabi memanggil para kuttab (penulis/sekertaris) beliau untuk mencatat wahyu tersebut. Seperti yang diceritakan Zaid bin Tsabbit bahwa ia sering dipanggil oleh Nabi jika ada wahyu turun.

d. Cara Penulisan Wahyu di Kalangan Sahabat
Para sahabat di era Kenabian yang telah pandai membaca & menulis sangat gemar menulis Al-Qur'an, sampai-sampai nabi SAW melarang mereka selain Al-Qur'an & memerintahkan mereka menghapusnya (catatan hadist). Karena Nabi Saw tidak mau jika ada yang menulis Al-Qur’an dan hadist dalam satu catatan karena ditakutkan tercampur antara Al-Qur’an dengan hadist. Demikian tinggi semangat para sahabat ra dalam menuliskan Al-Qur'an sehingga mereka yang buta huruf hadir juga di mesjid membawa tinta & kulit lalu meminta orang lain untuk menuliskan untuk mereka.

2.1 Pengertian Pengumpulan Al-Qur’an (Jam’ul Qur’an)
Menurut para ulama pengertian Jam’ul Qur’an terdiri dari dua yaitu :
Pengumpulan dalam arti hifzuhu (menghafalnya dalam hati). Jumma’ul Qur’an artinya huffazuhu (penghafal-penghafalnya, orang yang menghafalkannya di dalam hati). Dan inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada nabi – Nabi senantiasa menggerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Qur’an ketika Qur’an itu turun kepadanya sebelum Jibril selesai membacakannya, karena ingin menghafalnya : 1 “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Qur’an karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaan itu. Kemudian atas tanggungan Kamilah penjelasannya” (Al-Qiyamah [75] : 16-19).

Pengumpulan dalam arti Kitabullah kullihi (penulisan Qur’an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surah, sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.

2.2 Al-Qur’an Pada Masa Khalifah Abu Bakar
Setelah Nabi wafat kaum muslimin mengangkat Abu Bakar Shiddik menggantikan beliau sebagai khalifah yang pertama pada masa permulaan. Kekhalifahan pemerintahan Abu Bakar timbul suatu keadaan yang mendorong pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf. Keadaan itu ialah sebagian besar orang-orang yang hafa Al-Qur’an gugur syahidah dalam perang Yamamah. Timbullah kekhawatiran akan hilangnya beberapa ayat dari Al-Qur’an, jika semua huffazhul Qur’an sudah tidak ada lagi.
Yang mula-mula sadar akan hal ini ialah Umar bin Khatab, lalu beliau mengingatkan khalifah akan bahaya yang mengancam keutuhan Al-Qur’an. Umar menyarankan supaya khalifah mengambil langkah-langkah untuk mengamankan Al-Qur’an, yaitu dengan mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf. Umar bin Khatab pergi ke khalifah Abu Bakar dan bermusyawarah dengannya dalam hal itu salah satu yang diucapkan Umar adalah : “Saya berpendapat lebih baik anda memerintahkan manusia untuk mengumpulkan Al-Qur’an”. Abu Bakar menjawab : “Bagaimana kita akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah saw”. Umar balas menjawab : “Ini demi Allah akan membawa kebaikan”. Umar masih terlibat dialog dengan Abu Bakar sehingga Allah melapangkan dada Abu Bakar (menerima usulan Umar). Lalu Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit sembari berkata padanya : “Sesungguhnya engkau adalah seorang pemuda yang berakal cerdas dan konsisten. Engkau telah menulis wahyu di zaman Rasulullah saw, maka aku memintamu untuk mengumpulkannya”. Zaid menjawab : “Demi Allah, seandainya engkau memaksaku untuk memindahkan satu gunung dari gunung yang lain maka itu tidak lebih berat bagiku daripada perintahmu kepadaku mengumpulkan Al – Qur’an”. Aku berkata : “Bagaimana engkau melakukan sesuatu yang belum pernah Rasulullah saw?” Dia menjawab : “Demi Allah, itu membawa kebaikan”. Abu Bakar senantiasa “membujukku” hingga Allah melapangkan dadau, sebagaimana sebelumnya Dia melapangkan dada Abu Bakar dan Umar. Maka akupun mulai mencari Al-Qur’an, kukumpulkan ia dari pelepah kurma, kepingan-kepingan batu dan dari hafalan-hafalan para penghapal, sampai akhirnya akan mendapatkan akhir surat Taubah berada pada Abu Khuzaimah Al-Ansari. Zaid bin Tsabit bertindak sangat teliti dan hati-hati.

2.3 Al-Qur’an Pada Masa Khalifah Umar bin Khatab
Pada masa khalifah Umar bin Khatab kegiatan penyiaran dan dakwah Islam demikian pesat sehingga daerah khalifah Islam sampai ke Mesir dan Persia Khalifah Umar bin Khattab mengarahkan pada kegiatan dakwah tersebut. Kumpulan Al-Qur’an yang disimpan oleh Abu Bakar kemudian disimpan oleh Umar hanya disalin menjadi satu shuhuf. Hal ini dimaksudkan agar Al-Qur’an yang telah dikumpulkan itu terpelihara dalam bentuk tulisan yang original atau bersifat standarisasi. Pada masa itu masihbanyak para sahabat yang hafal Al-Qur’an yang dapat mengajarkannya kepada para sahabat yang lain.
Setelah Umar wafat shuhuf itu disimpan oleh Hafsah Bin Umar denangan pertimbanga bahwa Hafsah adalah istri Nabi Muhammad saw dan putri Umar yang pandai membaca dan menulis.

2.4 Al-Qur’an Pada Masa Khalifah Usman
Pada masa khalifah Usman bin Affanm timbul hal-hal yang menyadarkan khalifah akan perlunya memperbanyak naskah shuhuf dan mengirimkannya ke kota-kota besar dalam wilayah negara Islam, kesadaran ini timbul karena para huffazal Qur’an telah bertebaran ke kota-kota besar dan diantara mereka terdapat perbedaan bacaan terhadap beberapa huruf dari Al-Qur’an. Karena perbedaan dialek bahasa mereka. Selanjutnya masing-masing menganggap mereka bacaannya yang lebih tepat dan baik.
Berita perselisihan itu sampai ketelinga Usman dan beliau menganggap hal itu sebagai sumber bahaya besar yang harus segera diatasi. Beliau memintan kepada Hafsah binti Umar supaya mengirimkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya.
Kemudian khalifah menugaskan : Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalin (membukukan) menjadi beberapa shuhuf.
Setelah selesai penghimpunannya, mushaf asli dikembalikan ke Hafsah dan tujuh mushaf yang telah disalin, masing-masing dikirimkan ke kota-kota Kufah, Bashrah, Damaskus, Mekah, Madinah dan Mesir, khalifah meninggalkan sebuah dari tujuh mushaf itu untuk dirinya sendiri. Dalam penyalinan (pembukuan) Al-Qur’an itu dimana amat teliti dan tegas, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Jarir mengatakan berkenaan apa yang telah dilakukan Usman “Ia telah menyatukan umat Islam dalam satu mushaf dan satu shuhuf, sedangkan mushaf yang lain di sobek.








BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis paparkan dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa apa yang telah dilakukan para sahabat yaitu dengan mengumpulkan Al-Qur’an adalah sesungguhnya suatu perbuatan yang sangat mulia karena dengan nama Allah mereka berusaha menjaga kelestarian dari ayat-ayat Al-Qur’an yang telah diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw secara mutawatir melalui perantara Malaikat Jibril adalah suatu kemukjizatan yang tak pernah terbandingi nilainya. Al-Qur’an merupakan pedoman dasar menuju jalan yang diridhoi oleh Allah SWT.

3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini penulis menyarankan agar kita (khususnya penulis sendiri) hendaknya dapat mempelajari ilmu-ilmu Al-Qur’an karena sesungguhnya Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar bagi umat Islam yang dapat dijadikan pedoman hidup baik di dunia dan di akhirat. Al-Qur’an merupakan kitab dari Allah yang kaya akan ilmu dan tak akan pernah habis untuk dikaji, karena dengan mempelajari Al Qur’an kita akan mengetahui Maha Besarnya Allah bagi segala makhluk yang diciptakannya.



DAFTAR PUSTAKA

Drs. H. Kahar Masyhur, Pokok-pokok Ulumul Qur’an, 1992
DR. Rosihon Anwar M.Ag, Ulumul Qur’an, Pustaka Setia 2007

AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR 1945

BAB I BENTUK DAN KEDAULATAN
Pasal 1
Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.
Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan rakyat.
BAB II. MADJELIS PERMUSJAWARATAN RAKYAT
Pasal 2
Madjelis Permusjawaratan rakyat terdiri atas anggauta-anggauta Dewan Perwakilan rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari Daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang.
Madjelis Permusjawaratan rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu-kota Negara.
Segala putusan Madjelis Permusjawaratan rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak.
Pasal 3
Madjelis Permusjawaratan rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan Negara.
BAB III. KEKUASAAN PEMERINTAH NEGARA
Pasal 4
Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
Dalam melakukan kewadjibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.
Pasal 5
Presiden memegang kekuasan membentuk undang-undang dengan persetudjuan Dewan Perwakilan rakyat.
Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk mendyalankn undang-undang sebagaimana mestinya.
Perubahan Pasal 5
Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 6
Presiden ialah orang Indonesia asli.
Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Madjelis Permusjawaratan rakyat dengan suara yang terbanyak.


Pasal 7
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Perubahan Pasal 7
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Pasal 8
Jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis masa waktunya.
Pasal 9
Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berdyandji dengan sungguh-sungguh dihadapan Majelis Permusjawaratan rakyat atau Dewan Perwakilan rakyat sebagai berikut : Sumpah Presiden (Wakil Presiden) :
,,Demi Allah, saja bersumpah akan memenuhi kewadjiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan mendyalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya sert berbakti kepada Nusa dan Bangsa." dyanji Presiden (Wakil Presiden) :
,,Saja berdyandji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewadjiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan mendyalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya sert berbakti kepada Nusa dan Bangsa."
Perubahan Pasal 9
Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut :
Sumpah Presiden (Wakil Presiden) :
"Demi Allah, saja bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden
Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia)
dengan sebaik-baiknja dan seadil-adilnja, memegang teguh
Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang
dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti
kepada Nusa dan Bangsa."
Janji Presiden (Wakil Presiden) :
"Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi
kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden
Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknja dan seadil-adilnja,
memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala
undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya
sert berbakti kepada Nusa dan Bangsa."
Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilian Rakyat tidak dapat mengadakan Sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sugguh-sungguh di hadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
Pasal 10
Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara.
Pasal 11
Presiden dengan persetudjuan Dewan Perwakilan rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perdyandjian dengan Negara lain.
Pasal 12
Presiden menyatakan keadaan bahaja. Sjarat-sjarat dan akibatnya keadaan bahaja ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 13
Presiden mengangkat duta dan konsul.
Presiden menerima duta Negara lain.
Perubahan Pasal 13
Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 14
Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.
Perubahan Pasal 14
Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat
Pasal 15
Presiden memberi gelaran, tanda dyasa dan lain-lain tanda kehormatan.
Perubahan Pasal 15
Presiden memberi gelar tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.
BAB IV. DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG
Pasal 16
Susunan Dewan Pertimbangan Agung ditetapkan dengan undang-undang
Dewan ini berkewadjiban memberi dyawab atas pertanyaan Presiden dan berhak memajukan usul kepada Pemerintah.
BAB V. KEMENTERIAN NEGARA
Pasal 17
Presiden dibantu oleh Menteri-Menteri Negara.
Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Menteri-menteri itu memimpin Departemen Pemerintahan.
Perubahan Pasal 17
Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
BAB VI. PEMERINTAH DAERAH
Pasal 18
Pembagian Daerah Indonesia atas Daaerah besar dan ketjil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusjawaratan dalam sistim Pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul dalam Daerah-Daerah yang bersifat istimewa.
Perubahan Pasal 18
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
Gubernur, Bupati, and Walikota masing-masing sebagai kepala pemrintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
Pasal 18A
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kebupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.


Pasal 18B
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur damam undang-undang.
BAB VII. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
Pasal 19
Susuan Dewan Perwakilan rakyat ditetapkan dengan undang-undang.
Dewan Perwakilan rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.
Perubahan Pasal 19
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.
Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang.
Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekaili dalam setahun.
Pasal 20
Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetudjuan Dewan Perwakiln rakyat.
Jika sesuatu rantjangan undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan rakyat, maka rantjangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan rakyat masa itu.
Perubahan Pasal 20
Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Pasal 20A
Dewan Perwakilian Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.
Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang.
Pasal 21
Anggauta-anggauta Dewan Perwakilan rakyat berhak memajukan rantjangan undang-undang.
Jika rantjangan itu, meskipun disetudjui oleh Dewan Perwakilan rakyat, tidak disahkan oleh Presiden, maka rantjangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan rakyat masa itu.
Perubahan Pasal 21
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang.
Pasal 22
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetudjuan Dewan Perwakilan rakyat dalam persidangan yang berikut.
Djika tidak mendapat persetudjuan, maka peraturan pemerintah itu harus ditjabut.
Pasal 22A
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.
Pasal 22B
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata cara caranya diatur dalam undang-undang.
BAB VIII. HAL KEUANGAN
Pasal 23
Anggaran pendapatan dan belandya ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan rakyat tidak menjetudjui anggaran yang diusulkan Pemerintah, maka Pemerintah mendyalankan anggaran tahun yang lalu.
Segala padyak untuk keperluan Negara berdasarkan undang-undang.
Matjam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.
Hal keuangan negara selandjutnya diatur dengan undang-undang.
Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan rakyat.
BAB IX. KEKUASAAN KEHAKIMAN
Pasal 24
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.

Pasal 25
Sjarat-sjarat untuk mendyadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.
BAB IXA WILAYAH NEGARA
Pasal 25A
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.

BAB X. WARGA NEGARA
Pasal 26
Jang mendyadi warga Negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disjahkan dengan undang-undang sebagai warga Negara.
Sjarat-sjarat yang mengenai kewargaan Negara ditetapkan dengan undang-undang.
BAB X WARGA NEGARA DAN PENDUDUK
Perubahan Pasal 26
Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa ndonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
Penduduk ialah waraga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.
Pasal 27
Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wadjib mendjundjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada ketjualinya.
Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerdyaan dan penghidupan yang lajak bagi kemanusiaan.
Perubahan Pasal 27
Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
BAB XA HAK ASASI MANUSIA
Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Pasal 28B
Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.


Pasal 28C
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan uman manusia.
Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Pasal 28D
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Pasal 28E
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkanya, serta berhak kembali.
Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi denggan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Pasal 28G
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat menusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Pasal 28H
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabai.
Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang oleh siapa pun.
Pasal 28I
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Identitas budaya dan hak masyarakat dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggun jawab negara, terutama pemerintah.
Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokaratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 28J
Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokaratis.
BAB XI. AGAMA
Pasal 29
Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa.
Negara mendyamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepertjajaannya itu.
BAB XII. PERTAHANAN NEGARA
Pasal 30
Tiap-tiiap warga Negara berhak dan wadjib ikut serta dalam usaha pembelaan Negara.
Sjarat-sjarat tentng pembelaan diatur dengan undang-undang.
Perubahan Pasal 30
Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Repbulik Indonesia, sebagai kekuatan utama dan rakyat, segabai kekuatan pendukung.
Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
BAB XIII. PENDIDIKAN
Pasal 31
Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengadyaran.
Pemerintah mengusahakan dan menjelenggarakan satu sistim pengadyaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.
Pasal 32
Pemerintah memajukan kebudajaan nasional Indonesia.
BAB XIV. KESEDYAHTERAAN SOSIAL
Pasal 33
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
Tjabang-tjabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasasi hadyat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
Bumi dan air dn kekajaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pasal 34
Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara
BAB XV. BENDERA DAN BAHASA
BAB XV BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA SERTA LAGU KEBANGSAAN
Pasal 35
Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih.
Pasal 36
Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.
Pasal 36A
Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Pasal 36B
Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya.
Pasal 36C
Ketentuan lebih lanjut mengenai Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta lagu Kebangsaan diatur dengan undang-undang.
Pasal 37
Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 daripada djumlah anggauta Madjelis Permusjawaratan rakyat harus hadir.
Putusan diambil dengan persetudjuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada djumlah anggauta yang hadlir.
ATURAN PERALIHAN
Pasal I
Panitja Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengatur dan menjelenggarakan kepindahan pemerintahan kepada Pemerintah Indonesia.
Pasal II
Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
Pasal III
Untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Pasal IV
Sebelum Majelis Permusyawaratan rakyat, Dewan Perwakilan rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang ini, segala kekuasaannya didyalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional.


ATURAN TAMBAHAN
Dalam enam bulan sesudah achirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menjelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam Undang-Undang dasar ini.
Dalam enam bulan sesudah Madjelis Permusjawaratan rakyat dibentuk, Madjelis itu bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar.

shirathal mustaqim

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dengan mengucapkan rasa syukur segala puji bagi Allah, penguasa alam dan seisinya yang telah memberikan hidayah-Nya kepada penulis sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik, dan tidak lupa shalawat dan salam semoga tercurahkan atas utusan Allah sebagai rahmat bagi alam semesta, junjungkan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya dan pengikut sekiranya sampai akhir zaman.

Adapun tujuan pembuatan dari makalah ini adalah dijadikan bertambahnya wawasan tentang ilmu Tafsir dan untuk memenuhi tugas UTS (Ujian Tengah Semester) yang dilaksan pada tanggal 06 april 2010. Penulis juga menyadari di dalam penulisan ini terdapat kekurangan, oleh karena itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak, demi kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang.

Demikianlah sedikit yang dapat Penulis sampaikan, mudah-mudahan Makalah ini bermanfaat untuk kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.






Bandung , 04 April 2010


Penyusun







BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam mempelajari ilmu tafsir hadist sufi, ada beberapa hal yang penting untuk dipelajari dan salah satunya adalah bagaimana isi dan kandungan al-quran dan hadist-hadist ini dilaksanakan baik pada zaman rasulullah ataupun pada masa khulafaur Rasyidin dan hingga sekarang.

1.2 Masalah
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, ada peristiwa-peristiwa yang memaksa dan membuka hati para sahabat untuk tetap menjaga apa-apa yang telah di ajarkan oleh Rasul, termasuk dengan menjalankan perintah-perintahnya yang tertuang dalam hadist dan al-quran agar tetap dilaksanakan oleh seluruh ummat-Nya hingga akhir zaman. Oleh karena itulah kami disini mencoba untuk menuliskan dan menjelaskan tentang salah satu ayat alquran surat al-an’am ayat 153. Ini dilakukan demi untuk tetap menyatukan umat Islam dalam satu kesatuan iman yang sama.

1.3 Tujuan Penulisan
Penugasan ini dilakukan semata-mata demi untuk mempelajari dan menambah wawasan dalam Ilmu Tafsir dan juga merupakan salah satu tugas mata kuliah tafsir Hadist Sufi.









BAB II
PEMBAHASAN

Dalam pembahasan makalah ini kami mencoba untuk menjelaskan dan mengurai tentang isi salah satu ayat al-quran yang berbunyi :

“Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertaqwa” (QS – Al-An’am : 153)
Redaksi ayat di atas memerintahkan kepada kita agar mengikuti jalan yang telah Allah tunjukan kepada kita melalui al-quran dan sunnah, Maka marilah kita ikuti petunjuk Allah dalam Kitab Al Qur’an, supaya kita dapat mengabdi kepada Allah dengan benar, sebagaimana yang Allah tunjukan kepada kita dengan ayat-ayat-Nya. Dan janganlah kita seperti orang-orang kafir, karena mereka di ingatkan dengan ayat-ayat Allah dalam Kitab Al Qur’an, mereka sama saja seperti orang yang tidak di ingatkan, dan yang demikian itu karena mereka kafir tidak percaya kepada perkataan Allah yang Allah katakan kepada mereka dengan ayat-ayat-Nya dalam Kitab Al Qur’an. Dan yang demikian itu untuk lebih jelasnya mari kita baca ayat yang berikut ini, bagaimana Allah menerangkan tentang itu kepada kita, yang firman-Nya :
”Sesungguhnya orang-orang kafir itu sama saja bagi mereka, apakah kamu peringatkan mereka, atau kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, (maka) bagi mereka (sama saja) tidak akan beriman”. (QS Al-Baqarah : 6).
Demikianlah Allah menerangkan kepada kita dengan ayat-ayat-Nya. Bahwa orang-orang kafir itu sama saja bagi mereka, apakah kita mengingatkan mereka bahwa Kitab Al Qur’an itu sebagai petunjuk Allah untuk mengerjakan perintah-Nya, atau kita diam saja tidak mengingatkan mereka tentang itu, karena mereka kita ingatkan tentang itu sama saja bagi mereka seperti orang yang tidak di ingatkan. Dan yang demikian itu karena mereka tidak percaya kepada perkataan Allah yang Allah katakan kepada mereka dengan ayat-ayat-Nya dalam Al Qur’an. Maka karena itu Allah mengunci mati hati mereka dan menutup pendengaran mereka dan penglihatan mereka, sehingga hati mereka terkunci mati tidak terbuka untuk mengerjakan perintah Allah dengan mengikuti petunjuk-Nya, dan pendengaran mereka-pun tertutup tidak mau mendengarkan apa yang Allah terangkan kepada mereka dengan ayat-ayat-Nya dalam Kitab Al Qur’an, dan tidak pula mereka mau melihat petunjuk Allah untuk mengerjakan perintah-Nya yang Allah tunjukan kepada mereka dengan ayat-ayat-Nya dalam Kitab Al Qur’an. Maka bagi mereka siksa yang amat berat dalam neraka.
Demikianlah Allah memberitahukan perbuatan orang-orang kafir dan orang-orang zalim terhadap petunjuk Allah kepada kita, dan itu Allah beritahukan kepada kita dengan melalui pengetahuan yang Allah ketahui dari perbuatan mereka, dan Allah tidaklah gaib terhadap apa yang mereka perbuat dalam kehidupan dunia. Maka karena itu janganlah kita seperti orang-orang kafir, karena mereka di ingatkan dengan ayat-ayat Allah dalam Kitab Al Qur’an, mereka sama saja seperti orang yang tidak di ingatkan, dan yang demikian itu karena mereka kafir tidak percaya kepada perkataan Allah yang Allah katakan kepada mereka dengan ayat-ayat-Nya dalam Kitab Al Qur’an. Maka janganlah kita berbuat demikian, karena yang demikian itu siksa yang amat berat bagi kita dalam neraka, jika kita ingin menjadi penghuni surga yang penuh kenikmatan. Dan jika kita benar-benar ingin menjadi penghuni surga yang penuh kenikmatan, sebagaimana orang-orang yang telah Allah beri nikmat atas mereka. Maka apabila kita mengerjakan perintah Allah ikutilah petunjuk-Nya yang telah Allah tunjukan kepada kita dengan ayat-ayat-Nya dalam Kitab Al Qur’an, supaya apa yang kita kerjakan dari perintah-Nya itu benar, sebagaimana yang Allah tunjukan kepada kita dari perintah-Nya. Dan yang demikian itu karena Kitab Al Qur’an tidak ada keraguan didalamnya, sebagai petunjuk untuk kita bertakwa mengabdi kepada Allah dengan mengerjakan segala perintah-Nya, dan yang demikian itu supaya kita menjadi penghuni surga di akhirat nanti.
Maka mari kita ikuti petunjuk Allah dalam Kitab Al Qur’an, dan janganlah kita seperti orang-orang mengaku beriman kepada Allah dan kepada kehidupan hari akhirat, padahal mereka tidak beriman. Dan yang demikian itu untuk lebih jelasnya mari kita baca ayat-ayat Allah yang berikutnya, bagaimana Allah menerangkan tentang itu kepada kita, yang firman-Nya :
Mereka itulah yang menukarkan petunjuk (Allah) dengan yang sesat, maka mereka tidak beruntung perniagaannya, dan tidak (pula) mereka mendapat petunjuk. (QS Al-baqarah : 16).
Demikianlah Allah menerangkan kepada kita dengan ayat-ayat-Nya. Sungguh diantara manusia ada orang yang berkata : Kami beriman kepada Allah dan kepada kehidupan hari akhirat,” padahal mereka tidak beriman kepada Allah dan kepada kehidupan hari akhirat. Dan yang demikian itu karena apabila Allah menyuruh mereka, supaya mereka mengerjakan perintah Allah yang Allah tunjukan kepada mereka dengan ayat-ayat-Nya dalam Al Qur’an, mereka tidak mau mengerjakannya, walaupun Allah akan memberi pahala kepada mereka untuk kesenangan mereka di akhirat nanti. Dan yang demikian itu karena mereka tidak beriman kepada Allah dan kepada kehidupan hari akhirat. Dan tidaklah mereka mengatakan beriman kepada Allah dan kepada kehidupan hari akhirat, melainkan itu mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka tidak menipunya kecuali mereka menipu diri mereka sendiri, akan tetapi mereka tidak menyadari. Dan yang demikian itu karena dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya, sehingga mereka mabuk tidak menyadari perkataan mereka yang telah mereka katakan itu, dan bagi mereka siksa yang sangat pedih, karena mereka berdusta mengatakan beriman kepada Allah dan kepada kehidupan hari akhirat, padahal mereka tidak beriman.
Dan apabila di katakan kepada mereka : “ Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,” mereka berkata : “ Sesungguhnya kami berbuat baik.” sesungguhnya mereka itu membuat kerusakan, akan tetapi mereka tidak menyadari. Dan yang demikian itu karena mereka mabuk tidak menyadari perbuatan mereka yang membuat kerusakan dalam mengerjakan perintah Allah, sehingga mereka mengatakan baik terhadap perbuatan mereka itu. Dan yang demikian itu mereka berdusta karena mereka mengatakan berbuat baik, padahal mereka membuat kerusakan di muka bumi dalam mengerjakan perintah Allah. Maka janganlah kita berbuat demikian, karena yang demikian itu Allah akan menyiksa kita dengan siksaan yang sangat pedih dalam neraka. Dan mari kita ikuti petunjuk Allah dalam Kitab Al Qur’an, jika kita ingin menjadi penghuni surga yang penuh kenikmatan. Dan janganlah kita seperti orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada kehidupan hari akhirat, karena apabila dikatakan kepada mereka : “ Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang yang telah beriman kepada yang gaib, mereka mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian rizki yang telah Allah berikan kepada mereka. Dan mereka beriman kepada Kitab Al Qur’an yang telah Allah turunkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, dan kepada Kitab-Kitab yang di turunkan dari sebelumnya. dan mereka yakin terhadap kehidupan hari akhirat, dan ketika itu mereka berkata : “Sesungguhnya merekalah yang bodoh, akan tetapi mereka tidak mengetahui ”.
Dan yang demikian itu karena mereka mengira bahwa menafkahkan sebagian rizki dijalan Allah itu adalah bodoh, karena menurut mereka rizki yang mereka boleh susah payah mencarinya, kemudian sebagiannya itu mereka berikan kepada orang lain, dan yang demikian itu menurut mereka adalah bodah. Maka karena itu mereka mengatakan : Dan yang demikian itu karena mereka tidak beriman kepada Allah dan kepada kehidupan hari akhirat, dan tidak pula mereka mengetahui bahwa menafkahkan sebagian rizki di jalan Allah itu untuk kesenangan mereka di akhirat nanti. Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman ketika mereka mendengarkan pembacaan Kitab Al Qur’an, mereka berkata :” Kami beriman kepada Allah dan kepada petunjuk-Nya yang dibacakan kepada kami dengan ayat-ayat-Nya dalam Kitab Al Qur’an.” Dan apabila mereka kembali ke rumahnya, mereka berkata kepada syaitan-syaitan yang menjadi pemimpin mereka :“ Sesungguhnya kami bersama kamu dan sesungguhnya kami hanya mengolok-olok orang-orang yang beriman.
Dan yang demikian itu karena mereka selalu mengikuti bisikan syaitan yang menjadi pemimpin mereka, maka sesudah mereka mendengarkan ayat-ayat Allah yang di bacakan kepada mereka yang berupa keterangan-keterangan dan petunjuk Allah untuk mengerjakan perintah-Nya, maka sesudah itu mereka kembali lagi mengikuti bisikan syaitan yang membisik hati mereka, supaya mereka melupakan apa yang mereka dengar dalam pembacaan Kitab Al Qur’an. Maka karena itu Allah membalas mereka dengan mengolok-olok mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kedurhakaan. Dan yang demikian itu karena mereka mendurhakai Allah dengan tidak mau mengerjakan perintah Allah, sesudah mereka mendengarkan keterangan-keterangan dan petunjuk Allah untuk mengerjakan perintah-Nya yang dibacakan kepada mereka dengan ayat-ayat-Nya dalam Al Qur’an. Dan yang demikian itu Allah membiarkan mereka terombang-ambing dalam kedurhakaan, maka mereka setiap mendengarkan pembacaan ayat-ayat Allah dalam Kitab Al Qur’an, maka setiap kali itu pula mereka tetap saja mendurhakai Allah dengan tidak mau mengerjakan perintah Allah yang Allah perintahkan kepada mereka dengan ayat-ayat-Nya dalam Kitab Al Qur’an, dan yang demikian itu karena mereka mengikuti bisikan syaitan yang menyuruh mereka, supaya melupakan keterangan-keterangan dan petunjuk Allah untuk mengerjakan perintah-Nya. Dan yang demikian itu mereka menukar petunjuk Allah dengan yang sesat atau mereka menukar petunjuk Allah dengan yang lain, maka mereka tidak beruntung perniagaannya, dan tidak pula mereka mendapat petunjuk Allah untuk masuk surga.
Maka karena itu apabila kita mendengarkan pembacaan Kitab Al Qur’an, janganlah kita seperti orang yang mengikuti bisikan syaitan yang menyuruh mereka, supaya melupakan keterangan-keterangan dan petunjuk Allah untuk mereka mengerjakan perintah Allah, karena perumpamaan mereka dalam mendengarkan pembacaan Kitab Al Quran itu seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api menerangi sekeliling mereka, lalu Allah menghilangkan cahaya api itu, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, sehingga mereka tidak dapat melihat apa yang ada di sekeliling mereka sesudah mereka melihatnya. Dan yang demikian itu untuk lebih jelasnya mari kita baca ayat-ayat Allah yang berikutnya, bagaimana Allah menerangkan tentang itu kepada kita, yang firman-Nya :
Perumpamaan mereka itu seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api menerangi sekeliling mereka, (lalu) Allah menghilangkan cahaya (api itu), dan membiarkan mereka dalam kegelapan, (sehingga) mereka tidak dapat melihat (apa yang ada di sekeliling mereka sesudah mereka melihatnya). (QS Al-baqaraah : 17).
Demikianlah Allah menerangkan kepada kita dengan ayat-ayat-Nya. Sungguh orang-orang yang mendengarkan pembacaan ayat-ayat Allah dalam Kitab Al Qur’an, kemudian sesudah itu mereka mengikuti bisikan syaitan yang menyuruh mereka, supaya melupakan keterangan-keterangan dan petunjuk Allah untuk mengerjakan perintah-Nya. Maka perumpamaan mereka itu seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api menerangi sekeliling mereka, lalu Allah menghilangkan cahaya api itu, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, sehingga mereka tidak dapat melihat apa yang ada di sekeliling mereka, sesudah mereka melihatnya.
Dan yang demikian itu karena mereka sesudah mendengarkan pembacaan Kitab Al Qur’an itu, mereka kembali kepada urusannya masing-masing dengan mengikuti bisikan syaitan dan melupakan keterangan-keterangan dan petunjuk Allah untuk mengerjakan perintah-Nya, sehingga mereka kegelapan tidak melihat apa yang Allah tunjukan kepada mereka dengan cahaya penerangan itu. Mereka seakan-akan tuli tidak mendengar apa yang telah Allah terangkan kepada mereka dengan ayat-ayat-Nya, dan seakan-akan mereka bisu tidak dapat menerangkan apa yang telah Allah terangkan kepada mereka dengan ayat-ayat-Nya, dan seakan-akan mereka buta tidak melihat apa yang telah Allah tunjukan kepada mereka dari perintah-Nya. Maka seandainya demikian tentu mereka tidak dapat kembali kejalan yang benar apabila mereka mengerjakan perintah Allah. Dan yang demikian itu karena mereka lupa akan keterangan-keterangan dan petunjuk Allah untuk mengerjakan perintah-Nya, sesudah mereka mendengarnya.
Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mengikuti bisikan syaitan dan melupakan keterangan-keterangan dan petunjuk Allah untuk mengerjakan perintah-Nya, sesudah mereka mendengarkan pembacaan ayat-ayat Allah dalam Kitab Al Qur’an. Atau perumpamaan mereka itu seperti orang-orang yang ditimpa hujan lebat dari langit, yang didalamnya gelap-gulita, guruh dan kilat, kemudian mereka menyumbat telinga mereka dengan anak jarinya untuk menolak dari mendengar suara petir, karena mereka takut mati. Dan ketika itu pengetahuan Allah meliputi perbuatan orang-orang kafir. Dan ketika itu hampir-hampir kilat menyambar penglihatan mereka, dan setiap kilat bersinar menyinari mereka, maka ketika itu mereka berjalan di bawah sinarnya, dan apabila gelap menimpa mereka, lalu mereka berhenti, dan yang demikian itu kalau Allah menghendaki niscaya Dia melenyapkan pendengaran mereka dan penglihatan mereka, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Dan yang demikian itu karena ketika mereka mendengarkan pembacaan Kitab Al Qur’an itu, mereka seakan-akan berada dalam kegelapan tidak melihat apa yang Allah terangkan kepada mereka dengan ayat-ayat-Nya, sehingga ketika mereka dihujani peringatan dari sisi Allah dan rahmat-Nya yang berupa keterangan-keterangan dan petunjuk untuk mereka mengerjakan perintah Allah, maka ketika itu mereka tidak memahaminya seakan-akan mereka menyumbat telinga mereka dengan anak jarinya untuk menolak dari mendengar apa yang Allah peringatkan kepada mereka, maka karena mereka takut mati masuk neraka, dan yang demikian itu karena mereka melupakan peringatan dari sisi Allah sesudah mereka mendengarnya. Dan ketika itu pengetahuan Allah meliputi perbuatan orang-orang kafir.
Padahal ketika mereka mendengarkan pembacaan Kitab Al Qur’an itu, hampir-hampir mereka melihat apa yang Allah terangkan kepada mereka, dan setiap mereka melihatnya mereka memahaminya dan membenarkannya, sehingga rasa hati dan ingatan mereka berjalan mengikuti apa yang Allah terangkan kepada mereka. Akan tetapi apabila pembacaan Kitab Al Qur’an berhenti menerangkan apa yang Allah terangkan kepada mereka dengan ayat-ayat-Nya, maka sesudah itu tiba-tiba mereka gelap kembali seakan-akan mereka tidak mendengarnya dan tidak pula melihatnya, dan yang demikian itu karena mereka kembali kepada urusannya masing-masing dengan tidak mau memperdulikan apa yang telah Allah terangkan kepada mereka dengan ayat-ayat-Nya. Dan yang demikian itu kalau Allah menghendaki niscaya Dia melenyapkan pendengaran mereka dan penglihatan mereka, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Demikianlah Allah memberitahukan perbuatan mereka kepada kita dengan melalui pengetahuan yang Allah ketahui dari perbuatan mereka. Dan Allah tidaklah gaib terhadap apa yang mereka perbuat dari sesudah mereka mendengarkan pembacaan Kitab Al Qur’an. Maka karena itu janganlah kita seperti mereka apabila kita mendengarkan pembacaan Kitab Al Qur’an, karena mendengarkan pembacaan Kitab Al Qur’an itu baik bagi kita, jika kita mau mengamalkan apa yang Allah perintahkan kepada kita dengan ayat-ayat-Nya. Maka apabila kita mendengarkan pembacaan Kitab Al Qur’an, perhatikanlah apa yang Allah terangkan kepada kita dengan ayat-ayat-Nya, dan ketahuilah apa yang Allah tunjukan kepada kita dari perintah-Nya, dan ingatlah apa yang Allah cegah atas kita yang kita tidak boleh mengerjakannya, jika kita beriman kepada Allah dan kepada kehidupan hari akhirat. Dan yang demikian itu karena Allah telah menyediakan dua tempat tinggal untuk kediaman kita di akhirat nanti, yaitu sorga dan neraka, maka itu pilihlah oleh kita apakah kita ingin masuk neraka yang penuh penderitaan atau kita ingin masuk surga yang penuh kenikmatan ?
Dan jika kita ingin masuk sorga, maka kerjakanlah apa yang Allah perintahkan kepada kita dengan ayat-ayat-Nya, dan jauhilah cegahan-Nya yang kita tidak boleh mengerjakannya. Dan yang demikian itu karena tidaklah Allah memasukan kita ke dalam sorga, melainkan itu sebagai balasan atas apa yang telah kita kerjakan dari perintah-Nya. Maka mari kita kerjakan apa yang Allah perintahkan kepada kita dengan ayat-ayat-Nya, mudah-mudahan Allah memasukan kita ke sorga yang penuh kenikmatan. Dan apabila kita mengerjakan perintah Allah ikutilah petunjuk-Nya, supaya apa yang kita kerjakan dari perintah-Nya itu benar sebagaimana yang Allah tunjukan kepada kita dengan ayat-ayat-Nya. Dan yang demikian itu karena tidaklah Allah menyuruh kita, melainkan itu dengan memberi petunjuk kepada kita, supaya kita tidak kesalahan dalam mengerjakan perintah-Nya.


BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis paparkan dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa apa yang telah Allah turunkan kepada nabi Muhammad berupa Al-quran sebagai petunjuk untuk kita mengikuti jalan yang lurus yaitu dengan mengikuti apa yang telah di ajarkan dalam al-quran dan sunnah. Sesungguhnya suatu perbuatan yang sangat mulia karena dengan nama Allah mereka berusaha menjaga kelestarian dan mengamalkan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw melalui perantara Malaikat Jibril dan Al-Qur’an merupakan pedoman dasar menuju jalan yang diridhoi oleh Allah SWT.

2. Saran
Dengan adanya makalah ini penulis menyarankan agar kita (khususnya penulis sendiri) hendaknya dapat mengamalkan isi kandungan Al-Qur’an karena sesungguhnya Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar bagi umat Islam yang dapat dijadikan pedoman hidup baik di dunia dan di akhirat. Al-Qur’an merupakan kitab dari Allah yang kaya akan ilmu dan tak akan pernah habis untuk dikaji, karena dengan mempelajari Al Qur’an kita akan mengetahui Maha Besarnya Allah bagi segala makhluk yang diciptakannya.










DAFTAR PUSTAKA
1. Blog Risalah Islam dan Pengetahuan, majelismuslim.com
2. DR. Ahmad Umar Hasyim. Tafsir Sa’rawi, 1991
3. Drs. H. Kahar Masyhur. Pokok-pokok Ulumul Qur’an. Rineka Cipta 1992
4. Syaikh Al-‘Izza bin Abdus Salam. Syajaratul Ma’arif, Tangga Menuju Ihsan. Pustaka Al-Kautsar.