Jumat, 18 Juni 2010

FILSAFAT DAN MITOS

Apakah mitos itu? Sebagai cara awal untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan ini, kita barangkali dapat membuka sebuah kamus. Websters`s New World Dictionary, misalnya, mengemukakan beberapa pengertian tentang mitos, dan salah satunya tampak cukup relevan untuk dikemukakan dalam tulisan ini. Kamus itu menyebutkan bahwa mitos adalah cerita tradisional yang biasanya berperan menjelaskan beberapa fenomena alam, asal-usul manusia, adat-istiadat sebuah masyarakat, institusi-institusi, serta ritus-ritus keagamaan yang ada dalam masyarakat tersebut. [Dalam proses penjelasan tersebut] mitos biasanya melibatkan [pelukisa tentang] perbuatan-perbuatan para dewa dan pahlawan yang luar biasa.
Definisi kamus ini tampaknya cocok dengan definisi mitos yang diberikan para ahli. Sebagaimana dikutif dalamEncarta, para ahli biasanya mendefinisikan mitos sebagai sebuah kisah yang memiliki narasi drama menarik dan berkaitan dengan unsur-unsur dasar dan asumsi-asumsi sebuah budaya. Mitos mejelaskan misalnya, bagaimana dunia ini dimulai, bagaimana manusia dan binatang masuk ke dalam keberadaan; bagaimana adat istiadat dan sikap-sikap tubuh tertentu lahir; bagaima yang-ilahi dan dunia manusia berinteraksi. Banyak mitos yang terjadi pada saat sebelum dunia yang sekarang dikenal manusia.
Cerita mitos ini, menurut kamus tersebut, tidak diketahui asal-usulnya, namun tampak seolah-olah memiliki dasar sejarah, dan dapat dibandingkan dengan cerita turun-temurun sebuah legenda yang secara luas dipercaya memiliki dasar sejarah, sekalipun tidak dapat dibuktikan (benar/tidaknya).
Mitos dan Masyarakat Arkhais
Tidak seperti yang disangkakan oleh kebanyakan orang modern, mitos bukanlah cerita atau kisah yang semata-mata khayalan, ilusi, atau dongengan belaka, melainkan—sebagaimana terungkap dari penyelidikan seorang ahli perbangingan agama-agama, Mircea Eliade—ia mempunyai makna yang dalam, dan mempunyai peranan yang menentukan dalam masyarakat kuno atau, dalam istilah Eliade, masyarakat arkhais.
Menurut Eliade, mitos adalah ungkapan cara berada masyarakat arkhais di dunia. Istilah arkhais atau juga pre-literate, kata John A. Saliba sebagaimana dirujuk P.S Hery Susanto, diusulkan Eliade untuk melukiskan suatu masyarakat yang mempunyai ciri-ciri primitif, arkhais, tradisional, pra-modern, eksotis, ahistoris dan prahistoris. Istilah-istilah ini dipilih Eliade untuk menggantikan kata primitif yang menurutnya cederung diasosiasikan dengan pengertian-pengertian yang tidak tepat, seperti pemikiran tidak logis (suatu masyarakat), kebodohan primordial atau taraf mental (masyarakat) yang rendah.
Ciri-ciri masyarakat arkais seperti itu menggambarkan bahwa masyarakat arkhais kurang-lebih adalah masyarakat tradisional kuno (archaic) yang belum memiliki bahasa tulisan (preliterate) dan belum memiliki kepentingan pada pendokumentasian sejarah (ahisotric), sebuah masyarakat yang hidup pada masa-masa yang sangat awal (primitive) sebelum masa modern (premodern) dan pada periode sebelum adanya pencatatan sejarah (prehistoric).
Nah, mitos merupkan dasar kehidupan sosial dan kebudayaan masyarakat arkhais ini, sehingga kita hampir tidak dapat memahami mereka tanpa membicarakan juga prihal mitos ini. Mitos merupakan realitas kultural yang kompleks dan karena itu sulit untuk memberikan batasan-batasan yag definitif terhadapnya.
Melukiskan Lintasan Para Dewa
Dalam masyarakat arkhais ini, mitos merupakan usaha mereka dalam melukiskan lintasan wujud-wujud supra-natural ke dalam dunia ini. Mitos melukiskan bermacam-macam lintasan Yang Sakral ke dalam dunia, yang melalui lintasan-lintasan inilah, menurut mereka, dunia terbentuk dan ditetapkan sehinga menjadi seperti sekarang ini. Mitos, dengan demikian, menyingkapkan tindakan kreatif para dewa atau makhluk supranatural serta kesakralan karya-cipta mereka di dunia ini. Keadaan manusia yang seperti sekarang ini—dapat mati, mempunyai jenis kelamin tertentu dan merupakan makhluk kultural—juga merupakan hasil campur tangan para dewa atau makhluk supranatural. (Hari Susanto, 1987:91)
Bagi masyarkat arkhais, alam tidak pernah bersifat natural murni, melainkan natural dan supranatural sekaligus. Alam bersifat supra-natural karena ia merupakan manifestasi dari kekuatan-kekuatan Yang Sakral dan figur realitas-realitas transenden. (Hari Susanto, h. 43)
Masyarakat arkhais beranggapan bahwa keberadaan dirinya sebagaimana adanya sekarang adalah karena serentetan peristiwa yang terjadi pada waktu mitis in illo tempore sebelum mereka ada, dan karenanya tidak dapat ditemukan dalam waktu historis dunia. Rentetan peristiwa itu merupakan suatu sejarah sakral, karena para pelakunya adalah para dewa atau makhluk-makhluk supra-natural. Masyarakat arkhais tidak hanya merasa wajib untuk mengetahui peristiwa mitis ini, tetapi juga wajib mengulang dan menghadirkan kembali sejarah itu secara periodik. Ini berbeda dengan cara pandang manusia modern, yang menganggap dirinya sebagai produk sejarah sekaligus menjadi sumber dan pelaku sejarah, yang tidak dapat diulang kembali ketika telah berlalu. (Hari Susanto, h. 64-65)
Mitos menceritakan suatu sejarah sakral yang terjadi pada waktu primordial, pada awal mula. Mitos menceritakan bagaimana suatu realitas mulai bereksistensi melalui tindakan makhluk supra natural. Mitos selalu menyangkut suatu penciptaan. Tetapi mitos penciptaan tidak dianggap sebagai suatu sarana untuk mencari sebab pertama, prinsip terakhir atau dasar eksistensi dunia dan manusia, melainkan dianggap sebagai jaminan eksistensi dunia dan manusia. (Hari Susanto, h. 91)
Karena mitos bertalian dengan tindakan para dewa serta manifestasi kekuatan-kekuatan sakral mereka di dunia, maka mitos menjadi model-acuan bagi seluruh kegiatan manusia yang bermakna. Apa yang sudah dilakukan oleh para dewa harus juga dilakukan oleh manusia. Dapat dikatakan bahwa fungsi utama mitos adalah menetapkan model-acuan bagi semua tindakan manusia, baik dalam upacara-upacara maupun dalam kegiatan sehari-hari yang bermakna, misalnya makan, seksualitas, pekerjaan, pendidikan, dsb. Tindakan dan kegiatan manusia yang bersifat profane juga mempunyai model-acuannya dalam tindakan-tindakan yang bersifat adi-manusiawi, yaitu model tindakan para dewa. (Hari Susanto, 91-92)
Bagi masyarakat arkhais, mitos berarti suatu cerita yang benar. Dan, cerita ini merupakan milik mereka yang paling berharga, sebab ia adalah sesuatu yang suci, yang bermakna, yang menjadi model-acuan bagi tindakan manusia, dan yang memberikan makna dan nilai pada kehidupan ini. Dengan demikian, mitos merupakan orientasi mental dan spiritual untuk berhubungan dengan yang ilahi dan bukan sekedar pemikiran intelektual atau produk logika semata. (Ibid)
Manusia Arkhais adalah Manusia Religius
Bagi orang arkhais, Yang Sakral merupakan realitas yang paling utama. Dunia kehidupan mereka berada di bawah pengaruh Yang Sakral. Mereka mempunyai kerindu-an yang dalam untuk tinggal dalam suatu dunia yang sakral atau berada sedekat mungkin dengan objek-objek yang disakralkan. Oleh karena itu, manusia pramodern (arkhais) adalah manusia religius. Bakat utama mereka hampir secara ekslusif terletak pada tingkat religiusitas ini. Mereka berusaha untuk mencapai ideal religius humanitas. (44)
Kehidupan dan pengalaman religius berpusat pada Yang Sakral ini. Kehidupan religius adalah pengalaman tentang kratofani (pewahyuan atau penyingkapan kekuatan-kekutan supranatural), hierofani (penyingkapan yang-sakral), dan teofani (penyingkapan yang-ilahi) yang mempengaruhi seluruh kehidupan manusia. Agama merupakan pewahyuan dari Yang Sakral ini. Agama berfungsi untuk membangkitkan dan mejaga kesadaran akan dunia yang lain. Agama bukanlah fakta yang melulu bersifat sosial, historis, atau psikologis. Oleh karenanya, keberadaan agama tidak bisa sekedar dijelaskan dalam kaitan dengan fungsi-fungsi sosial, historis, dan psikologis semacam itu. Mereduksikan agama pada salah satu fungsi itu berarti mengabaikan unsur yang tak dapat direduksikan dalam agama, yakni Yang Sakral. (44)
Mitos Kosmogoni dan Pembangungan Dunia
Bagi manusa religius arkhais, istilah “dunia” tidak merujuk pada alam raya secara keseluruhan sebagaimana yang kita pahami pada zaman modern ini, melainkan terbatas pada daerah yang mereka huni dan kenal. Mereka memandang wilayah yang telah mereka kenal dan huni sebagai sebuah kosmos, yakni dunia yang telah terawat dan teratur setelah sebelumnya mereka “konsekrasikan” (absahkan). Sementara wilayah tak berpenghuni di luar kosmos ini, bagi mereka, hanyalah wilayah khaos, yakni wilayah yang kacau dan tidak-berbentuk; wilayah yang masih merupakan dunia lain, asing, tempat tinggal jin-jin, setan-setan, roh-roh jahat, raksasa-raksasa, dsb. (46)
Daerah yang termasuk khaos dapat dijadikan daerah yang teratur dan berbentuk, yakni daerah kosmos, apabila ia telah dapat diduduki dan dijadikan tempat tinggal. Pengubahan status wilayah khaos menjadi kosmos, menurut manusia religius arkhais, dapat diupayakan secara sukses melalui peniruan dan peragaan kembali tindakan kreatif para dewa dalam menciptakan alam semesta ini (kosmogoni). Ini berarti bahwa dunia yang akan dihuni pertama-tama haruslah “diciptakan” ulang dengan cara mengacu dan memeragakan kembali peristiwa kosmogoni sebagai model acuannya, model acuan setiap jenis penciptaan. (46)
Kosmogoni (asal-usul alam semesta) merupakan salah satu tema yang terdapat dalam mitos-mitos masyarakat arkhais. Mitos kosmogoni menceritakan bahwa penciptaan alam terjadi melalui buah pikiran, perkataan atau tenaga panas dari sang pencipta. (Hary Susanto, 74) Tindakan pertama penciptaan dunia kerapkali digambarkan sebagai penciptaan (yakni manifestasi) dari diri sang pencipta sendiri. Ini adalah penciptaan alam yang tidak bereksistensi dalam bentuk apapun. Ia berasal dari pencipta secara langsung tanpa bahan dasar yang ada sebelumnya dan tanpa pertolongan agen pelaksana penciptaan itu.
Selain itu, versi mitos kosmogoni lainnya mengisahkan penciptaan alam semesta dengan bahan dasar yang sudah ada sebelumnya dan membutuhkan pertolongan agen pelaksana penciptaan itu. Ada tiga tipe mitos kosmogoni ini, dan salah satunya yang paling relevan dengan cara pandang masyarakat arkhais yang kita singgung di atas adalah mitos yang mengisahkan penciptaan sebagai akibat dari terpecahnya kesatuan primordial yang tak terpisahkan. Menurut kisah mitos ini, dunia (alam semesta kita) lahir dari pemisahan situasi yang berbentuk, yakni kosmos, dari suatu keadaan yang tidak berbentuk, yakni khaos.(Hary Susanto, 75) Dalam hal ini, khaos tidak berarti “kekacauan sempurna”, sebagaimana lazimnya dimengerti sekarang, melainkan lebih bermakna keadaan tak-berforme atau tak-berbentuk (formlessness) itu. Varian lainnya dari mitos tipe ini juga mengisahkan bahwa dunia lahir dari pemisahan langit dari bumi, yang keduanya digambarkan sebagai kesatuan pasangan primordial suami-istri.
Nah, sebagaimana para dewa mengeluarkan situasi yang berbentuk, kosmos, dari yang tak-berbentuk, chaos, demikian juga manusia arkhais menciptakan “dunia” kosmos mini dari wilayah yang mereka pandang masih khaos, tidak berbentuk.
Peniruan dan peragaan kembali tidakan penciptaan para dewa ini juga dilakukan oleh manusia arkhais ketika mereka hendak melakukan pembaharuan, perbaikan, dan penguatan kembali dunia. Dunia sekarang, menurut mereka, bukan lagi tempat tinggal para dewa yang selalu baik dan tidak berubah, melainkan tempat makhluk-makhluk yang berdarah dan berdaging, yang mengalami kelahiran, perkembangan dan kematian. Bahkan, dunia sekarang bukanlah dunia yang kuat dan sakral, seperti pertama kali uia diciptakan. Oleh karena itu, dunia perlu diperbaharui, diperbaiki, dan diperkuat kembali secara perodik. Dan, pengulangan kembali tindakan penciptan yang dilakukan para dewa in illo tempore merupakan satu-satunya cara untuk memperbaharui dunia. (56)
Pada zaman bahari, in illo tempore, para dewa telah menunjukkan kekuatan mereka yang maha besar. Kosmogoni merupakan manifestasi ilahi yang agung. Ia merupakan contoh tindakan yang kuat, dahsyat dan kreatif. Manusia religius haus akan kesejatian. Dimana pun ia berada dan dalam situasi apa pun, ia mendambakan untuk tinggal pada sumber realitas primordial, ketika dunia ini lahir untuk pertama kalinya.(58)
Pembaharuan dunia dilakukan masyarakat arkhais melalui suatu ritus yang mereka adakan pada setiap kali menjelang datangnya tahun baru, yaitu setiap akhir dan permulaan suatu lingkaran waktu entah bagaimana cara lingkaran waktu itu dihitung. Di salah satu suku Australia, misalnya, tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang yang manjadi bahan makanan mereka yang diciptakan oleh para dewa in illo tempore diciptakan kembali secara ritual. Dengan tindakan ini mereka tidak hanya mengharapkan persedian bahan makanan yang cukup pada tahun berikutnya, tetapi terutama karena mereka yakin bahwa dunia betul-betul lahir ketika tumbuh-tumbuhan dan binatang itu muncul untuk pertama kalinya. (56)
Pada bangsa-bangsa Indian di Amerika Utara, istilah dunia digunakan untuk menyebut tahun juga. Ungkapan “dunia sudah berlalu” berarti “setahun sudah berlalu”. Dunia digambarkan sebagai suatu kesatuan hidup yang lahir, berkembang dan mati pada akhir tahun. Karena itu setiap tahun dunia ini perlu diperbaharui kembali agar bisa memulihkan kembali kesakralan aslinya, yaitu kesakralan yang diperoleh dari tangan Sang Pencipta. (56)
Dalam ritus pembaharuan waktu periodik, terjadi pengulangan waktu mitis, perpindahan dari keadaan khaos ke kosmos. Perpindahan tahun lama menuju tahun baru ditandai dengan sederetan ritus, antara lain:
1. Ritus-ritus pembersihan, penyucian, pengakuan dosa-dosa, pengusiran setan, pengusiran si jahat dari desa. Secara simbolis, ini dimaksudkan untuk menghancurkan seluruh waktu dari tahun sebelumnya. Dengan ritus ini, dosa-dosa dan kesalahan masing-masing anggota, baik pribadi (57) maupun komunitas dibersihkan dan dihapuskan seluruhnya. Dengan mengambil bagian secara simbolis dalam ritus penghapusan yang lama dan penciptataan dunia kembali, manusia religius juga diciptakan kembali secara baru. Dia dilahirkan kembali dan dia memualai suatu hidup yang baru. Secara simbolis, manusia lahir bersaman waktunya dengan peristiwa kosmogoni, dia hadir pada peristiwa penciptaan dunia. (58)
2. Ritus memadamkkan dan menyalakan semua api. Dalam ritus ini, mula-mula semua api dipadamkan dan terjadi gegelapan total. Ini melambangkan malam kosmis yang sama dengan keadaan khaos. Kemudian penyalaan api kembali melambangkan penciptaan, pemberian bentuk kemali dan pemulihan keadaan kosmos.
3. Ritus pawai bertopeng. Ini secara simbolis melambangkan kunjungan arwah-arwah orang yang telah meninggal. Dalam ritus ini, mereka diterima dalam suatu upacara; mereka dijamu dan dihibur misalnya dengan persta-pesta, dsb. Kemudian pada akhir pesta mereka dihantar ke perbatasan wilayah desa itu, atau ke laut, atau mungkin juga ke sungai, dsb. Ritus ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa semua batas pemisah diruntuhkan dan semua bentuk kehidupan melebur bersama. Di sini dilukiskan pembauran kosmos dan khaos. Kemudian keadaan ini disusul dengan penciptaan kembali. (58)
4. Ritus Carnival, Sarunalia, pembaikan tatanan normal, kekacauan kelakuan seksual, orgy. Pesta pora yang berbau seksual melambangkan keadaan kegelapan, kembali ke situasi khaos, yang mendahului semua penciptaan. Pesta pora dalam ritus-ritus semacam itu menunjukkan keinginan untuk menghapus masa lampau kehidupan dengan menghapus semua ciptaan. Mereka kembali pada keadaan tak-berbentuk awal-mula sebelum penciptaan agar dengan demikian timbul penciptaan baru dan dunia diperbaharui kembali. Pesta pora ritual macam ini juga dilakukan utuk kesubutan tanah dan dan kepentingan panen. Dengan pengapusan norma, batas dan individualitas, manusa mencapai keadaan benih-benih yang melebur di dalam tanah, kehilangan bentuknya untuk melahirkan tumbuh-tumbuhan baru. Dalam pesta pora itu manusia juga berharap—lewat pengikdetifikasian dirinya dengn keadaan tanpa bentuk dan ekesistensi pra-kosmis—agar dia diperbaharui dan dilahirkan kembali menjadi seorang manusia baru. (59)
Pemaknaan Masyarakat Arkhais terhadap Ruang
Bagi manusia religius, tidak semua ruang memiliki kualitas yang sama. Ada ruang sakral dan tidak sakral. Ruang sakral adalah ruang yang teratur dan berbentuk, sebaliknya, ruang yang tidak sakral adalah ruang yang tidak bentuk. Manusia religius menghayati suatu ruang sebagai ruang sakral dalam perbangingannya dengan ruang di sekelilingnya yang dianggap tidak teratur dan tidak berbentuk. Pengalaman religius tentang kesakralan suatu ruang merupakan pengalaman primordial yang memungkinkan pembangunan sebuah dunia agar menjadi suatu kosmos yang teratur. (49-50)
Penyakralan suatu ruang pertama-pertama terjadi karena suatu peristiwa hierofani, yakni pemanifestasian diri Yang Sakral pada suatu tempat. Berkat peristiwa inilah suatu tempat menjadi sakral, istimewa, dan terpisah dari tempat-tempat lain. Misalnya, dalam Kitab Kejadian 28: 12-19 dikisahkan bagaimana (Tuhan) Yahweh menyatakan kesakralan suatu tempat kepada Yakob. Penyingkapan Yang Sakral dalam suatu hierofani bukan hanya merupakan suatu pendobrakan atas homogenitas ruang, tetapi juga pewahyuan realitas yang absolut, yang bertentangan dengan nonrealitas yang begitu luas di sekitarnya. Manifestasi Yang Sakral menjadi dasar ontologis bagi terciptannya suatu "dunia". Kratofani (manifestasi kekuatan-kekuatan ilahi) di suatu tempat menjadi suatu titik pusat orientasi di tengah-tengah ketak-terbatasan homogenitas ruang tidak memiliki titik orientasi yang tetap. Tanpa orientasi ini, tidak ada sesuatupun yang bisa dimulai dan dikerjakan oleh manusia relijius. Tidak ada dunia yang dapat lahir dalam suasana khaos homogenitas dan relativitas ruang profan. Karena alasan inilah manusia religius selalu ingin bertempat tinggal pada pusat "dunia".
Kesakralan suatu tempat tidak selalu ditunjukkan oleh peristiwa hierofani, tetapi sering cukup hanya dengan suatu tanda. Misalnya, dalam sebuah legenda, suku Marabout—yang mendirikan El Hamel pada akhir abad k-16—pada suatu ketika berhenti untuk bermalam di suatu tempat dekat mata air. Seseorang menancapkan tongkatnya di tanah. Pagi hari berikutnya, ketika dia terbangun untuk melanjutkan perjalanannya, dia mendapatkan bahwa tongkatnya itu sudah ditumbuhi akar dan tunas-tunas bersemai di atasnya. Hal itu ditafsirkan sebagai tanda untuk menunjukkan bahwa tempat itu sakral dan tanda kehendak dewa agar berdiam di tempat itu. Kejadian-kejadian semacam itu penuh dengan makna religius yang memperkenalkan suatu unsur absolut dan mengakhiri relativitas serta kebingungan dan ketidak-pastian orientasi. Sesuatu yang bukan dari dunia ini sudah memanifestasikan diri dan menunjukkan suatu orientasi.
Bila manusia religius tidak menemukan suatu tanda apapun, maka tanda itu “diusahakan”. Manusia religius berusaha mencari, meminta atau memanggil tanda itu dengan berbagai cara. Proses pencarian tanda itu disebut orientation. Misalnya, seekor lembu jantan dilepaskan dan dibiarkan pergi ke alam bebas. Setelah beberapa hari, binatang itu dicari dan mereka mengorbankannya di tempat ia ditemukan. Tempat itu dinyatakan sebagai tempat sakral.
Penyakralan, entah melalui peristiwa hierofani atau tanda-tanda atau metode-metode tertentu, berlaku untuk semua objek dan makhluk di dunia. Karena peristiwa hierofani, batu, padang, gunung, sungan tertentu disakralkan. Lewat tanda-tanda istimewa, suatu objek binatang atau manusia menjadi sakral. Dan, apabila hierofani serta peristiwa-peristiwa lainnya tidak ada, maka semua objek, binatang, atau manusia bisa disakralkan dengan berbagai bentuk upacara penyakralan, mungkin dengan mengulang kembali suatu peristiwa hierofani atau dengan mengulang kembali peristiwa kosmogoni. Dunia ini sendiri bersifat sakral karena dunia mengambil bagian dalam kesakralan Sang Penciptanya. Dunia terbentang sedemikian rupa sehingga dengan memandangnya saja dapat menangkap kekhususannya. Para dewa menampakkan kesakralan mereka dalam susunan fenomena-fenomena alam sendiri. (51)
Langit dinyatakan sakral, sebab cara beradanya menampilkan keabadian, kekuatan dan transendentalitas. Air dianggap sakral sebab air merupakan sumber dan asal semua keberadaan, juga (51) melambangkan kematian dan kelahiran kembali. Bumi dianggap sakral karnena merupakan asal dari semua makhuk hidup, sumber dari berbagai kekuatan sakral dan dianggap sebagai ibu manusia. Pohon dan tumbuh-tumbuhan dianggap sakral sebab irama kehidupannya menampilkan regenerasi, selalu memperbaharui diri setiap kali secara periodik, kemudian juga melambangkan keremajaan yang kekal, kesehatan dan keabadian. Batu atau karang diangap sakral karena mengungkapkan kekuasaan, kekerasan, keteguhan dan kelanggengan. Bulan dianggap sakral karena melalui fase-fase bulan—bulan baru, sabit, purnama, surut, lenyap, dan kemudian muncul lagi—manusia bisa mengerti cara beradanya sendiri dalam kosmos, ada kelahiran, kematian, dan kebangkitan atau kelahiran kembali di alam lain. Matahari dianggap sakral sebab mengungkapkan kekuasaan, otonomi, kedaulatan, keagungan, kecemerlangan dan kecerdasan. (52)
Pandangan Manusia Religius tentang Waktu
Sebagaimana ruang, waktu juga dihayati manusia religius sebagai tidak homogen (sama). Baginya, ada dua macam waktu: waktu profane dan waktu sakral. Waktu profan adalah waktu biasa dalam peristiwa kehidupan sehari-hari. Sedangkan waktu sakral ialah waktu yang diciptakan dan disakralkan oleh para dewa, muncul pada waktu in illo tempore, ab origine. Pebedaan antara waktu sakral dengan waktu profan ialah bahwa yang pertama dapat kembali, sementara yang kedua tidak dapat kembali. Suatu peristia sakral di waktu mitis itu dapat dihadirkan kembali dalam setiap pesta religius. Ambil-bagian dalam pesta religius berarti keluar dari waktu biasa dan masuk ke dalam waktu mitis yang dihadirkan kembali pada pesta religius itu. Jadi dengan sarana ritus-ritus, manusia religius bisa beralih dari waktu profan ke waktu sakral. (53-54)
Kosmogoni merupakan model-acuan bagi setiap penciptaan dan pembangunan, seperti membangun rumah atau desa, dst. Kosmogoni secara tersirat mengandung penciptaan waktu juga, yang menjadi model acuan setiap waktu spesifik yang dimiliki oleh setiap macam benda yang ada. Waktu yang dilahirkan oleh kosmogoni ini disebut waktu kosmis. Dan, sebagaimana kosmogoni merupakan model-acuan pertama dari semua ciptaan, maka waktu kosmis juga merupakan model acuan bagi semua macam waktu. Bagi manusia religius dalam kebudayaan kuno, setiap ciptaan dan setiap eksistensi menandai dimulainya waktu spesifik ciptaan dan eksistensi itu. Sebelum sesuatu benda itu ada, waktu spesifiknya pun tidak dapat ada. Karenanya, sebelum kosmos bereksistensi, waktu kosmis pun belum ada. Karenanya, setiap ciptaan digambarkan pada awal mula waktu, in principil. Kemunculan “waktu” bersamaan dengan awal munculnya suatu kategori eksistensi baru. Di sini, mitos berperan penting sebagai cara mengungkapkan kemunculan eksistentensi suatu realitas. (55)
Mitos merupakan salah satu fenomena religius yang berkaitan dengan feomena-fenomena religus lainnya seperti simbol-simbol, ritus-ritus, pandangan manusia religius tentang dunia, ruang-waktu, dan sebagainya yang saling berhubungan erat satu sama lainnya dan bersama-sama membentuk suatu sistem religius. Mitos merupakan salah satu dari unsur dari suatu keseluruhan sistem itu, namun merupakan unsur yang amat penting kalau bukan yang fundamental, karena mitos merupakan dasar kehihupan sosial dan kebudayaan manusia religius arkhais. (14)
Menghampiri Yang Sakral lewat Simbol
Semua peristiwa hierofani (hiero = sakral atau suci; phane = manifestasi atau penampakan), kratofani (cratos = kekuatan; phane = manifestasi) atau penyingkapan lainnya sampai kepada manusia melalui simbol. Dalam simbol itulah Yang Sakral termanifastasikan kepada manusia. Dan, melalui simbol itu pula, manusia memperoleh pengenalan tentang Yang Sakaral, sejauh Dia bisa dikenal. Jadi, simbol merupakan suatu cara untuk dapat sampai pada pengenalan tentang Yang Sakral dan yang transenden. Tetapi hal ini bukan berarti bahwa pengenalan manusia tentang Yang Sakral sepenuhnya merupakan hasil usahanya sendiri. Manusia bisa mengenal Yang Sakral karena Yang Sakral mewahyukan Dirinya sendiri kepada manusia [lewat simbol tersebut]. .(61)
Penghampiran atau pengenalan manusia arkhais—sebagaimana juga kita—terhadap Yang Sakral tidak dapat mereka lakukan secara langsung, sebab Yang Sakral merupakan sesuatu yang transenden sedangkan manusia adalah makhluk temporal yang terikat dalam dunianya. (61)
Yang Sakral adalah Yang Maha Lain, yang transenden, suatu realitas yang bukan milik dunia ini walaupun termanifastasikan di dalam dan melalui dunia. Yang Sakral secara esensial juga bersifat ambivalen. Dia mempesonakan dan menakutkan sekaligus, penyebab kehidupan dan kematian sekaligus, berguna tetapi membahayakan, dapat didekati dan sekaligus tak terhampiri. Jadi terdapat pertentangan yang melekat pada konsep Yang Sakral. Pertentangan itu tidak hanya bersifat internal, tetapi juga eksternal dalam arti bahwa Yang Sakral merupakan lawan dari yang profan (atu yang tidak sakral). Kedua konsep itu, merupakan dua tingakat realitas yang saling bertentangan satu sama lainnya. (45)
Yng transenden, yang tras-manusiawi, yang tras-historis seringkali tersingkap dalam ungakapan-ungkapan religious. Yang Sakral selalu menduduki tempat sentral dalam agama. Setiap tindakan religius dan setiap pemujaan mengarah pada suatu realitas yang meta-empiris. Oleh karenanya, dalam menjalankan kehidupan religiusnya, manusia tidak mempunyai pilihan lain kecuali mempergunakan ungkapan simbolis yang mununjuk ke sebrang dunia ini dan yang mengomunikasikan makna-makna yang tidak langsung, nonliteral dan tidak biasa karena memang kodrat Yang Sakral dan juga kodrat semua fenomea religius yang lain menuntut demikian. Karena hal ini pula Eliade menegaskan bahwa simbol merupakan cara pengenalan yang bersifat khas religius. (61)
Bila sebuah pohon atau batu menjadi objek pemujaan, sebenarnya orang tidak menyembah pohon itu sebagai pohon belaka, atau hanya menyembah batu belaka. Orang menyembah pohon atau batu, karena pohon dan batu itu adalah hierofani. Pohon dan batu yang disembah itu merupakan perwujudan dari Yang Sakral. Ia tidak lagi hanya merupakan pohon atau batu belaka, tetapi sudah menunjuk pada Yang Sakral, Yang Mahalain. Dengan hadirnya Yang Sakral, setiap benda manjadi sesuatu yang lain walaupun benda itu tetap tampak seperti bendanya dan berada di tengah-tengah lingkungan alamnya. Dalam pandangan orang profan, sebuah batu yang dianggap keramat kelihatan tidak lebih dari sebuah batu biasa dan tidak memiliki keistemewaan. Tetapi bagi mereka yang melihat kehadiranYang Sakral di dalamnya, maka dengan seketika batu itu berubah menjadi suatu kenyataan yang supra-natural.
Demikian juga halnya dengan prktek-praktek religius. Dengan fakta sederhana bahwa suatu tidakan itu bersifat religius, maka tindakan religius itu memperoleh status makna simbolis sebab tindakan itu menunjuk pada makluk atau nilai-nilai yang supranatural.
Contoh lain lagi, langit merupakan simbol transendensi Yang Sakral. Transendensi ini diwahyukan secara langsung melalui kekuatan-kekuatan kreatif langit—menurunkan hujan—dan lewat sifat-sifatnya yang tak terjangkau, takterbats serta abadi. Jadi, simbol mengubah suatu benda atau tindakan menjadi sesuatu yang lain dari benda atau tindakan yang dilihat oleh pengalaman profan. (62)
Paradoks-Paradoks Simbol
Simbolisme religius mampu mengungkapkan secara serentak beberapa makna (multivalensi) yang tidak dapat diungkapkan lewat pemikiran konseptual. Di dalamnya, semua makna itu—bahkan yang bersifat paradoksal, kontadiktoris dan juga misterius—tersusun secara bersama dalam suatu perspektif atau terintegrasikan ke dalam suatu sistem. Oleh karena itu, simbolisme dapat berperan sebagai penyatu (unifikasi), yang dengannya segala makna yang tampak bertentangan dipersatukan dalam suatu sistem. Dengan kata lain, pada tingkat simbolis, segala hal yang tampak bertentangan dapat dipersatukan atau dipertemukan; coincidentia oppositorum. (Mitos 64)
Eliade mengatakan bahwa simbolisme religius mampu mengungkapkan situasi-situasi paradoksal atau struktur-struktur tertentu realitas asasi yang tidak dapat diungkapkan dengan cara lain. Dan inilah barangkali, menurutnya, fungsi simbolisme religius yang paling utama. Ungkapan-ungkapan semacam itu, menurut keyakinan Eliade, menunjukkan pengalaman spiritual yang paling kreatif dan hasil tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia religius. (64) Dalam kasus objek-objek sembahan di atas, letak paradoknya barangkali adalah bahwa di satu sisi objek-objek itu bukanlah Tuhan pada dirinya sendiri, namun disisi lain objek-objek itu juga bukanlah selain Tuhan sebab mereka menyingkapkan atau memanifestasikan Tuhan, Tuhan tersingkap di dalam dan melalui mereka.

Paradoks-paradoks dalam Narasi Mitologis
Mitos mengetengahkan antara lain sebuah narasi yang melibatkan tokoh-tokoh fiktif, namun seringkali penting. Narasi mitologis boleh jadi mengandung kontradiksi-kontradiksi dan absurditas. Namun, hal itu tidak mengurangi kredibilitas dan konsistensi mitos, bahkan justru menambahkan daya tariknya dalam hal cara mitos itu menangkap kekacauan riil dunia. ( Robert Solomon, Op. Cit, h. 29) Paradoks dan kontradiksi-kontradiksi yang ditemukan dalam narasi-narasi mitos juga barangkali menunjukkan bahwa narasi juga memiliki dimensi simboliknya.
Dalam tradisi Hiduisme di India purba, misalnya, ada Trinitas utama para dewa yang sangat penting bagi mitologi Hindu klasik. Ketiga dewa ini adalah Brahma (dewa pencipta), Wisnu (dewa pemelihara alam semesta), dan Siwa (Dewa Perusak). Tetapi, ketiga dewa itu tidak dikonsepsi sebagai petunjuk tentang adanya realitas ilahiah yang jamak, melainkan sebagai wajah-wajah dari satu realitas Tuhan. Bahwa tiga adalah juga satu, atau satu adalah juga tiga pada saat yang sama jelas sulit dimengerti secara logis, dan disinilah paradoks atau kontradiksi yang tampak diperlihatkan mitologi.
Selain itu, komentar-komentar belakangan atas kitab-kitab Veda Hinduisme Inda Purba (bertanggal sekitar 1400 SM), yakni Vedanta (bertanggal sekitar 800 SM), juga sarat dengan ambiguitas dan konradiksi. Ia mengemukan bahwa ralitas (Brahman) adalah satu adanya, sekalipun ia mempunyai manifestasi [dewa-dewa] yang tak terbatas banyaknya. Ide bahwa ada banyak dewa yang merupakan manifestasi dari satu Dewa yang sama tentu akan membingungkan para monoteis, bahkan juga para politeis yang menganggap sifat ilahi sebagai suatu kualitas yang tidak berubah-rubah. Bahkan, filsafat India juga akan membingungkan atau tampak tidak konsisten bagi orang-orang yang bersikukuh bahwa realitas tertinggi adalah tunggal dan rasional dengan sifat ekistensinya yang tak berubah. Tetapi Brahman tidak berubah hanya dalam pengertian bahwa ia senantiasa berubah, dan bahkan para dewa lahir kembali setiap tiga ratus triliun tahun atau lebih. ( Robert Solomon, Op. Cit, h. 16, 46)
Lebih jauh lagi, paradoks serupa juga terdapat dalam agama-agama yang hidup dalam peradaban-peradaban yang lebih awal lagi seperti Mesir. Menurut sebagian sarjana ahli Mesir kuno, orang-orang Mesir percaya bahwa dewa Isis, Osiris, Horus, Anibis, serta semua kumpulan dewa-dewa lainnya yang lebih kecil sebenarnya merupakan aspek-aspek atau “wajah-wajah” dari satu Tuhan yang maha perkasa. Dikatakan bahwa baik monoteisme dan politeisme dapat ditemukan dalam pemikiran orang-orang Mesir. Ini terjadi karena potensi paradoksal yang terkandung dalam konsep ketuhanan yang dimiliki oleh orang-orang Mesir.
Dalam teologi-teologi Yunani Kuno, konsep-konsep tantang satu Tuhan tertinggi dan tentang banyak tuhan seperti Zeus, Apollo, dan Hera, juga telah mengisi dan menggusarkan pikiran orang-orang Yunani. Sehingga, seorang penyair Xenophanes (kira-kira 570-470 SM) mengatakan: “Tuhan adalah satu, yang teragung di antara para tuhan dan manusia, sama sekali tidak serupa dengan wujud-wujud fana (mortali) baik dalam hal tubuh atau pikiran.” Sementara itu, Plato berbicara tentang satu Tuhan dan beberapa tuhan. Dikatakan bahwa dia mencadangkan hukuman mati tidak hanya untuk mereka yang menolah eksistensi Tuhan, tetepi juga untuk mereka yang sementara mengakui keberadaan tuhan-tuhan, mereka menolak kebeperanan tuhan-tuhan itu dalam mengurusi urusan-urusan manusia.
Bersatunya secara harmonis realitas-realitas dan pernyataan-pernyataan yang saling bertentangan merupakan pola dasar yang dimiliki semua mitologi. Dalam hal ini, mitos mengungkapkan struktur aktual realitas ilahiah—yang mengatasi semua atribut dan mengatasi semua pertentangan—secara lebih mendalam dari pada yang bisa diungkapkan oleh pengalaman rasional. Menurut Eliade, pengalaman mitis ini terdapat dalam hampir semua pengalaman religius manusia, bahkan juga dalam tradisi yang sangat keras seperti Yudeo-Kristen. Yahweh itu ramah dan sekaligus pemurka; Tuhan para mistik dan pada teolog Kristen itu lemah lembut dan menakutkan sekaligus. Dengan demikian, coincidentia oppositorum merupakan cara yang paling arkhais (purba) dalam mengungkakan sifat paradoks realitas ilahi. (Hary Susanto, 74)
Nilai Eksistensial Simbolisme Mitologis
Kecenderungan mitos untuk menggunakan narasi ini berbeda dengan filsafat yang lebih tertarik pada teori-teori sistematis ketimbang cerita-cerita. Dalam keadaan genting, filsafat menggabungkan kontradiksi-kontradiksi dan inkoherensi-inkoherensi sedapat mungkin [Ketimbang mempertahankan kontradiksi-kontradisi]. Para filososf menghindari kontradiksi-kontradiksi itu bahkan pada saat mereka melihat kontradiksi-kontradiksi itu sebagai hal yang penting bagi kehidupan dan filsafat. (Robert Soloman, h. 29-30)
[Paradoks-paradoks dan kontradiksi-kontradiksi mitologis boleh jadi dapat dipahami dalam bahasa rasional filosofis, tetapi] bahasa simbol berbicara lebih banyak dari pada yang bisa diungkapkan dengan kata-kata atau pengetahuan biasa. Simbol memberikan informasi yang sering sangat sulit, jika tidak mustahil, untuk diungkapkan. Simbol merupakan tanda realitas transenden dan memberikan suatu pandangan yang jernih tentang cara beradanya Yang Sakral. (Hary Susanto, 62)
Simbolisme religius mempunyai nilai eksistensial (bukan hanya koseptual) karena ia selalu menunjuk pada suatu realitas yang menyangkut eksistensi manusia. Simbolisme religius tidak hanya menyingkapkan struktur realitas atau dimensi eksistensi semata, tetapi sekaligus memberikan makna kepada keberadaan manusia. Simbol religius menerjemahkan situasi eksistensial manusia ke dalam hubungan-hubungan kosmologis dan sebaliknya [menerjemahkan situasi-situasi keberadaan kosmos (dengan segala benda di dalamnya) ke dalam hubungan-hubungan manusiawi]. Atau, lebih tepatnya, simbolisme religius menyingkapkan kesatuan antara keberadaan manusia dan struktur kosmos, sehingga manusia tidak merasa dirinya terisolir dari kosmos. Dia terbuka pada dunia yang menjadi tampak akrab berkat simbol religius. (62-63)
Dalam kata-kata kita, makna eksistensial sebuah simbol dalam kaitannya dengan manusia barangkali dapat dikemukakan seperti berikut. Simbol religius pertama-tama dialami manusia arkhais sebagai simbol yang menyingkapkan suatu realitas yang penuh makna (Yang sakral). Dan, dengan mempartisipasikan diri secara total di dalam kebermaknaan di sekitar simbol itu mereka turut terurapi makna-makna (kesakralan) itu. Bersama simbol, keberadaan mereka terorientaskan dan terangkat ke arah transenden; dan bersama mereka, kosmos tidak lagi sebagai semata-mata khaos.
[Melalui partisipasi mereka yang total,] makna-makna kosmologis simbolisme religius memungkinkan mereka untuk melepaskan diri dari belenggu situasi subjektif (cara-pandang pribadi tentang dunia, misalnya) dan untuk mengenal objektivitas pengalaman-pengalaman personalnya [agar tidak melulu didasarkan pada cara pandang subjektifnya itu]. Simbol religius dialami sebagai rahasia Yang Sakral yang menghubungkan dimensi-dimensi eksistensial manusia dan alam dengan suatu cara berada “yang mengatasi” atau yang “berbeda dengan” cara berada profan. Dengan demikian, situasi profan individual diubah ke dalam pengalaman spiritual. Simbolisme religius memberikan makna-makna yang trans-objektif (melampaui makna keberadaan biasa) kepada makhluk-makhluk dan benda-benda universal. (63)
Dimensi eksistensial itulah terutama yang memisahkan dan membedakan simbol dari konsep. Konsep merupakan hasil tindakan akal budi manusia, sedangkan simbol adalah hasil tindakan manusia yang melibatkan keseluruhan totalitas dirinya. Jadi, simbol tidak hanya bersangkut-pautan dengan akal budi semata, dan bukan pula hanya sekedar hasil kreasi imajinasi. Dalam “pemikiran” simbolis, intuisi dan emosi memainkan peranan penting; sementara dalam pemikiran konseptual, rasionalisasi dan sistematisasilah yang memegang peranan penting. Dan, dalam rasionalisasi dan konseptualisasi, kesadaran mau tidak mau memainkan peranan utama. Sedangkan dalam proses simbolisasi justru ketidak-sadaranlah yang memegang peranan utama. Simbol mengarahkan dirinya tidak hanya pada dimensi kesadaran, tetapi kepada totalitas kehidupan psikis. (63)
Dalam ungkapan kita, konsep merupakan hasil dari kerja rasionalisasi dan sistematisasi yang dilakukan akal (dengan segala perlengkapannya seperti imajinasi, dll.) berdasarkan data-data yang diperolehnya dari pengalaman indrawi atau empris. Sementara simbol merupakan sebentuk ungkapan yang bersumber dari pengalaman intuitif dan emosional mengenai realitas transenden, tanpa harus bergantung pada masukan data-data dari pengalaman-pengalaman indrawi dan empiris.
Kemunduran Mitos
Dalam masyarakat modern, mitos cenderung merosot menjadi legenda, epos, balada atau roman. Mitologi manusia arkhais sedikit demi sedikit mengalami desakralisasi. Kemerosotan mitos-mitos ini, menurut Eliade, terjadi karena pengaruh-pengaruh pemikiran yang rasionalistis. (74) Proses demitisasi yang ini sudah dimulai sekitar duapuluh lima abad yang lalu di Yunani dengan munculnya kritik-kritik terhadap mitos bersamaan dengan munculnya filsafat [sekitar abad ke VI SM] . (100)
Menjelang abad keenam sebelum masehi, mitologi Yunani sudah agak lesu dan makin problematis. Kisah para dewa-dewi dengan berbagai korban dan abdinya tidak lagi semuanya dianggap serius atau diterima secara harfiah. (Robert, 16)
Para pemikir Yunani abab ke-6 SM adalah orang-orang yang dikenal mempertanyakankan praktik mitos itu. Mereka menyangsikan validitas dongeng-dongeng tradisional budaya mereka, dan kata mythos menjadi menunjukkan dongeng yang tidak mungkin. Filosof Yunani Xenophanes, misalnya, berargumen bahwa banyak prilaku yang dipandang penyair Homer dan Hesiod sebagai milik dewa-dewa adalah tidak layak dimiliki oleh makhluk-makhluk ilahi itu. (Encarta)
Menurut Eliade, kritik terhadap mitologi ini bukan terutama ditujukan pada pemikiran mitis atau bentuk tingkah laku yang ditimbulkannya, tetapi terutama ditujukan pada gambaran tentang Tuhan atau dewa-dewa yang diangap tidak tepat. Misalnya, dewa-dewa digambarkan dengan sifat-sifat tidak adil, tidak bermoral, iri hati, dendam, dsb. Padahal, dewa yang sejati tidak mungkin bersifat demikian. Nah, kritik-kritik yang dilontarkan itu sejatinya dimaksudkan untuk semakin mempertinggi derajat gambaran Tuhan dan berusaha untuk membebaskan konsep tentang yang ilahi dari ungkapan-ungkapan antropomorfis. (100)
Antroposentrisme merupakan kecenderungan yang dimiliki mitos, dan menjadi cirinya. Dengan kecenderungannya itu, ia memproyeksikan sifat-sifat manusia pada apa yang dianggap sebagai kekuatan alamiah yang tak berjiwa. Kecenderugan antropomorfik seperti ini dapat ditemukan, misalnya, di kalangan orang-orang Mesir kuno dan kebanyakan kebudayaan Mediterinia Timur yang kerapkali menjelaskan asal-usul dan hakikat alam semesta dalam kerangka tindakan dan emosi-emosi dewa-dewi yang persis manusia. (23-24)
Nah, gambaran tentang dewa-dewa yang menjadi sasaran kritik tersebut barangkali merupakan cerminan dari kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat Yunani dan di sekelilingnya. Kebudayaan Yunani, sebagaimana disaksikan para filosofnya, adalah kaya dan kreatif. (Robert Solomon, 14) Saat itu, muncul kelas-kelas baru, para tukang, pedagang, dan teknisi di tengah-tengah masyarakat agraris feodal para tuan tanah kaya dan para petani. Begitu banyak jumlah para penemu dengan penemuan-penemuannya yang membludak; perkakas-perkakas pertanian dan pelayaran bermunculan; begitu juga dengan teknik dan hasil kerajinan baru. (56) Namun demikian, kebudayaan Yunani juga dikelilingi oleh musuh-musuh yang saling iri hati dan saling bersaing. Tak jarang, kebudayaan-kebudayaan besar tiba-tiba dihancurkan dan akhirnya terhapus dari peta dunia yang dikenal; dan apa yang tidak dihancurkan oleh perang sering dihancurkan bencana alam atau wabah penyakit. (14)
Dalam sebuah dunia yang sangat sedikit memiliki kendali seperti di atas, konsep takdir lazim memegang peranan yang penting. Nah, sementara sebagian orang Yunani mengasalkan takdir pada putusan-putusan ganjil para dewa-dewi, para filsuf abad keenam sebelum Masehi mencari tatanan yang mendasari segala sesuatu (kenyataan yang ada), yang bersifat tetap dan dapat dipahami berkenaan dengan eksistensi. (Robert, 14-15)
Para filosof Yunani kuno seringkali bukanlah orang yang berpikiran begitu harfiah. Mereka berpegang pada ambiguitas yang disengaja berkenaan dengan dunia yang digambarkan mitologi-mitologi masa lampau, seraya menolak antropomorfisme dalam bentuknya yang kasar dan benar-benar tak masuk akal. (28) Dimulai dengan Thales (625?-547? SM) dan filosof pra-Socratik lainnya, cerita-cerita mitos yang sudah lazim itu digantikan oleh penjelasan-penjelasan (tentang fenomena-fenomana alam semesta) yang menjadi semakin ilmiah, semakin naturalistik, materialistik. Para pemikir awal Yunani lebih memuja rasionalisme dan menekankan sebab-sebab material ketimbang puisi-puisi spekulatif dan dewa-dewa yang ada di balik layar. (24)
Demikianlah, disini kita melihat semacam pergeseran cara pandang dalam menjelaskan fenomena alam: mitos cenderung mengembalikan asal-usul sebab segala fenoma alam yang terjadi kepada para dewa, sementaran filsafat yang diusung para filosof cenderung mengemukakan penjelasan-penjelasan “naturalistrik”. (Robert G. Sololomon, 23)
Pada abad ke-5 SM, para pemikir Yunani yang serius cenderung menganggap mitos-mitos tua sebagai penjelasan-penjelasan yang naïf untuk fenomena-fenomena alam dan sama sekali menolak mitos-mitos. Namun demikian, mitos tetap mempertahankan arti penting kulturalnya, bahkan setelah diserang para filosof. Tragedi-trageni Yunani, yang tetap central bagi kehidupan masyarakat dan agama di Atena menjelang akhir abad ke-5 SM, banyak mengambil pokok pembicaraannya dari mitos-mitos. (Encarta)
Ada banyak level “kepercayaan” di masyarakat canggih Yunani, yag terentang dari penerimaan harfiah pernyataan-pernyataan mitis hingga pada penafsiran-penafsiran yang agak dilebih-lebihkan, puitis, dan alegoris. (Robert, 22)
Pada abad ke-4 SM, Plato secara sistematis mengkontraskan logos, atau argumen rasional, dengan mitos—yang dalam pandangan Plato sedikit lebih baik dibandingkan kebohongan tulen. Dalam dialog filosofisnya The Republic, Plato berargumen bahwa kesejahteraan ideal hendaknya menyinggkirkan puisi mitologis tradisional karena ia penuh dengan kebohongan-kebohongan yang berbahaya. Namun, Plato sendiri tidak pernah merenungkan mitos sejenis itu untuk meneksplorasi tema-tema seperti ‘kelahiran dunia’, kematian, dan kehidupan setelah mati, yang dalam pandangannya berada di luar perbatasan-perbatasan penjelasan logis.
Setelah Plato, kebanyakan para pemikir mencoba menerapkan pendekatan rasional untuk membaca unsur-unsur supranatural dalam mitos-mitos atau menginterpretasikan mitos secara simbolis. Euhemerus, seorang penulis Yunani abad ke-4 SM, melacak asal-usul dewa-dewa kepada pendewaan para penguasa oleh para warganegara yang berterimakasih. Penjelasan tentang dewa-dewa konsekuensinya dikenal sebagai euhemerism.
Para filosof yang dikenal sebagai Stoics dan—lebih kemudian lagi—Neoplatonists menginterpretasikan mitos-mitos sebagai alegori-alegori (narasi yang menggunakan bahasa dan imaji-imaji bergambar untuk menyampaikan pesan yang tersembunyi). Bahkan ketika peradaban Romawi-Yunani klasik mengalami kemunduran pada abab-abad awal masehi, ruh Xenophanes yang lebih tua dan kritis terus dihidupkan oleh penulis esai dan satiris Yunani Lucian dari Samosata. Pada abad ke-2 Lucian mencela mitos-mitos semacam kelahiran Athena dari kepala Zeus, di samping penilaian Pengadilan Paris, yang dianggap membawa ke Perang Trojan.
Menurut Eliade, alegorisasi merupakan fenomena lain yang mendukung proses demitisasi. Mitos dianggap sebagai hal imajiner, yang disejajarkan dengan suatu rasionalisme elementer dan psikologi simplistik. Mitos-mitos tidak lagi dipahami sacara literal, dan digali makna-makna yang tersembunyi di dalamnya. (Mitos,100)
Mitos-mitos dipandang sebagai bahan bakar bagi pemikiran spekulatif yang tidak perlu terlihat dalam bentuk sebenarnya; mitos-mitos merupakan bahan makanan bagi filsafat. Sebagaimana halnya filsafat, mitos-mitos yag terbaik pasti menuntun manusia menuju perbaikan moral dan pemahaman. Sekalipun ada sebagaian yang menandaskan bahwa mitos hanya membawa pada moralitas, sementara yang membawa pada pemahaman adalah filsafat. (Robert 27, 30)
Demitisasi tidak hanya berarti kemenangan logos atas mitos, tetapi lebih dari itu; kemenangan buku terhadap tradisi lisan, kemenangan dokumen atas pengalaman hidup yang hanya diungkapkan secara pra-literal. Sekarang mitos tidak lagi dianggap sebagai sumber atau ungkapan-ungkapan pengalaman religius yang dikaitkan dengan suatu ritus, melainkan sebagai dokumen sastra dan artistik. (Hary Susanto, 100, 101)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar