Jumat, 18 Juni 2010

Filsafat Perennial

Secara ringkas Filsafat Perenial menurut Aldous Huxley, sebagaimana dikutip Huston Smith, dicirikan oleh suatu “metafisika”, “psikologi”, dan “etika”. Yakni,
metafisika yang mengakui suatu Realitas Ilahiah yang sangat penting untuk dunia benda-benda, kehidupan, dan pikiran; psikologi yang menemukan di dalam jiwa adanya sesuatu yang serupa atau bahkan identik dengan Realitas Ilahi; etika yang menempatkan tujuan akhir manusia dalam pengetahuan tentang Landasan imanen dan transenden semua wujud.
1. Metafisika
Metafisika yang mengakui suatu Realitas Ilahiah yang sangat penting untuk dunia benda-benda, kehidupan, dan pikiran.
Objek utama kajian Filsafat Perennial adalah wujud, sehingga ia, kata Huston Smith, secara tegas tampak bernuansa ontologis. Dalam hal ini, wujud yang secara implisit dikatakan Smith sebagai matrik (sumber) yang membentuk dan menopang keberadaan kita digambarakan Filsafat Perennial dalam karakternya yang hirarkis. (52) Menurut E. F Schumacher, “kemampun untuk melihat struktur hirarkis dunia, yang memungkinkan kita untuk membedakan antara Level-level Wujud yang lebih tinggi dan yang lebih bawah, merupakan salah satu syarat pemahaman yang sangat diperlukan. (52) Dan, seperti diktakan Arthur Lovejoy,
konsepsi tentang alam semesta sebagai . . . merentang dalam susunan hirarkis dari jenis wujud-wujud (existent) yang paling kecil . . . melintasi “setiap” tingkat-an “yang mungkin” hingga ens perfectissimum (wujud yang sempurna) . . . telah menjadi filsafat resmi dalam satu bentuk dan lainnya yang dominan dalam seba-gian besar ras manusia beradab di sepanjang sebagian-besar sejarahnya.” (53)
Pengkategorian kelompok-kelompok wujud (things) yang eksis dalam susunan hirarkis merupakan klaim khas Filsafat Perennial. Dalam Realitas yang berderet ber-tingkat-tingkat, wujud semakin bertambah tinggi seiring level-levelnya menaik. Namun demikian, istilah menaik di sini tidak dimengerti dalam pengertian literal, melainkan secara figuratif (kiasan). Sebab, tidak ada gerakan spasial yang terlibat disini. (53)
Suatu wujud dikatakan lebih, atau lebih real, jika ia memiliki properti-properti wujud yang lebih banyak. Misalnya, properti kekuasaan, durasi, localitas, kesatuan, arti-penting, kebernilaian, dst. Perbandingan atau kontras antara satu wujud dengan wujud lainnya dalam hal “lebih tinggi” atau “lebih kurang” tingkat kerealan wujudnya dapat dipertajam dengan mengubah perbandingan tersebut menjadi “paling tinggi” dan “paling rendah”. Jadi, jika kekuasaan X takterbatas, misalnya, maka ia akan merupakan yang mahakuasa; jika durasinya tidak terpotong, ia adalah yang abadi; Jika lokalitasnya tanpa batas, ia akan merupakan yang mahaada (ada dimana-mana); Jika kesatuannya tidak kompromi, maka ia akan simple dalam pengertian tekhnis tidak mengandung pembagian apapun; jika arti-pentingnya sangat, ia akan menjadi mutlak; jika kebernilaiannya kategoris (pasti), ia akan merupaan yang sempurna; dst.(56-57)
Dalam perspektif para theis (mereka yang bertuhan), struktur kontras antara kategori kelompok wujud “yang paling tinggi” dan “yang paling rendah” ini dapat ditemukan dalam konteks dikotomi (hirarkis) sederhana antara dua level wujud, yakni Tuhan dan manusia, sebagamana dapat juga ditemukan dalam konteks dikotomi para metafisikawan antara yang absolut dan yang relatif. (57)
Menurut Smith, dikotomi yang sederhana ini belum memadai untuk membuat pembagian yang diperlukan tentang realitas. Dalam kaitan dengan Tuhan, lanjut Smith, kita dapat membuat pemisahan berdasarkan aspek-aspek-Nya yang tidak bisa diketahui dan yang bisa diketahui. Demikian juga, dalam kaita dunia kita dapat membuat pembagian antara segi-seginya yang-tak-terlihat dan yang-terlihat. Dengan demikian, kita dapat menemukan adanya empat level eksistensi utama dalam realitas, yang masing-masingnya, menurut Smith, memiliki populasinya yang khas serta cara-cara interaksi yang khas di antara anggota-anggotanya: (57)
1. Tuhan yang tidak memanifes: Ketuhanan (Godhead) atau Yang-takterbatas.
2. Tuhan yang memanifes: tatanan langit (celestial).
3. Dunia yang yang takterlihat aspek-aspeknya: pikiran dan prinsip-prinsi kehidupan (vital principle); tatanan perantara (intermediate).
4. Dunia yang tampak: ruang, waktu, materi; tatanan piggiran (terrestrial). (57-58)
Tuhan (God) dibedakan dari Ketuhanan (Godhead) dalam arti bahwa yang terdahulu bersifat personal, sementara yang belakangan bersifat transpersonal atau suprapersonal. Dalam istilah tekhnis yang biasa kita kenal, Tuhan merupakan objek kajian teologi kataphatik, via affirmativa, (yakni teologi yang memaparkan penjelasannya tentang Tuhan dengan menegaskan aspek-aspek atau atribut-atribut-Nya). Ketika kategori wujud yang paling real dikatakan mahaada, abadi, dan seterusnya maka wujud Tuhan inlah yang dimaksudkan. Berbedan dengan Tuhan, Godhead (Ketuhanan) merupakan objek teologi apophatik, via negativa, (yakini teologi yang memparkan penjelasannya tentang Tuhan dengan menyangkal semua penyifatan atribut-atribut pada-Nya), dimana properti wujud yang paling tinggi tidak ditegaskan sebagai atribut-atribut-Nya, melainkan ditingkatkan sedemikian rupa sehingga melampaui jangkauan imajinasi kita, dan larut dalam suatu kesatuan yang tidak dapat tertembus rasio. Inilah tampaknya maksud dari via negativa. (58-59)
Menurut para mistikus, ketika Godhead secara langsung tersingkap kepada manusia, dalam momen-momen supranatural yang jarang terjadi, apa yang dilihatnya adalah bahwa ia tidak dapat memahami sifat-dasar-Nya sama sekali. Ini bukan berarti bahwa kedalaman sifat-dasar-Nya tetap samar dan tak-terkatakan; tetap bahwa sifat-dasar-Nya itu justru terletak pada kedalamannya yang takbisa diduga. Jadi, ketidak-terpahamian Godhead pada momen itu menjadi bukti bahwa sifat-dasarnya itu terpahami secara sangat jelas. (59)
Berkenaan dengan dunia, segi-seginya kasat mata begitu tampak pada kita, sementara segi-seginya yang tak tak-kasat mata dapat segera kita rasakan keberadannya ketika menutup mata; di saat inilah, kata Smith, kita merasa berada dalam medium yang samasekali berbeda: dunia kesadaran batin yang lagsung dan tak-terpenantarai. (59) Dalam mata rantai hirarkis wujud ini, pikiran ditempatkan lebih depan dibandingkan materi bukan hanya dalam hal nilai melainkan juga dalam hal kekuasaan dan keluasannya juga. (60)
Implikasi-implikasi Pandangan Dunia Hirarkis
Dengan konsepsi hirarki realitas ini, Filsafat Perennial mempertimbangkan kebenaran kenyataan bahwa yang lebih kecil (anak tangga wujud yang lebih bawah) adalah lebih rendah (inferior) dibandingkan dengan yang lebih besar. Dalam cara penjelasan Smith sendiri, kita dapat mengatakan misalnya bahwa sesuatu yang kurang memiliki arti-penting tentunya akan lebih rendah dibandingkan dengan yang lebih memiliki arti-penting. Dst. Secara umum, sesuatu yang berada pada level realitas yang lebih bawah adalah lebih rendah dibandingkan dengan yang ada pada level realitas di atasnya. Apa yang ditekankan Smith disini adalah bahwa Filsafat Perenial tidak menerima kemungkinan dibenarkannya relativistik (nihilistik). (63)
Namun demikian, bahwa tatanan-tananan yang lebih atas adalah lebih real, tegas Smith, tidak berarti bahwa tatanan-tananan yang lebih bawah tidak real atau ilusi, hanya kurang real saja. Masing-masing tatanan memiliki kedudukannya sendiri dalam keseluruhan skema hirarki realitas. Bahkan, materi dimanapun dapat menjadi kuil Tuhan. Ini berarti bahwa tatanan yang lebih kurang selalu terembesi oleh tatanan yang lebih tinggi. “Tidak ada anak tangga wujud yang tidak Anda temukan di dalamnya Kesucian wujud”. Skema hirarki mata-rantai wujud dalam konteks ini dapat diubah ke dalam bentuk lingkaran konsentris yang terdiri dari beberapa lingkaran satu di dalam yang lainya. Untuk keterembesiannya tatanan-tananan yang lebih bawah oleh yang lebih atas, kita dapat menempatkan tatanan dunia kasat mata dalam lingkaran yang paling dalam, disusul dengan penempatan tatanan-tanan lain di atasnya pada lingkaran-lingkaran berikutnya yang lebih luar. (67) (Lihat Gambar I)
Masing-masing level realitas dalam mata rantai besar wujud ini, menurut Smith, dapat dikaji secara terpisah. Tatanan terrestrial, misalnya, terungkap secara mengagumkan dalam ilmu fisikal, biologi; alam perantara terungkap dalam penemuan-penemuan fenomenologi yang bertahan, dalam psikologi-dalam (dept psycology), dan parapsikologi, di samping aspek-aspek shamanisme dan agama rakyat (folk religion); sifat-dasar Tuhan yang-bisa-diketahui (tatanan langit atau selestial) dideskripsikan oleh teologi-teologi tradisi besar dari beragam sudut pandang budaya; dan, kedalaman Tuhan yang absolut dan tak-terbatas dapat kita masuki sejauh yang terjelajahi dalam literatur-literatur mistisme.(62)
Gambar 1











Karakter ketidak-berubahan, atau sifat statis, dari Filsafat Perennial—sebagaimana ditunjukkan kata “perennial” (abadi) itu sendiri—sama sekali tidak mengimplikasikan kemandekan pengetahuan. (64-65) Persoalan yang diajukan oleh Filsafat Perennial adalah mau kemana kita, dan dengan apa, apakah hanya dengan pikiran atau dengan totalitas wujud kita. Metafisika (jugs agama dan seni) merupakan salah satu jenis pengetahuan non-kumulatifyang dapat dibandingkan dengan sejarah atau sains yang kumulatif, misalnya. Kedua jenis pengetahuan ini ada dalam domain pikiran (mind). Jika informasi dalam pengetahuan kumulatif terus membesar ibarat bola salju, dalam pengetahuan non-kumulatif tidak. Namun, dalam kenon-kumulatifannya, metafisika juga tidak kalah giatnya. Hanya saja, ia menghadap kearah yang berbeda yang lebih penting (real): kearah pemahaman yang semakin dalam tentang kebenaran-kebenaran yang tiada habis-habisnya, dan melampaui ini ke penyempurnaan wujud diri sehingga pemahaman itu dapat secara bertahap terealissikan—di sini kita beranjak dari pikiran ke totalitas diri. (65)
2. Psikologi
Psikologi yang menemukan di dalam jiwa adanya sesuatu yang serupa dengan, atau bahkan identik, degan Realitas Ilahi.
Multi level realitas yang tersusun secara hirarkis itu, menurut Filsafat Perennial, bersinggungan dengan diri manusia, (67) yang tampaknya juga dipahami sebagai tersusun dari level-level hirarkis yang serupa. Huston Smith menyebutkan antara lain, level tubuh (body), pikiran (mind), jiwa (soul), dan ruh (spirit).Tubuh dan pikiran berkorelasi secara berurutan dengan dengan tatanan metafisik terrestrial dan intermediate; sementara, jiwa dan ruh berkorelasi dengan tatanan metafisik selestial dan Invinitas (tak-tebatas)
Bagian yang paling baik dari diri manusia (ruh) terletak pada bagian terdalamnya. Ia merupakan landasan dasar dan fundamental bagi wujud manusia. Jika dihubungan dengan struktur hirarkis wujud yang secara geomentris tersekemakan dalam bentuk lingkaran konsentris, maka struktur hirarkis diri manusia ini akan berkorelasi dengannya secara terbalik, dimana bagian-terdalam dari diri manusia akan berkorelasi dengan bagian terluar/tertinggi dari realitas; sebaliknya, bagian terluarnya akan berkorelasi dengan bagian terdalamnya. (Lihat Gambar 2) Tubuh dan pikiran berkorelasi secara cukup jelas dengan tatanan terestrial dan intermediate. Berkenaan dengan jiwa, ia terlibat dalam ralasi Aku-Kamu dengan ‘Tuhan Yang-bisa-diketahui’. Para theis, kata Smith, barangkali akan kesulitan memahami hal ini; (68) terlebih lagi untuk memahami pernyataan bahwa “di dalam jiwa terdapat sesuatu yang serupa dengan, atau bahkan identik, degan Realitas Ilahi.(69)
Gambar 2







Sebagaimana Diatas, demikian juga Dibawah
(Sebagamana Yang Batiniah, demikian juga Yang Lahiriah)
Relasi “Aku-Kamu” ini dijelaskan Smit dengan merujuk pada dualitas sifat-dasar manusia—yakni, “me” (saya-objek) yang terbatas, dan “I” (saya-subjek) yang dalam kesadarannya akan keterbatasan ini memberikan bukti bahwa dirinya tebebas dari ‘me’ itu. Seorang mistikus tersedot ke “I” ini; dia memancangkan diri padanya, berupaya mengembangkan sensenya akan realitas “I” itu, dan umumnya mencoba mengidentifikasi diri dengannya sedapat mungkin. Dan, karena ketak-terbatasan adalah esensinya, kata Smith, maka pada prinsipnya tidak ada sesuatupun yang memisahkannya dari Yang-Takterbatas. Menurut Smith, bukanlah jiwa atau personalitas diri kita yang bersemayam di pusat terdalam diri kita, di bawah kumparan permukaan prsepsi, sensasi dan pemikiran-pemikiran, dalam selubung kemasan jiwa kita, melainkan Realitas akhir yang abadi dan ilahi itu. Dia adalah Semua-Diri (All-Self) yang ada di sebarang semua kedirian; ruh yang terkandung dalam materi dan terkemas dengan jejak-jejak psikis. (69)
Kedudukan Rasio dalam Psikologi Perenial
Rasio mendapat tempat terhormat dalam epistemology perennial, namun dalam cara dihormatinya sebuah alat yang bagus oleh seseorang. Apa yang dapat diperbuat rasio tergantung pada siapa yang menggunakannya, bukan pada kesempurnaannya sendiri. Jika ia diibaratkan sebagai sebuah alat listrik (power tool), kita dapat membayangkan outlet-outlet (saluran-salulran untuk mengambil daya listrik) pada berbagai level wujud. Semakin tinggi outlet itu, semakin meningkatlah daya listrik yang dapat diberikannya pada rasio (alat listrik) sehingga memungkinkan alat (rasio) itu untuk mengerjakan hal-hal menakjubkan yang secara kualitatif lebih besar seiring ia melintasi dari satu outlet ke outlet berikutnya; nah, semakin tinggi socket (stop-kontak) yang kepada power tool (rasio) dicolokan, semakin besar hal-hal ajaib yang dihasilkannya.
Dalam perumaan ini, outlet merepresentsikan kemampuan intelektif yang memberi rasio daya dan tingkat kebenderangan tertentu, namun ia harus dibedakan secara jelas dari rasio itu. Dalam hal ini, kata Smith, sebutlaj outlet itu intelek intuitif. Nah, sementara intelek intuitif ini selalu ada dalam setiap orang secara penuh seperti cara beradanya ruh, ia teraktualisasikan dalam tingkat-tingkat yang berbeda sebagaimana ditunjukkan socket-socket yang teraliri listrik secara berbeda. (71)
Jika perumpamaan alat-daya listrik ini dihubungankan dengan skema tingkat-tingkat level realitas maka hasilnya adalah: rasio yang teerhubungkan pada suatu kehidupan yang terpancang dalam level badani akan mendeteksi sedikit lebih dibandingkan materi, dan akan menghasulkan suatu pandangan-dunia yang materialistik. Segala sesuatu selain materi akan menjadi jelas pada seseorang yang memperlakukan pikirannya secara serius, dan rasionya akan membentuk suatu pandangan, dari yang berupa animism dalam masyarakat tradisional hingga naturalism di Barat kontemporer. Bagi mereka yang hatinya telah terbuka, yang dapat melihat degan mat- hati itu, objek-objek spiritual akan dapat terlihat dan sebuah metafisika teistik akan muncul darinya. “Visi malam” terakhir yang dapat mendeteksi kesucian segala sesuatu yang penuh pesona disediakan bagi mereka yang saya sebut para mistikus itu. (71)
3. Etika
Etika yang menempatkan tujuan akhir manusia pada pengetahuan tentang Landasan imanen dan transenden semua wujud
Pada masa lalu, kata Jacon Needleman, filsafat tidak dapat dipelajari oleh sembarang orang. Ia dipandang hanya dapat dipelajari oleh yang paling kompeten di antara warga Negara. Bahkan, mereka pun hannya dipekenankan mempelajarinya apabila telah melatih bukan hanya pikiran-pikiran mereka tetapi tubuh, emosti-emosi, dan kehendak-kehendak mereka juga. Nah, berbeda dengan dulu, hari ini satu-satunya persyaratan untuk mempelajari filsafat hanyalah kemampuan rasional. Hari ini, persyaratan-persyaratan lainnya seperti yang ditekankan pada masa lalu (latihan mengendalikan tubuh, emosi-emosi, kehendak) tidak lagi menjadi persyaratan, sebab kebijaksanaan yang dicari filosof modern melalui filsafatnya, kata Needleman, bukan lagi suatu keadaan wujud baru, sebagaimana yang dicari para filosof dulu. (72)
Batu-uji filsafat modern hari ini, menurut Smith, adalah pengalaman generic: pengalaman-pengalaman persepsi, penggunaan bahasa, keputusan moral, dan hal-hal serupa seperti telah kita kenal. Kepercayaan-kepercayaan, misalnya, harus ditundukkan pada ketetapan empririsis jika mau dipandang legitimit, yakni bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut harus dinilai dari sudut pandang pengalaman biasa. Demikian menurut Ernest Gallner, seorang filosof dan sosiolog yang dijadikan Semith sebagai salah satu contoh filosof modern. (73) Ini, menurut Smith, berlawanan dengan tujuan filsafat sebelumnya, yang adalah untuk menyetel kembali komponen-komponen jiwa dengan suatu cara yang memungkinkannya dapat mengalami dunia dengan cara yang tidakbiasa—suatu cara yang begitu tidakbiasa, sehingga dari perpektifnya pengalaman biasa nafsu-dan-kebodohan nampak hampir sebagai psikotik. (73)
Nah, etika adalah kumpulan garis-garis panduan untuk mengefektifkan transformasi jiwa yang memungkinkan dialaminya dunia dengan cara yang baru. Dalam hal ini, etika secara integral terhubungkan dengan antropologi di satu sisi dan dengan epistemologi serta ontologi di sisi lain: tingkah-laku yang semakin baik dan terbaharui (etika) membawa pemiliknya pada suatu kondisi baru diri (antropologi) yang menganugrahinya kemampuan untuk melihat dan mengetahui (epistemology) dunia (ontology) secara lebih benar sebagaimana adanya. (73)
Kandungan Etika Perenial
Kandungan etika primordial teringkaskan dalam: kebajikan kebersahajaan (Humility), kedermawanan (charity), dan ketelitian (veracity); atau sebagai alternatifnya, etika tersebut berfokus pada tiga racun yang bertentangan dengan kebajikan-kebajikan itu, racun keserakahan, keengganan, dan kebodohan. (74)
Kebersahajaan (kerendahan hati) adalah kemampuan seseorang untuk menjarakkan diri dari ego pribadinya yang terpisah hingga titik dimana ia dapat melihatnya secara objektif dan akurat sebagai satu—tapi tidak lebih dari satu—tepat disaat kedermawanannya melihat tetangganya sendiri sebagai sepenuhnya satu. Dengan kata lain, Kebersahajaan melihat diri sendiri seolah diri sendiri adalah orang lain, sementara kedermawanan melihat orang lain seolah orang lain adalah diri sendiri. Dengan demikian, diri dipertukarkan dengan yang-lain melalui “satu” bilangan objektif—yakni melalui perpektif kesatuan-utuh-menyeluruh. Etika primordial sama sekali tidak mengabaikan persolan relasi interpersonal. Hanya saja, karena perhatiannya tidak pernah bergeser jauh dari soal kesatuan-utuh-menyeluruh (whole), maka diskusi-etika Etika primordial lebih terfokus pada soal keselarasan kosmik yang dapat diefektifkan melalui kebajikan-kebajikan ini. (74)
Dengan dua kebajikan awal yang berkaitan dengan tatanan manusiawi ini—kebersahajaan dan kedermawanan—tercapailah tatanan kebajikan ketiga, yakni ketelitian yang adalah kemampuan untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya—kondisi dimana segala sesuatu berada secara aktual, akurat dan objektif. (74) Dengan mengidentifikasi dua kebajikan pertama sebagai berkaitan dengan tatanan manusiawi, Smith nampaknya hendak memaksudkan bahwa, berbeda dengan kedua kebajikan tersebut, kebajikan ketiga berkaitan dengan tatanan yang melampaui tatanan manusiawi. Tegasnya, kebajikan terakhir ini berkaitan dengan tatanan kesatuan-untuh-meyeluruh, dan inilah yang memampukannya untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya.
Jika kebijaksanaan—kemampuan untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya—adalah saling-terkait dengan kebajikan, maka dibutuhkan metode untuk memperoleh kebajikan itu. Dalam hal ini, Filsafat Perennial adalah suatu jalan yang harus ditempuh sejauh ia menjadi peta yang memetakan jalan [memperoleh kebajikan] itu. Mengetahui dan berbuat, kebijaksanaan dan metode, harus bekerja bersama dan berjalan bergandengan. (75)
Kebijaksanaan tidak bisa dilahirkan dengan sekedar mengikuti bisikan-bisikan batin pribadi, sebagaimana telah menjadi kecenderungan banyak orang akhir-akhir ini. Andaipun tetap berkehendak seperti itu, maka sebaiknya bisikan-bisikan itu, kata Smith, membimbing seseorang ke sebuah tradisi yang mengandung kebijaksanaan peradaban atau budaya yang sudah tersaring. Smith setuju dengan seorang Psikolog social, Donald Campbell, yang memberi saran bahwa:
rasional saja jika mengikuti tradisi-tradisi agama yang tidak kita pahami seperti rasionalnya kita jika terus menerus menghirup udara sebelum kita memahami peran oksigen dalam metabolisme tubuh. Jika psikokologi dan ilmu social modern tidak sepakat dengan tradisi agama tentang berbagai way of life, kita hendaknya, berdasarkan alas an rasional dan ilmiah, memilih resep-resep trasdisoanl untuk kehidupan sebab resep-resep ini bercita rasa lebih baik. Para pendeta/ulama yang mempersempit tradisi-mulia yang disampaikannya hanya pada sejumlah kecil hal yang dimengerti dan disetujuinya berarti mereka mengabaikan kewajibannya, dan bersalah karena arogan atau karena pura-pura serbatahu. (75)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar